Mengapa Kebanyakan Berita Berisi Kabar Buruk?
https://www.naviri.org/2018/02/kabar-buruk.html
Naviri.Org - Bukalah koran harian, atau bukalah situs-situs berita di internet. Hampir bisa dipastikan kita akan menemukan setumpuk berita buruk. Dari berita kejahatan sampai kabar bencana alam. Dari berita korupsi sampai kabar perceraian. Jika kita mau memperhatikan, dari semua berita yang ada di koran harian atau situs berita di internet, ada lebih banyak berita buruk daripada berita baik.
Mengapa kebanyakan berita berisi kabar buruk?
Sebenarnya, itu bukan hal aneh. Di dunia jurnalistik, ada pepatah terkenal yang bahkan sudah menjadi klasik, yaitu “bad news is good news”. Kabar buruk adalah berita yang bagus.
Adagium itu tercermin dalam lanskap pemberitaan di berbagai media massa. Kesan yang mencolok adalah dunia seolah-olah hanya diisi kejadian-kejadian yang mencemaskan. Korupsi, kisruh politik, serangan teroris, banjir, kelaparan, dll. Kalau ada yang memberitakan kabar baik, porsinya kecil dan jarang sekali ada media yang menempatkannya di halaman depan.
Sebagaimana disinggung Jhon Tierney di The New York Times, pandangan umum dalam dunia jurnalistik adalah “bad news sells”. Semakin berdarah, semakin bernilai (sebagai berita). Berita baik itu bukan berita.
Namun, kecenderungan media yang memberi porsi lebih besar pada “berita buruk” ini belakangan mulai dipertanyakan, terutama eksesnya. Betapa pun kabar-kabar buruk itu memang nyata, akan tetapi tidak sedikit yang cemas hal itu bisa berdampak buruk bagi psikologi para pembaca. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, ketika kekerasan verbal dan hoax berseliweran seperti tak ada hentinya.
The Guardian mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford: alasan kenapa dari dulu berita berpusat pada hal-hal negatif karena itu berhubungan dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensinya adalah berita negatif secara umum lebih menarik perhatian.
“Hal itu mengindikasikan ada sesuatu yang layak kita khawatirkan—sesuatu yang membuat kita harus mengubah arah hidup kita, atau bertindak dengan cara tertentu,” kata Tom Stafford. “Itu kenapa kita memberi perhatian lebih pada berita negatif, yang mengindikasikan keadaan tidak berjalan dengan baik, karena itu kita mungkin harus bertindak.”
Sedangkan menurut Seán Dagan Wood, pemimpin redaksi The Positive News, yang juga dikutip The Guardian di artikel yang sama: “Fokus industri [berita] pada berita buruk biasanya bertujuan baik, yang berangkat dari komitmen utama sebagai kontrol sosial (society’s watchdog),” katanya. “Namun, bagi media massa secara keseluruhan, mentalitas seperti ini sudah melenceng terlalu jauh. Orang-orang sudah bosan dengan negativitas media.”
Perlahan-lahan, sejumlah media besar, seperti di Inggris dan Amerika, mulai membuat rubrik yang mencoba untuk menampilkan “berita baik” atau “berita positif” untuk menyeimbangkannya.
Washington Post, misalnya, pada 2014 meluncurkan "The Optimist", kompilasi mingguan berita-berita “yang menginspirasi”. Pada 2016, The Guardian membuat rubrik "Solutions and Innovations". Tak ketinggalan, New York Times pun membuat rubrik “This Week in Good News” pada akhir Desember 2017.
Baca juga: Good News, Lahirnya Berita Baik di Antara Kabar Buruk