Pasal Karet dan Kekuasaan Tangan Besi di Eropa

Pasal Karet dan Kekuasaan Tangan Besi di Eropa

Naviri.Org - Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia sedang menujukan pandangan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang sedang berupaya membangkitkan lagi pasal Penghinaan Presiden yang sebenarnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006 silam. Mulanya, ini tercantum dalam Pasal 134, pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

Dalam putusan pencabutan atau penghapusan pasal Penghinaan Presiden, Mahkamah Konstitusi berpendapat keberadaan pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bisa menjadi hambatan dalam proses pengusutan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden. Upaya-upaya mengklarifikasi tuduhan pelanggaran tersebut bisa saja dipandang sebagai penghinaan kepada Presiden/Wakil Presiden.

Selain itu, pasal mengenai Penghinaan Presiden juga bisa berpotensi menjadi pasal karet. Karena bisa dibilang tidak ada definisi pasti mengenai apa yang disebut “penghinaan terhadap presiden”. Akibatnya, pasal itu akan berpotensi membungkam siapa pun yang ingin menyuarakan pendapatnya, khususnya terkait presiden atau kebijakannya.

Perkara penghina kepala negara, raja, atau orang yang berkuasa lainnya, di Eropa lazim disebut dengan istilah Lèse-majesté. Menurut Oxford Dictionary, Lèse-majesté atau Lese Majesty adalah penghinaan terhadap kepala monarki atau penguasa.

Lèse-majesté dipinjam bahasa Perancis dari bahasa Latin, laesa maiestas, atau “kedaulatan yang terluka”. Menurut Theodor Mommsen dalam A History of Rome Under the Emperors (1992), jauh sebelum dikaitkan dengan fenomena di Thailand dalam beberapa tahun terakhir, hukum ini dapat dilacak eksistensinya dari zaman Kekaisaran Romawi, dan mekar di bawah pemerintahan Kaisar Tiberius.

Lèse-majesté masih meninggalkan jejak di negara-negara Eropa, termasuk Denmark, Norwegia, Spanyol dan Belanda.

Belanda, negeri dengan tingkat kebebasan media yang besar, masih mempertahankan hukum Lèse-majesté yang eksis sejak 1881. Pasal-pasal ini jarang diberlakukan. Namun pada Juli 2016 lalu, pengadilan Belanda menjatuhkan hukuman 30 hari penjara kepada pria berusia 44 tahun yang menuding Raja Willem-Alexander sebagai pembunuh, pencuri, dan pemerkosa, di Facebook.

Siapapun yang dijerat dengan pasal penghinaan terhadap keluarga kerajaan di Belanda dapat dikurung selama lima tahun atau dijatuhi denda sebesar 20.000 euro. Seperti yang dicatat BBC, antara tahun 2000-2012 ada 18 tuntutan kasus Lèse-majesté dan “separuhnya dieksekusi menjadi hukuman”.

Di Spanyol tahun 2006, seorang pemimpin gerakan separatis Basque, bernama Arnaldo Otegi, dijerat hukuman satu tahun penjara (yang akhirnya ditangguhkan) dan dikenai denda setelah memprotes Raja Juan Carlos terhadap pemberangusan media lokal di daerah Basque pada 2003. Raja Spanyol, dalam kata-kata Otegi, telah “melindungi aksi penyiksaan dan memaksakan rezim monarkisnya terhadap rakyat kami melalui siksaan dan kekerasan".

Namun pada Maret 2011, pengadilan di Strasbourg memutuskan bahwa Spanyol harus membayar denda 20.000 euro. Ini sebagai kompensasi karena telah melanggar hak Otegi atas kebebasan berekspresi, sebagaimana dilansir Guardian.

Di Polandia pada 2012, Robert Frycz dijatuhi hukuman 15 bulan kerja sosial oleh pengadilan karena menghina presiden melalui situsnya, antykomor.pl. Presiden Polandia saat itu, Bronislaw Komorowski, dilaporkan berusaha untuk menjauhkan diri dari kasus ini.

Pada awal 2016 lalu, seorang blogger Polandia bernama Zabawny Kuc mengunggah sebuah video yang menampilkan Presiden Polandia, Andrzej Duda, tengah mabuk. Lelucon tersebut membuat marah beberapa pendukung presiden dan meminta jaksa untuk bertindak. Komputer blogger usia 17 tahun itu pun disita.

Namun Kuc tak sampai diadili karena Presiden turun tangan untuk menenangkan lewat kicauan di akun Twitternya, dan meminta jaksa tidak menindak masalah tersebut.

Penggunaan pasal Penghinaan Presiden tampaknya memang berkorelasi dengan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan membungkam kritik. Di Turki, Presiden Erdogan terkenal enteng memenjarakan jurnalis. Laporan Commite to Protect Journalist (CPJ) menyebutkan bahwa pada 2012, lebih dari 60 jurnalis dijebloskan ke penjara.

Sebagian besar jurnalis memang dibebaskan, akan tetapi pers Turki tetap menghadapi ancaman Pasal 299 KUHP yang mengatur penghinaan presiden. Hukumannya berupa penjara lebih dari empat tahun.

Dalam tujuh bulan pertama masa jabatan presiden Erdogan (2014), 236 orang diselidiki karena diduga menghina presiden. Dari jumlah itu, 105 orang—yang terdiri dari wartawan, mahasiswa, aktivis sipil, ilmuwan, seniman, bahkan mantan Miss Turki—dikenai dakwaan penghinaan terhadap kepala negara.

Menurut cendekiawan media Turki, Ceren Sözeri, Pasal 299 sudah ada dalam KUHP Turki sejak 1926. Tapi menurutnya, tak seorang pun pemimpin Turki yang menggunakan pasal tersebut sebrutal Erdogan.

Baca juga: Vladimir Putin, Si Tangan Besi dari Rusia

Related

World's Fact 4155358871541198136

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item