Sisi Gelap Media Sosial, dari Bot Sampai Follower Palsu
https://www.naviri.org/2018/02/sisi-gelap-media-sosial.html
Naviri.Org - Media sosial, saat ini, telah digunakan oleh hampir semua pengguna internet, dan fungsinya beragam. Dari sekadar aktualisasi diri, berinteraksi dengan orang lain, sampai membangun branding, menciptakan pengaruh, hingga kampanye politik. Kenyataan itu bisa terjadi di media sosial mana pun, dari Twitter, Facebook, Instagram, dan lain-lain.
Para pengguna media sosial yang murni menggunakan medsos untuk aktualisasi atau bersosialisasi, mungkin menganggap jumlah follower bukan hal penting. Namun, orang-orang yang ingin dianggap selebritas, atau yang ingin melakukan kampanye tertentu, menganggap jumlah follower sebagai hal penting. Masalah mulai terjadi ketika mereka tidak juga mendapat banyak follower, sementara kebutuhan kampanye kian mendesak.
Dari masalah semacam itulah, ada orang-orang tertentu yang lalu menggunakan “cara gelap”, yaitu membeli follower dan memanfaatkan bot.
Di Twitter, misalnya, kita mungkin sering mendapati trending topic dengan tema tertentu. Ketika dicek, trending topic atau tagar yang ramai dibicarakan itu ternyata dibuat oleh bot, bukan oleh pengguna asli. Cirinya mudah ditandai, yaitu kalimat-kalimat yang menyertai tagar yang masuk trending topic itu serupa atau seragam.
Natalie Maréchal, lewat penelitiannya, "When Bots Tweet: Toward Normative Framework for Bots on Social Networking Sites" (2016), menjelaskan soal bot dalam jagat media sosial ini.
Menurutnya, bot bisa dimengerti sebagai penggabungan kode yang meniru pengguna dan memproduksi konten. Bot juga bisa diartikan sebagai agen perangkat lunak yang terotomatisasi. Akun pasif atau bot, dengan demikian, tidak dijalankan oleh manusia selayaknya akun aktif.
Selain bot, hal lain yang juga masuk “sisi gelap” media sosial adalah jual beli follower. Banyak orang yang ingin dianggap terkenal, atau memiliki pengaruh di media sosial, dan mereka pun menggunakan cara instan, yakni membeli sejumlah follower, sehingga follower yang dimilikinya tampak banyak. Karena prosesnya dari membeli, maka follower yang dimiliki itu pun palsu.
Karakteristik masing-masing follower yang bisa dibeli ini pun memiliki harga bervariasi. Follower aktif ditarif Rp10 ribu per 100 akun, dan follower permanen dihargai Rp5 ribu untuk 100 akun. Sementara itu, yang pasif dijual Rp5 ribu per 100 follower. Semua jenis akun tersebut bisa digunakan untuk media sosial Instagram, Facebook, Youtube, Twitter, Pinterest, Spotify, dan sebagainya.
Pencurian identitas
Bagaimana bisa ada banyak akun palsu di media sosial? The New York Times Januari lalu merilis laporan interaktif ihwal pabrik follower ini. Menurut laporan tersebut, ada peredaran akun palsu yang mencuri identitas pengguna asli.
Whitney Wolfe, seorang asisten eksekutif yang tinggal di Florida, AS, menjadi salah satu korbannya. Pada 2014, ketika akun Twitter-nya mulai tak banyak dipakai, ada akun palsu yang menyalin informasi pribadinya. Akun itu kemudian beraktivitas: me-retweet aktris-aktris film dewasa dan beberapa influencer.
Jessica Rychly adalah korban yang lain. Akun gadis asal Minnesota ini disalin, foto profilnya diambil dan diedit, lalu nama akunnya yang dimodifikasi: @iwanttobejes menjadi @lwanttobejes. Jumlah akun yang di-follow akun palsu ini tak wajar: 5.000.
"Menurut beberapa perhitungan, sebanyak 48 juta pengguna aktif Twitter—hampir 15 persen—merupakan akun-akun robot yang didesain meniru akun betulan, meski perusahaan [Twitter] mendaku jumlahnya jauh lebih kecil," demikian tertulis dalam laporan bertajuk "The Follower Factory" tersebut, mengutip hasil penelitian dari University of Southern California dan Indiana University, yang terbit Maret 2017.
Devumi, sebuah perusahaan Amerika, menjadi sorotan atas beredarnya akun-akun palsu yang dijalankan secara otomatis. Berjuta dolar pun masuk ke kantong perusahaan dari marketplace global. Devumi menjual follower Twitter dan retweet kepada pesohor, pebisnis, dan siapa pun yang ingin mempunyai pengaruh di jagat online.
Perusahaan ini mempunyai stok 3,5 juta akun otomatis yang dijual berkali-kali. Persediaan akun yang mereka tawarkan kepada konsumen mencapai 200 juta followers.
Namun, pengguna yang diduga membeli akun-akun bot di Twitter tidak dikenai sanksi oleh Twitter. Kristen Binns, juru bicara Twitter, mengatakan perusahaan tidak memberikan hukuman, sebab susah untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas transaksi pembelian akun tersebut.
Baca juga: Skandal Hilangnya Jutaan Follower di Twitter