KDRT dan Kekerasan Lain pada Perempuan
https://www.naviri.org/2018/02/kdrt-dan-kekerasan-lain-pada-perempuan.html
Naviri.Org - Tidak selamanya pernikahan membawakan kebahagiaan, karena nyatanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering terjadi, dan terus terjadi. Dalam kondisi menghadapi kekerasan semacam itu, bagaimana bisa pernikahan memberi kebahagiaan dan ketenteraman?
Fenomena KDRT sebenarnya bukan hal baru, karena telah terjadi sejak lama. Yang menjadikan topik KDRT seperti mencuat akhir-akhir ini, bukan karena KDRT baru terjadi belakangan ini, melainkan karena makin tumbuhnya kesadaran pada banyak orang (khususnya pada pihak perempuan) bahwa mereka berhak untuk tidak mendapat KDRT.
Yang menjadi masalah, angka KDRT di Indonesia terhitung tinggi. Sayangnya, sangat sedikit korban yang sadar untuk memperjuangkan hak-haknya. Merujuk data jumlah terlindung LPSK pada 2017 yang hanya mencapai 2400an orang, terlindung KDRT hanya mencapai 1-2 persen dari estimasi total kasus. Hanya 12 orang dewasa dan 7 usia anak.
Padahal, merujuk data Komnas Perempuan, dari 13.602 kasus yang masuk dari lembaga mitra penyedia layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat mencapai 75% atau 10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan menunjukkan tren serupa: KDRT/relasi personal lain menempati posisi kasus yang paling banyak diadukan yaitu sebanyak 903 kasus (88%) dari total 1.022 kasus yang masuk.
Dari 13.602 kasus, Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama yakni 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam pacaran mencapai 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 1.799 kasus (17%). Sisanya kekerasan oleh mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Dalam ranah rumah tangga, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik sebanyak 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus), dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/personal, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus, dan perkosaan dalam perkawinan (marital rape) sebanyak 135 kasus.
Sementara, pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/personal dilakukan oleh pacar sebanyak 2.017 orang. Kekerasan dalam ranah personal didasarkan pada pelaku yang masih memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Masih menurut Komnas Perempuan, mayoritas korban di ranah personal berada pada rentang usia 25-40 tahun.
Jika dirata-rata, setidaknya 30 kasus KDRT terjadi setiap hari di Indonesia, itu belum kasus yang tidak dilaporkan.
Salah satu penyebab tingginya kasus KDRT, lantaran kejadian berlangsung di ranah privat. Sehingga kurang memungkinkan orang di luar lingkaran untuk memberi perlindungan pada korban. Pihak penyidik pun memiliki hambatan untuk menemukan bukti karena banyaknya korban yang tak langsung melaporkan kejadian. Hal itu menyulitkan pengumpulan bukti, termasuk visum.
Jika korban akhirnya memutuskan melapor, waktu yang dihabiskan untuk memperjuangkan restitusi tidaklah sedikit. Sebab, restitusi lazimnya masuk wilayah perdata, sementara tindak KDRT masuk pada persidangan pidana. Sehingga, jika kedua proses tersebut dijalankan, maka korban akan harus mengalokasikan waktu maupun materil.
Baca juga: Memahami Pelecehan di Jalan, dan Cara Mengatasinya