Perang Propaganda Israel Melawan Dunia
https://www.naviri.org/2018/02/propaganda-israel.html
Naviri.Org - Ada banyak negara yang membenci Israel, meski ada pula sebagian lain yang mendukung mereka. Karena kebencian atau ketidaksukaan pula, banyak negara yang melakukan pemboikotan terhadap Israel serta apa saja yang berbau Israel. Fenomena semacam itu terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Telah beberapa kali orang-orang Indonesia menyerukan agar kita memboikot produk-produk Israel, sebagai bentuk perlawanan kepada mereka.
Belum lama, ketika Presiden AS, Donald Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, teriakan boikot kembali mengemuka. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Bagaimana tanggapan Isreal terhadap aneka serangan semacam itu? Ternyata, Isael tidak tinggal diam. Mereka tahu sedang berperang dengan propaganda. Jadi mereka pun berusaha melawan propaganda tersebut.
Israel punya reputasi yang mesti diselamatkan karena dilabeli “penjajah” tanah air Palestina sejak negara Zionis itu dideklarasikan pada tahun 1948. Apalagi pada pertengahan tahun 2000-an muncul gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), yang pengaruhnya menjangkau ke berbagai negara. Propaganda harus dibalas propaganda, dan Israel mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk kampanye melawan gerakan BDS.
Menurut laporan investigasi The Seventh Eye, yang dikutip majalah independen asal Israel +972, pemerintah Israel telah membayar penerbit koran Yedioth Group dalam kisaran $100.000 untuk merilis artikel dan wawancara propaganda anti-BDS. Hasilnya didistribusikan oleh Pro-Israel Network, di Israel dan seluruh dunia. Proyeknya dimulai pada bulan Juni 2017, termasuk dirilis di situsweb Ynet dan majalah mingguan.
Selain produk jurnalisme tertulis, Ynet juga mempublikasikan video promosi yang diproduksi oleh tim dari Departemen Urusan Strategis Israel. Isinya meliputi beberapa wawancara khusus dengan petinggi kementerian, koresponden politik senior, dan perwakilan lembaga pro-Israel, yang punya hubungan dengan pemerintah maupun yang independen.
Dua di antaranya adalah World Jewish Congress dan Stand With Us, yang mensponsori konferensi anti-BDS Yedioth tahun lalu. Acara tersebut dihadiri politisi senior dan perwakilan resmi dari Departemen Urusan Strategis. Gerakan BDS, dalam salah satu artikelnya, membuat Israel terkesan bukan negara yang memiliki legitimasi ideal. Ini bagi mereka menyesatkan, sehingga mesti dipersuasi dengan ajakan sebaliknya, agar pandangan masyarakat dunia terhadap Israel juga keluar dari zona negatif.
Hubungan antara Departemen Urusan Strategis dengan Yedioth hanyalah satu dari kampanye anti-BDS yang lebih besar dari segi dana maupun jangkauan pembaca. Pada bulan Juni 2017, departemen tersebut menghabiskan sekitar $2 juta untuk program yang sama. Angka ini yang paling besar yang diungkap The Seventh Eye.
Artikel propaganda Israel muncul di kanal-kanal daring skala global seperti The Jerusalem Post, yang dibayar $34.000 oleh pemerintah Israel. Dana sebesar $27.000 dipakai untuk membayar Times of Israel, sedangkan $33.000 untuk penerbit asal AS, J Media Group. Lembaga terakhir mengoperasikan stasiun televisi bernama ILTV. Mereka juga menerima uang khusus dari Departemen Urusan Strategis bersama koran berbahasa Ibrani Makor Rishon dan koran milik pengusaha AS Sheldon Adelson, Israel Hayom.
Uang pajak warga Israel dipakai untuk membiayai program tersebut. Oleh karena itu, sebagian datanya dirilis ke publik. Menurut rilisan tersebut, pengeluaran terbesar yakni $740.000, digunakan untuk mempromosikan konten anti-BDS melalui media sosial dan mesin pencari termasuk Google, Twitter, Facebook, dan Instagram.
Sisanya yang $570.000 dipakai untuk membangun laman berkonten promosi anti-BDS, Act.il. Sekitar $140.000 sisanya dipakai untuk membangun strategi, menunjang kreativitas, hingga persoalan “branding”.
Gerakan BDS adalah kampanye global untuk menekan Israel di ranah ekonomi-politik, agar pelanggaran hukum internasional dan pendudukan atas Palestina bisa berakhir. Tujuan pokok lain adalah agar hak-hak dasar Israel dan kesetaraan penuh bagi warga Arab-Palestina yang tinggal di negara tersebut menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah, dan memperoleh kembali harta-benda mereka sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB 194.
Komite Nasional BDS Palestina dibentuk pada 9 Juni 2005 oleh lebih dari 170 LSM yang berbasis di Palestina. Dalam laporan The Independent, barisan pendukungnya yang ada di banyak negara sering meniru semangat anti-apartheid atau kontrol oleh minoritas kulit putih di Afrika Selatan tahun 1948-1991. Israel, dalam sikap mereka, seperti Afsel masa apartheid yang memenjarakan dan menomor-duakan warga Palestina, seperti dulu warga kulit hitam Afsel direpresi minoritas kulit putih.
