Hak-hak Perempuan di Tempat Kerja dan Masalahnya
https://www.naviri.org/2018/02/perempuan-di-tempat-kerja.html
Naviri.Org - Saat ini, bukan hanya laki-laki yang bekerja mencari nafkah, namun juga perempuan. Kenyataan itu bisa dilatari beragam hal. Bisa karena si perempuan memang memilih untuk bekerja, karena senang memiliki karier sendiri, dan tidak ingin menggantungkan segalanya pada pasangan. Atau bisa pula karena si perempuan merasa juga harus ikut bekerja mencari nafkah karena penghasilan suami yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Fenomena semacam itu tentu berbeda dengan yang terjadi sekian puluh tahun yang lalu, khususnya di Indonesia. Di masa lalu, pihak laki-laki (suami) yang bekerja, sementara perempuan (istri) mengurus rumah tangga.
Karenanya, aturan terkait kerja di perusahaan pun sering kali hanya fokus pada pekerja laki-laki, karena fenomena pekerja perempuan bisa dibilang baru muncul belakangan. Karenanya pula, aturan-aturan itu tentunya sudah perlu direvisi, untuk disesuaikan dengan kondisi yang sekarang terjadi.
UU No. 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja mengatur soal hak-hak karyawan perempuan. Beberapa di antaranya menyangkut hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, kesempatan untuk menyusui, dan layanan antar-jemput bagi karyawan perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 hingga 05.00.
Isu lain adalah hak untuk menyusui. Sekalipun perusahaan wajib memberi kesempatan bagi karyawan yang jadi ibu untuk menyusui anaknya, masih sumir dalam hal implementasi. Apakah di tempat kerja? Apakah telah tersedia ruangan khusus menyusui yang memadai?
Pemerintah menggalang kampanye tentang "mengutamakan ASI", tetapi perempuan di tempat kerja hanya diberi waktu tiga bulan cuti, sejak menjelang persalinan hingga pascapersalinan.
Logika perusahaan mengabaikan hak khusus karyawan perempuan karena lazim melihat pekerja sebagai tenaga produktif. Dalam kasus terburuk, ia bahkan terjadi secara meluas di lingkungan kerja pabrik, tempat yang biasanya paling tinggi dalam kasus-kasus pengabaian hak buruh.
Kebijakan pro-perempuan
Optimisme penerapan kebijakan pro-perempuan tak cuma muncul dari mereka yang aktif dalam gerakan-gerakan sosial, tetapi juga pimpinan-pimpinan perusahaan yang peduli pada isu-isu gender.
Dari pemerintah, kebijakan serupa muncul dari Aceh, yang ironisnya sebagai provinsi yang menerapkan diskriminasi terhadap perempuan dan minoritas seksual lain, termasuk agama, di bawah syariat Islam.
Dalam salah satu pasal peraturan gubernur tahun 2016 tentang pemberian ASI eksklusif, karyawan yang baru melahirkan mendapat cuti selama 180 hari (6 bulan). Selain itu perusahaan di sana juga diwajibkan membuat ruangan khusus untuk menyusui.
Mengutip buku Polemik Publik Kebijakan Cuti 6 Bulan (Ratnalia Indriasari et. al., 2016), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menanggapinya bahwa aturan itu lebih karena Aceh adalah wilayah otonomi khusus dengan dasar syariat Islam. "Sepanjang tidak mencakup enam kewenangan pusat," katanya, "terserah daerah. Kalau DPRD-nya setuju dan dibuat perda, ya enggak ada masalah.”
Sebaliknya, Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menanggapi negatif peraturan gubernur ini. “UU-nya kan tidak begitu dan tentunya peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan UU,” katanya.
Baca juga: Pengistimewaan Perempuan dan Soal Diskriminasi