Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP (1)
https://www.naviri.org/2018/02/pasal-kontroversial-part-1.html
Naviri.Org - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang menggodok Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan digunakan untuk mengganti pasal-pasal sebelumnya yang telah ada. Ada banyak pasal yang sedang dibahas dan dipelajari, yang diharapkan dapat menghasilkan tatanan hukum yang lebih baik. Namun, di tengah upaya tersebut, muncul polemik di kalangan masyarakat.
Polemik itu timbul, lantaran beberapa pasal yang digodok dalam RKUHP berpotensi menjadi pasal “berbahaya” karena kontroversial dan bisa jadi multitafsir. Pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu, khususnya, adalah pasal-pasal yang menyangkut urusan pribadi warga negara. Terdapat sejumlah isu yang dianggap krusial dan memerlukan pembahasan khusus oleh Panitia Kerja RKUHP, yang menjadikan sebagian masyarakat ikut bersuara dan memprotes.
Sejumlah poin yang dianggap bermasalah dalam draf revisi KUHP utamanya menyangkut hukuman atas pelanggaran hak asasi manusia yang cenderung lebih ringan, pidana hukuman mati, serta aturan-aturan yang mengancam kebebasan sipil, cara berekspresi, hingga mengusik ranah privasi warga.
RKUHP memunculkan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan kebencian terhadap pemerintah. Padahal, pasal tersebut telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006, yang berpandangan aturan peninggalan pemerintah kolonial Belanda tersebut sudah tak lagi relevan.
Menurut Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly, pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden itu demi menjaga nama baik presiden sebagai lambang negara. Keberadaan pasal itu, ujarnya, bukan berarti pemerintah antikritik.
“Mengkritik itu harus, tapi kalau menghina itu soal personal, soal lain. (Presiden) ini simbol negara,” kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Kebebasan berekspresi, lanjut Yasonna, tetap ada batasnya, khususnya bila sudah menyinggung kehormatan Presiden. “Kita kan enggak mau buat sesuatu jadi sangat liberal, sehingga orang bisa can do anything they want atas nama kebebasan. Kebebasan juga harus di-frame,” kata Yasonna.
Berikut larangan menghina Presiden yang tercantum dalam draf RUHP:
Pasal 238
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori I pejabat.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 239
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal tersebut dicemaskan menjadi pasal karet, sebab menyebabkan perbedaan penafsiran perihal hinaan atau kritik antara penegak hukum dan masyarakat.
“Siapa yang akan menentukan apakah ini (perbuatan) menghina atau tidak?” kata Ignatius Haryanto, dosen jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara.
Ignatius khawatir pasal tersebut juga membangkitkan rasa waswas bagi media massa, yang seharusnya memiliki fungsi kritik kepada pemerintah. “Pers akan hati-hati, tidak berani menampilkan berita apa adanya, dan ini selangkah lagi menuju sensor.”
Sementara bagi masyarakat umum, daya kritik mereka kepada presiden lewat cara-cara kreatif dikhawatirkan menghilang.
“Yang paling terkena (sasaran pasal 238-293) adalah orang yang suka mengkritik Presiden, bikin meme dan lain-lain,” kata Erasmus Napitupulu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Namun, kekhawatiran tersebut ditepis oleh anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. Ia meyakinkan, pasal larangan menghina Presiden murni untuk menjaga martabat kepala negara. Pasal itu, ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan tersebut, melengkapi aturan pada KUHP saat ini yang telah mengatur perihal larangan menghina kepala negara lain lewat Pasal 142.
“Bayangkan, di KUHP ada pasal penghinaan kepada presiden negara lain yang sedang berkunjung ke Indonesia. Lah, kalau menghina presiden negara lain bisa dipidana, masa menghina presiden sendiri tidak dipidana?” kata Sani. Pun begitu, lanjut Sani, pasal penghinaan presiden tersebut masih belum rampung dibahas oleh DPR dan pemerintah.
“Masih ada perbedaan sudut pandang di DPR sendiri, maupun antara DPR dengan pemerintah. Misal, apakah pasal itu akan kami buat sebagai delik biasa atau delik aduan. Lalu bagaimana kisi-kisi untuk membedakan mana perbuatan yang masuk kategori menghina, dan mana yang kritik,” kata Sani.
Delik biasa adalah kasus yang dapat diproses tanpa pengaduan dari pihak yang dirugikan, sedangkan delik aduan adalah perkara yang hanya bisa diproses apabila terdapat pengaduan atau laporan dari pihak yang menjadi korban tindak pidana.
Pasal-pasal pada Bab XXXVIII draf Rancangan KUHP tidak dituliskan karena, seperti tercantum dalam RKUHP tersebut, “Menunggu hasil pembahasan dan penyesuaian dalam Buku Kesatu RUU KUHP.”
Berdasarkan catatan KontraS, bab tersebut mengatur antara lain tentang batas minimum dan maksimum bagi kejahatan genosida dan kemanusiaan, yakni minimum lima tahun penjara, dan maksimum 20 tahun penjara.
Hal tersebut tak sinkron dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengancam pelaku pelanggaran HAM berat dengan hukuman minimum 10 tahun penjara dan maksimum 25 tahun penjara.
RKUHP juga membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar proses hukum; dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dapat hilang jika ia mendapat amnesti, grasi, atau abolisi.
Yang mengecewakan, ujar KontraS, pengaturan perkara pelanggaran HAM berat dalam RKUHP sesungguhnya membuat dimensi khusus (lex specialis) dalam kejahatan kemanusiaan menjadi hilang.
Namun, Kepala Badan Pembinaan Hukum Kemenhumham, yang juga Ketua Tim Perumus RUU KUHP dari pemerintah, Enny Nurbaningsih, menyatakan pelanggaran HAM berat justru perlu dimasukkan ke dalam KUHP karena berpotensi memakan korban jiwa amat banyak.
“Karena berdampak luar biasa berat pada korban, bersifat transnasional, dan terorganisasi,” kata Enny seperti dikutip dari KBR, Senin (5/2).
Pelanggaran HAM berat yang hendak dimasukkan ke dalam RKUHP itu ialah genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Namun, ujar Enny, pembahasan soal itu masih ditunda, karena perlu menelaah soal siapa yang disasar untuk dikenai ancaman hukuman. “Apakah negara atau komandan yang memberi perintah.”
Baca lanjutannya: Polemik Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi KUHP (2)