Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP (2)

Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP

Naviri.Org Uraian ini lanjutan uraian sebelumnya (Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP ~ 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlbih dulu.

Zina

Kenapa negara harus mengurusi ruang rivat warganya? Demikian pertanyaan yang kerap terlontar, menyusul penambahan ayat terkait definisi zina pada revisi Pasal 488 KUHP, yakni:

Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah, melakukan persetubuhan.

Ayat tersebut, menurut peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, membuat negara terlalu jauh mengurusi permasalahan pribadi seseorang. Parahnya, ayat itu justru bisa menjadi bumerang bagi korban pemerkosaan.

“Kalau enggak bisa buktikan dia diperkosa, malah bisa kena pasal berzina,” kata Erasmus. Padahal, kerugian korban pemerkosaan sudah begitu besar. Mereka yang mendampingi korban pemerkosaan, para kuasa hukum korban, tahu persis korban diperlakukan tidak baik di ruang pengadilan. Jangankan korban pemerkosaan, korban pelecehan seksual saja susah (mendapat keadilan) di Indonesia, ini malah bisa kena pidana lagi.”

Hal lain, penambahan ayat pada pasal zina dikhawatirkan menyuburkan praktik pernikahan di bawah umur. Terlebih bila orang tua cemas dengan anak mereka, sehingga malah mendorong anak-anak muda untuk melakukan pernikahan dini.

Maka kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan, ujar ICJR, tidak berpihak pada kelompok rentan, terutama anak dan perempuan. Sebab juga membahayakan 40-50 juta masyarakat adat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin, yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi.

Legislator Benny K. Harman, ketika masih menjabat Ketua Komisi III DPR, pernah mengatakan, pasal zina dalam RKUHP masih didiskusikan di DPR. Ia juga menampik pasal tersebut bakal melanggar privasi seseorang, sebab pasal itu baru bisa digunakan bila ada pihak yang mengadukan (delik aduan).

“Jadi sepanjang ada pengaduan, tentu bisa dijadikan (pidana). Kalau tak ada pengaduan ya enggak,” kata Benny waktu itu.

Senada dengan Benny, Sani menyatakan pasal zina tak bakal membuat hukum berlaku sewenang-wenang. Bahkan, pengaduan perbuatan seksual pun sudah dibatasi.

“Tetap delik aduan, dan yang mengadu dibatasi. Karena kami di DPR juga sadar bahwa ini negara Bhinneka Tunggal Ika. Ada dareah-daerah tertentu yang tidak mempersoalkan hal-hal seperti itu (hubungan seksual di luar nikah). Jadi ya silakan. Kalau masyarakat enggak mempersoalkan, ya tidak usah diadukan,” kata Sani.

Pasal soal zina mengatur bahwa penuntutan baru bisa dilakukan jika ada aduan dari suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar atau yang berkepentingan.

LGBT

Rancangan KUHP juga dituding menyudutkan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) melalui Pasal 495 yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

(2) Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual.

Sani membantah pasal tersebut dimunculkan untuk menyerang kaum LGBT. Menurutnya, pasal itu hanya untuk mencegah perbuatan cabul oleh sesama jenis di depan umum.

“Yang mau dipidana itu bukan orang yang bersatus LGBT, tetapi karena perilaku menyimpang. Apakah perilaku menyimpang kalau dilakukan oleh laki-laki dan perempuan murni yang tidak punya kepribadian LGBT dipidana atau enggak? Ya dipidana juga. Jadi yang mau dipidanakan itu perbuatan cabulnya,” kata Sani.

Sani meyakinkan pasal tersebut tidak akan sewenang-wenang menyerang mereka yang berhubungan di ruang privat. “Kalau dia di kamar hotel enggak ada yang lihat, ya enggak. Jadi yang mengatakan, ‘Nanti polisi masuk mendobrak kamar hotel segala macam’, itu tidak benar,” ujar Sani.

Hingga kini belum disepakati perihal delik yang akan digunakan untuk melakukan penuntutan, apakah delik aduan atau delik biasa.

“Kami kan enggak tahu pembuktiannya bagaimana. Ini yang sedang dipikir, apakah negara mengurusi hal privat seperti itu? Kami belum memutuskan. Kami masih buatkan sekian banyak alternatif,” kata Ketua Tim Perumus RUU KUHP dari pihak pemerintah, Enny Nurbaningsih.

“Kalau dewasa sesama jenis, suka sama suka, itu susah. Bagaimana negara bisa mencampuri, misalnya, mereka ada di satu kamar. Kecuali kalau itu (LGBT) menjadi pornoaksi, itu bukan delik aduan, itu delik biasa,” lanjut Enny.

Ia mengatakan, pemerintah amat berhati-hati dalam menetapkan usul pasal pidana LGBT tersebut, karena ada wilayah privat individu yang perlu dijaga.

Informasi Kontrasepsi

Pasal 481 dan 482 RKUHP yang memuat larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi (cara untuk mencegah kehamilan) dicemaskan menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV.

Kedua pasal tersebut berbunyi:

Setiap orang yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda.

Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan, dipidana dengan pidana denda.

Meski demikian, kekhawatiran tersebut ditampik dengan adanya Pasal 483 yang berbunyi:

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 482 dan Pasal 482 tidak dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit infeksi menular seksual, serta untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.

Petugas yang berwenang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang.

Masalahnya, bagaimana jika relawan tersebut tidak atas penugasan pejabat berwenang?

Masih terdapat sejumlah pasal lain dalam RKUHP yang hingga kini menimbulkan silang pendapat, termasuk pasal tentang hukuman mati, penyiksaan, pencabulan anak, dan larangan penyebaran komunisme/marxisme-leninisme.

Sementara banyak pihak mengkritisi RKUHP ini, DPR dan pemerintah masih terus menggodoknya. Undang-Undang yang sejatinya ditargetkan rampung pada pertengahan 2016 ini pun hingga kini masih belum menemui titik terang.

Baca juga: Kisah Lahirnya Undang-Undang Sihir di Inggris

Related

News 7239171668501590345

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item