Apa yang Terjadi jika Suatu Bahasa Hilang dari Dunia?
https://www.naviri.org/2018/02/jika-bahasa-hilang-dari-dunia.html
Naviri.Org - Para arkeolog kerap menemukan manuskrip-manuskrip kuno dari zaman lampau, yang bersisi tulisan-tulisan tertentu, yang tidak atau sulit dipahami pada zaman sekarang.
Manuskrip-manuskrip itu ditulis sekian abad yang lalu, menggunakan bahasa yang digunakan pada zaman itu, namun rupanya bahasa tersebut sudah tidak lagi dikenal di masa kini. Akibatnya, pengetahuan yang tertulis di dalam manuskrip itu pun tidak bisa dipahami. Padahal, bisa jadi tulisan di manuskrip itu mengandung suatu pengetahuan yang penting.
Itu contoh mudah ketika suatu bahasa hilang, dan dampaknya bagi generasi setelahnya.
Sebagian orang kadang mempertanyakan, untuk apa menyelamatkan bahasa? Apa masalahnya jika satu bahasa punah karena memang tak ada lagi yang merasa butuh dan menggunakannya? Mengapa tak dibiarkan saja punah? Bukankah lebih baik bagi umat manusia jika semuanya bicara bahasa yang sama? Bukankah bahasa yang begitu beragam kerap menjadi hambatan komunikasi?
Di setiap diskusi-diskusi tentang revitalisasi bahasa, pertanyaan serupa kerap diajukan. Dalam buku berjudul Language Revitalization: an Overview, Leanne Hinton juga kembali menuliskan pertanyaan-pertanyaan itu, dan berusaha merumuskan jawabannya.
Salah satu jawabannya, sebagaimana ang dicontohka di atas, adalah terkait persoalan akses terhadap pengetahuan. Ilmu pengetahuan selalu disampaikan lewat bahasa, tertulis ataupun tidak tertulis. Ilmu pengetahuan bisa apa saja, bisa tentang gejala alam, tentang sejarah, penemuan, obat-obatan, atau bahkan cerita-cerita kuno.
Punahnya satu bahasa berarti membawa serta semua peradaban yang terkait dengan bahasa itu. Artinya, ada pengetahuan yang hilang bersamanya.
Alasan lain yang membuat keberagaman bahasa perlu dijaga adalah untuk memperkaya kosa kata bahasa-bahasa itu sendiri.
Jika Anda berkaca, Anda akan melihat garis yang membentuk semacam parit di antara hidung dan mulut Anda. Apa bahasa Indonesia untuk menyebut garis itu? Bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia, tak memiliki kosa kata untuk bagian tubuh itu.
Dalam bahasa kedokteran, ia sering disebut filtrum, berasal dari Bahasa Latin, Philtrum. Tapi cobalah tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka tak akan Anda menjumpai kata filtrum.
Orang Minang punya kosa kata untuk garis itu. Mereka biasa menyebutnya “oreng”. Bahasa Minang ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia, dan dimasukkan ke dalam KBBI dengan keterangan asal kata dari Bahasa Minangkabau. Bahasa Indonesia pun semakin kaya karenanya.
Baca juga: Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia yang Telah Punah