Media Sosial dan Kesehatan Mental Penggunanya
https://www.naviri.org/2018/02/media-sosial-dan-kesehatan-mental.html
Naviri.Org - Segala hal memang memiliki dampak atau efek, yang bisa positif maupun negatif. Termasuk media sosial yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari internet. Seperti kita tahu, internet telah menjadi bagian hidup manusia zaman sekarang. Sementara sebagian besar—setidaknya saat ini—orang masuk internet karena ingin aktif di media sosial. Media sosial yang dimaksud di sini bisa Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, dan lain-lain.
Kenyataannya, media sosial telah menjadi kebutuhan banyak orang untuk berbagai hal. Dari yang sekadar pamer foto selfie sampai untuk berbisnis.
Media sosial kini sudah menjadi alat untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan. Fitur media sosial yang semakin beragam, membuat orang semakin gandrung untuk membagi segala hal, bahkan hal yang pribadi sekalipun kepada semua orang. Para pengguna media sosial ini bahkan tidak menyadari bahwa aktivitas mereka bisa berpengaruh pada kesehatan mental.
Belum lama, lembaga asal Inggris, Royal Society for Public Health (RSPH), merilis laporan survei mengenai efek media sosial terhadap kondisi kejiwaan anak-anak muda usia 14-24 tahun bertajuk #StatusOfMind. Dari 1.479 responden asal Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, ditemukan opini mayoritas bahwa Instagram merupakan media sosial yang paling buruk dampaknya bagi kesehatan mental.
Bila platform media sosial ini berada pada urutan buncit untuk urusan kesehatan mental, Youtube menempati posisi paling unggul dan dinyatakan lebih banyak memberi efek plus, diikuti Twitter, Facebook, dan Snapchat. Menurut laporan RSPH yang dilansir Time, Youtube menawarkan berbagai informasi yang dapat mereduksi level depresi, kecemasan, dan perasaan kesepian para penggunanya. Meski demikian, sama seperti efek yang ditimbulkan Instagram, Youtube juga menciptakan potensi gangguan tidur para penggunanya.
Mengapa Instagram disebut buruk bagi kesehatan mental anak-anak muda?
Dari informasi yang tercantum dalam video #StatusOfMind diketahui bahwa separuh responden menganggap Instagram—di samping Facebook—memperparah kecemasan yang dialami para penggunanya. Lebih lanjut, 7 dari 10 responden menyatakan bahwa Instagram membuat penggunanya menilai rendah gambaran tubuh mereka sendiri.
Bukan rahasia bila visual-visual yang banyak ditampilkan di Instagram melanggengkan standar ideal bentuk tubuh atau kecantikan. Aneka iklan melangsingkan tubuh, produk kecantikan, representasi gaya hidup sehat melalui fitness atau diet, serta foto-foto pesohor yang nyaris tanpa cacat cela mendorong sebagian besar anak-anak muda untuk mengimitasinya. Gaya hidup dan citra tubuh tak realistis ini yang memompa perilaku-perilaku destruktif terhadap diri mereka, baik secara fisik maupun mental.
Salah satu responden survei yang diselenggarakan RSPH menyatakan, “Instagram dengan mudah membuat para perempuan merasa tubuhnya tak cukup indah. Maka mereka pun menggunakan filter dan mengedit fotonya untuk mengejar kesempurnaan citra tubuh.”
Tidak hanya perkara citra tubuh di Instagram saja yang berefek negatif terhadap kondisi mental seseorang. Foto-foto liburan atau kehidupan malam seseorang juga bisa memicu rasa iri dan perilaku membanding-bandingkan dalam diri para pengguna.
Ujungnya, rasa putus asa karena menilai hidup sendiri tak semenyenangkan hidup orang-orang yang diamati di Instagram pun muncul. Di samping itu, kecemasan akan ketinggalan tren atau isu-isu yang tengah marak diperbincangkan juga menjadi dampak buruk Instagram lainnya. Hal ini dikenal dengan FOMO alias fear of missing out.
Sekalipun laporan RSPH menunjukkan bahwa Instagram berdampak negatif terhadap kesehatan mental, tidak semua pihak sepakat dengan hal ini.
Platform media sosial ini mencoba menangkis anggapan bahwa hanya efek buruk terhadap kondisi kejiwaan saja yang berpotensi dimunculkan olehnya. Melalui kampanye #HereForYou, Instagram berupaya meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan pentingnya mencari dukungan untuk para penderita masalah kejiwaan, demikian pendapat Kevin Systrom, salah satu penggagas Instagram yang dikutip dalam Fortune.
Dengan cara meng-klik beberapa hashtag seperti #HereForYou, para pengguna bisa mengakses informasi dan cerita pengalaman orang-orang yang menghadapi masalah kejiwaan. Selain hashtag ini, beberapa hashtag lain terkait pemulihan kondisi mental juga dimunculkan di Instagram seperti #ItsOkayToTalk, #RecoveryIsPossible, #EndTheStigma dan #SelfLoveClub.
"Lewat Instagram, saya bisa terhubung dengan perempuan-perempuan lain yang menghadapi masalah kejiwaan yang sama," ucap Elyse Fox (27). "Tujuan utama saya (terlibat dalam kampanye ini) adalah untuk berkumpul dengan para perempuan lain dan memberi tahu mereka bahwa mereka tidak sendirian."
Upaya Instagram dalam memompa kesadaran akan masalah mental penggunanya tidak hanya sebatas itu. Mereka juga memungkinkan para pengguna untuk menandai (flag) secara anonim konten apa pun yang dipercaya diunggah oleh orang-orang bermasalah mental, termasuk yang mengisyaratkan intensi bunuh diri, keinginan menyakiti diri, atau gangguan makan. Platform media sosial ini lantas akan mengirimkan daftar organisasi pemerhati masalah mental kepada pengguna yang kontennya ditandai oleh pengguna lain.
#HereForYou adalah satu dari varian usaha melawan stigma buruk soal kesehatan mental dan penilaian diri yang rendah. Beberapa individu maupun komunitas pun memanfaatkan Instagram untuk menentang standar ideal mengenai citra tubuh. Kampanye #bodypositivity pun bermunculan dari berbagai tempat sebagai usaha menangkal gambaran ideal tubuh: yang ramping, tidak berselulit atau stretch mark, gemuk, dan lain sebagainya.
Menarik ketika melihat bagaimana platform media sosial yang dicerca lantaran membawa efek-efek buruk berusaha menampilkan sisi yang 180 derajat dari persepsi negatif orang. Namun lagi-lagi, hal yang dianggap positif belum tentu seratus persen tak memiliki sisi gelap. Tengok saja kritik terhadap kampanye citra tubuh sejumlah perusahaan dalam iklan-iklan mereka.
Pada akhirnya kembali lagi, yang menjadi sorotan utama bukan hanya bagaimana platform media sosial ataupun perusahaan-perusahaan berusaha menyetir cara pandang para warganet. Akan tetapi, kesadaran individu dalam memfilter dan mengkritisi informasi serta mengendalikan penggunaan media sosial yang juga berperan besar terhadap kesehatan mental mereka sendiri.
Baca juga: Menakar Baik-Buruk Curhat di Media Sosial