Kisah Muram dan Sejarah Bali di Masa Lalu
https://www.naviri.org/2018/02/sejarah-bali.html
Naviri.Org - Bali yang kita kenal sekarang adalah pulau indah yang eksotis, yang telah menyihir jutaan orang dari berbagai negara untuk berdatangan ke sana. Bali yang kita kenal sekarang adalah tempat yang menyenangkan, pusat pariwisata Indonesia, salah satu surga di bumi.
Namun, siapa yang menyangka bahwa semua keindahan yang ada di Bali harus melewati perjalanan yang panjang, dan tak seindah wujudnya sekarang?
Berdasarkan sejarah, wajah Bali yang bergelimang citra keindahan eksotis sebenarnya dilatari abad-abad yang muram. Di permulaan abad ke-20, Bali dilumuri perang saudara, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan raja-raja.
Selain itu, Geoffrey Robinson, dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, menjelaskan bahwa dari abad ke-17 sampai ke-19 ekspor utama Bali adalah budak. Sebanyak 2.000 budak diekspor per tahun selama abad ke-17. Budak-budak tersebut dikirim ke Batavia, Hindia Barat, Afrika Selatan, dan ke penjuru pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Populasi budak di Batavia pada pertengahan abad ke-17 kira-kira 18.000 jiwa, sekitar setengahnya adalah orang Bali. Michel Picard, dalam Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, menambahkan bahwa perdagangan budak adalah kegiatan utama pulau Bali, dirangsang oleh kebutuhan tenaga kerja VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang bermarkas di Batavia.
Selebihnya, Bali sejak dulu dikenal bangsa-bangsa Eropa sebagai pulau dengan penduduk yang tangguh, yang dapat ngamuk secara tak terduga. Hal ini diperkuat olehnya dengan mengutip dari Adrian Vickers, dalam Bali: A Paradise Created, “bahwa orang-orang Bali sejak lama terkenal penjarah kapal-kapal karam, dan raja-raja mereka dianggap tak lebih daripada penguasa lalim merangkap pedagang budak, kejam, dan pengumbar nafsu, yang memaksakan para jandanya mengorbankan diri dengan terjun ke dalam api.”
Setelah VOC dibubarkan, Bali yang sebelumnya kurang menarik Belanda dan bangsa Eropa lainnya karena tidak ada rempah-rempah, maupun lahan pertanian yang cocok untuk usaha perkebunan, mulai diperhatikan Belanda. Hal ini terkait dengan perang Napoleon di Eropa yang efeknya sampai ke Nusantara, dengan semakin tajamnya ketegangan antara Belanda (taklukan Perancis) dengan Inggris, terutama di pulau Jawa. Dan karena secara geografis Bali dekat dengan Jawa, maka pulau ini kembali mendapat perhatian.
Ketika hubungan diplomatis dengan raja-raja Bali gagal, Belanda akhirnya melakukan intervensi militer. Tak kurang dari tujuh kali ekspedisi militer dilakukan oleh Belanda untuk menaklukkan Bali secara keseluruhan. Pembantaian terjadi di mana-mana, yang di seselanya dihiasi kisah heroik perang puputan.
Rezim kolonial Belanda yang melakukan penaklukan secara brutal dengan kekerasaan dan penghilangan nyawa terhadap manusia Bali, direspons oleh dunia internasional dengan timbulnya kegemparan. Hal ini kemudian menjadi sumber rasa malu pemerintah kolonial Belanda.
Untuk memulihkan pandangan buruk tersebut, pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan Baliseering atau pem-Bali-an yang dimulai sejak tahun 1920-an dengan “mengunci” citra Bali sebagai tanah tradisi yang mooi.
“Selanjutnya agar kekejaman intervensinya dilupakan orang, mereka berusaha menampilkan suatu gambaran positif dari kebijaksanaan kolonialnya di Bali, suatu pencitraan yang didasarkan pada pelestarian budaya Bali berikut promosinya melalui pariwisata,” tulis Michel Picard.
Kebijakan kultural ini menghasilkan ditampilkannya kembali gaya busana, bentuk arsitektural, tarian, dan tata krama berbicara tradisional. Orang Bali harus berbusana Bali. Teknik-teknik konstruksi modern, tak peduli betapapun praktis atau menariknya bagi para pemakainya, ditetapkan sebagai buruk secara estetis, dan karena itu dihindari. Bahasa Bali digalakkan, dan pengawasan ketat terhadap kode penanda statusnya dikuatkan sebagai hukum adat.
Pada masa itu, pemakaian celana panjang oleh laki-laki atau kebaya (baju Jawa) oleh perempuan menjadi tindakan subversif. Penggunaan tingkatan bahasa Bali yang tidak tepat, atau penggunaan bahasa Melayu, dipandang oleh otoritas pemerintah sebagai tindakan perlawanan yang kurang ajar, dan bisa dihukum di Raad van Kerta (lembaga peradilan adat ciptaan pemerintah kolonial yang pernah mengatur sistem kehidupan sosial-adat Bali). (Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, 2006, hal 75)
Di periode yang sama ketika diberlakukannya Baliseering, perusahaan pelayaran Belanda yaitu KPM (Koninklijk Paketvarrt Maattschapij), mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata. Sementara yang dianggap sebagai wisatawan pertama di Bali adalah Heer H. van Kol (anggota parlemen Belanda) yang mengunjungi Bali pada 4 Juli 1902, jauh sebelum Baliseering.
Dalam catatan I Gde Pitana yang disiarkan oleh Bali Post tahun 1999, setelah mengunjungi Bali, “wisatawan pertama” ini kemudian menulis buku Uit Onze Kolonien (Dari Koloni Kami) yang terbit di Leiden pada 1902. Dalam buku setebal 826 halaman tersebut, 123 halaman menceritakan tentang Bali.
Lebih lanjut Michel Picard menjelaskan bahwa citra keseimbangan dan harmoni yang diciptakan oleh serangkaian relasi kuasa kolonial, yang melibatkan produksi bahasa, tingkah laku, dan citra yang tanpa sadar menjadi cikal bakal terbentuknya Bali hingga kini. Pulau ini seolah sekerat tanah surga yang siap dikonsumsi kapan saja oleh bisnis pariwisata.
Baca juga: Lahirnya Gerakan-gerakan Anti Pariwisata