Bentuk gerakannya macam-macam. Kampanye utama boikot bertujuan agar masyarakat di berbagai negara tidak mengonsumsi barang atau jasa yang dimiliki oleh pebisnis Israel. Mereka juga menunggu momentum yang tepat untuk melancarkan demonstrasi disertai protes keras. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan yang menjalin kerja sama dengan militer Israel, atau perusahaan yang beroperasi di wilayah yang diduduki Israel.
Di ranah ideologis, penggerak BDS mengajak berbagai instansi akademis untuk tidak menghadiri konferensi atau seminar ilmiah di Israel. Mereka juga mengajak pemain band agar grupnya tidak "manggung" di Israel. Lebih baik lagi jika grup tersebut menyatakan sikap pro-Palestina, dan bergabung dengan konser-konser amal untuk sumbangan kepada warga Gaza dan Tepi Barat.
Demikian juga saat Israel mengadakan sebuah acara di negara lain atau di wilayah yang diokupasi, para pendukung BDS kompak menolaknya. Mereka justru membalas kampanye di lokasi dengan mengajak peserta kegiatan untuk bersolidaritas dengan warga Palestina.
Ada sebuah acara tahunan bernama Israel Apartheid Week yang mendukung popularitas BDS di kalangan akademisi. Bentuknya demonstrasi dan kuliah umum di kampus-kampus. Pertama kali dimulai di Toronto pada 2005. Biasanya diadakan setiap bulan Februari atau Maret, dan hingga kini telah menyebar ke 55 negara di lima benua.
Popularitas gerakan BDS memang dinamis. Faktor yang tetap menjaga asanya tetap menyala antara lain karena didukung oleh tokoh-tokoh terkenal dari berbagai bidang di media sosial. Antara lain Roger Waters, pemain bas Pink Floyd, yang sempat berkonflik dengan vokalis Thom Yorke karena Radiohead mengadakan konser di Israel. Ada juga Desmond Tutu selaku Uskup Agung Anglikan, Alice Walker sebagai sastrawan peraih penghargaan Pulitzer, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, apakah perjuangan BDS benar-benar punya efek “menghantam” Israel? Al Jazeera punya catatan kesuksesan BDS yang dilaporkan menuai dukungan, mulai dari gereja-gereja di AS, kampus di Inggris, serikat buruh di Mesir, hingga pemerintah Bolivia.
Veolia dan G4S adalah korporasi multinasional yang turut terlibat dalam represi Israel terhadap warga Palestina. Dalam catatan Al Jazeera, gerakan BDS membuat keduanya merugi miliaran dolar, dan mengumumkan untuk menarik kerja samanya dengan Israel. Kemudian pada tahun 2014 gerakan BDS berhasil membuat investasi asing ke Israel turun hingga 46 persen.
Pada bulan Juni 2015, sebuah analisis yang dikerjakan dan dipublikasikan oleh Rand Corporation menyimpulkan bahwa kampanye BDS akan berhasil melawan Israel jika dapat dipertahankan selama 10 tahun. Potensi kerugian untuk ekonomi Israel bisa mencapai $47 miliar. Perhitungan ini juga didasarkan pada upaya-upaya pemboikotan di negara-negara lain.
Para analis, terutama yang pro-Israel, menganggap BDS omong kosong belaka. Namun reaksi pemerintah Israel yang menggelontorkan dana besar untuk menangkal propagandanya membuktikan yang sebaliknya. Masih merujuk Al Jazeera, sejak 2010 Israel telah memulai proyek anti-BDS dengan tujuan utama “de-legitimasi” BDS. Lobi-lobi di berbagai negara dikencangkan agar otoritas setempat bertindak tegas terhadap pengerak BDS.
Upaya mereka tak sia-sia. Pada pertengahan November 2017, misalnya, sebuah undang-undang diusulkan ke Parlemen Italia untuk bisa mengkriminalisasi pelaku BDS. Italia sebenarnya punya rekam jejak politik yang pro-Palestina sejak Israel berdiri. Namun sejak 1990-an lobi Zionis di tubuh pemerintahannya makin besar, termasuk upaya mempengaruhi opini publik, demikian menurut laporan Foreign Policy Journal.
Rabu (20/12/2017) kemarin Munchen adalah kota pertama di Jerman yang mengesahkan peraturan untuk melarang boikot kepada Israel. Dua partai terbesar yakni koalisi CDU/CSU dan Partai Demokrat Sosial Jerman, yang ada di tubuh pemerintahan Kota Munchen, menganggap pemboikotan sebagai tindakan anti-semitisme.
Keputusan Trump atas status kota Yerusalem mengencangkan kembali wacana tentang gerakan BDS melawan Israel. Namun Israel juga tak mau kalah. Rabu kemarin Gilad Erdan selaku kepala Departemen Urusan Strategis menghadiri hanukkah khusus. Bersama 30 organisasi pro-Israel mereka menyalakan lilin untuk kembali mengkonsolidasikan kekuatan guna melawan gerakan BDS.
“Usaha kita sudah mulai menampakkan hasil. Tahun ini kami berusaha untuk melakukan serangan balik. Bersama-sama kami berhasil tidak hanya mengejutkan kampanye BDS, namun juga menghambat pergerakan mereka dalam menyebarkan kebohongan-kebohongan dan kebencian terhadap Israel,” ungkap Erdan, sebagaimana dikutip Jerussalem Post—salah satu media yang pernah mereka bayar untuk memproduksi berita anti-BDS.
Baca juga: Aneka Teknologi Dunia yang Ternyata Diciptakan Israel