Jalan Nasib dan Dilema Netflix di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/02/netflix-di-indonesia.html?m=0
Naviri.Org - Setelah masuk ke negara-negara lain, Netflix—raksasa industri televisi—juga mulai masuk ke Indonesia. Harapan mereka, tentu saja, mendapatkan konsumen dari pasar Indonesia yang bisa dibilang besar. Dengan jumlah penduduk serta pengakses internet yang sangat tinggi, Netflix tentu juga berharap sukses di Indonesia sebagaimana di negara-negara lain yang sebelumnya telah mereka masuki.
Sayang, masuknya Netflix ke Indonesa tidak semulus saat masuk ke negara-negara lain.
Netflix resmi masuk ke Indonesia pada 7 Januari 2016. Masuknya Netflix ke Indonesia menandakan semakin lebarnya jangkauan investasinya. “Dengan peluncuran ini, konsumen di seluruh dunia, dari Singapura hingga St. Petersburg, dari San Francisco hingga Sao Paulo, akan dapat menikmati acara TV dan film secara bersamaan, tanpa harus menunggu,” ujar CEO Netflix, Reed Hastings, dalam acara tahunan Consumse Electronic Show di Las Vegas.
Tak jauh berbeda dengan televisi berbayar lain, Netflix mematok beberapa paket. Pertama adalah paket Basic dengan harga Rp 109 ribu per bulan. Kemudian ada paket Standar Rp 139 ribu, dan paket Premium yang dibanderol Rp 169 ribu.
Dengan statusnya sebagai raksasa televisi baru, wajar kalau masuknya Netflix ke Indonesia membuat ketar-ketir banyak penyedia jasa televisi yang sudah beroperasi lebih dulu. Sebut saja Indovision yang merupakan anak grup dari MNC Sky Vision.
Kekhawatiran ini memang langsung terbukti. Saat Netflix sudah resmi beroperasi di Indonesia, emiten MNCN di pasar saham langsung anjlok 3 persen dalam sehari. Di Twitter, akun MNC Newsroom langsung mencuit beberapa kekhawatiran terhadap masuknya Netflix dengan tagar #SaveOnlineIndonesia. Namun, cuitan itu ditanggapi dengan sentimen negatif oleh banyak pengguna Twitter di Indonesia.
Netflix juga dihadang oleh penyedia layanan internet di Indonesia. Pada 27 Januari 2016, Telkom memblokir Netflix dari semua layanan internetnya. Baik dari Indihome, WiFi.id, dan akses seluler Telkomsel. Hal ini dilakukan oleh Telkom karena, menurut mereka, Netflix tidak memenuhi regulasi di Indonesia, juga karena banyak memuat konten pornografi.
Selain itu, Netflix dianggap sebagai pemain over the top, atau perusahaan penyedia layanan data internet yang memanfaatkan jaringan operator telekomunikasi. Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator, karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.
Hal ini dianggap menggelikan. Sebab, seharusnya Telkom dan penyedia internet adalah pihak yang paling diuntungkan dengan masuknya Netflix. Sebab layanan Netflix membutuhkan internet untuk bisa beroperasi. Namun di satu sisi, penyedia jasa internet paket unlimited adalah pihak yang bisa merasa dirugikan. Sebab, Netflix akan menyedot banyak kuota. Untuk streaming film dengan kualitas layar High Definition selama satu jam, diperlukan kuota data sebesar 3 gigabyte.
Tak berapa lama setelah itu, layanan IndiHome langsung memberlakukan kebijakan Fair Usage Policy (FUP) atau kebijakan penggunaan kuota secara wajar. Hal ini diprotes oleh banyak pelanggan IndiHome yang merasa tak pernah diberitahu soal kebijakan ini di awal.
Sejatinya masih ada beberapa hambatan lain yang membuat Netflix belum bisa beroperasi secara optimal di Indonesia. Misalkan hal dasar seperti metode pembayaran. Hingga sekarang, Netflix hanya bisa dibayar dengan menggunakan kartu kredit. Padahal di Indonesia, pengguna kartu kredit masih sangat rendah. Menurut Economic Co-operation and Development, pengguna kartu kredit di Indonesia hanya 2 persen dari total jumlah penduduk. Masih kalah jauh dengan, misalkan, Malaysia yang mencapai 12 persen.
Masalah sulih bahasa juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Netflix belum menyediakan layanan sulih bahasa bagi film-film di katalognya. Padahal Indonesia masih terhitung sebagai negara dengan penggunaan dan kemampuan Bahasa Inggris yang rendah. Lembaga belajar EF English pernah merilis survey Proficiency Index, yakni negara dengan kemampuan Bahasa Inggris. Hasilnya, Indonesia hanya menempati posisi 32 dari 70 negara yang disurvei, di bawah Vietnam atau Malaysia.
Hambatan lain, sekaligus yang paling vital, yakni infrastruktur internet atau data internet seluler di Indonesia. Dari data Internet.org, sekitar 75 persen pengguna data seluler di Indonesia masih mengandalkan jaringan 2G, alias GSM/EDGE. Untuk jaringan 4G, masih terbatas di kota besar seperti Jakarta atau Denpasar. Itu pun hanya di beberapa titik saja.
Beberapa pelanggan Netlix di Indonesia yang berlangganan paket internet Speedy 1mbps dari Telkom juga hanya bisa mendapat streaming dengan kualitas layar 480p, masih jauh dari kualitas High Definition.
Netflix memang masih akan kesusahan berlari kencang. Apalagi pengguna internet di Indonesia masih kurang akrab dengan layanan streaming, ditambah dengan kecepatan internet yang masih kurang layak.
Memang, ada peningkatan pengguna internet di Indonesia. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI), pengguna internet di Indonesia meningkat lumayan drastis. Pada 2013, ada 71 juta pengguna dan meningkat menjadi 88 juta pengguna setahun kemudian. Sekitar 85 persen pengguna itu memakai telepon seluler untuk mengakses internet.
Namun, dari pengguna internet di Indonesia, hanya ada sekitar 27 persen saja yang menggunakannya untuk video streaming. Bandingkan dengan penggunaan untuk jejaring sosial yang dimanfaatkan oleh sekitar 87 persen pengguna internet.
Pemerintah sendiri memilih bersikap hati-hati dalam menyikapi Netflix. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan rancangan aturan tentang keberadaan Netflix.
Munculnya Netflix di Indonesia ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Di satu sisi, ini adalah angin segar yang memberikan alternatif tontonan bagi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain Netflix dianggap ancaman bagi penyedia jasa televisi yang sudah ada.
Padahal seharusnya kehadiran Netflix bisa dijadikan pemicu agar penyedia jasa televisi, juga stasiun televisi, bisa memproduksi konten yang berkualitas. Apalagi sampai sekarang, Netflix belum bisa beroperasi dengan optimal karena infrastruktur internet yang belum memadai. Ini bisa dianggap sebagai kesempatan untuk membenahi diri.
Penyedia jasa televisi di Indonesia memang seharusnya disadarkan bahwa di zaman digital seperti sekarang, saat penonton bisa memilih sendiri acara yang ingin disaksikan, konten adalah raja. Maka buatlah konten televisi yang berkualitas!
Baca juga: Fujifilm, dari Bisnis Fotografi ke Bisnis Kecantikan