Fakta di Balik Jatuhnya Bisnis Fashion H&M
https://www.naviri.org/2018/02/jatuhnya-bisnis-fashion.html
Naviri.Org - Inovasi adalah kunci penting di dunia bisnis, karena inovasi artinya tanggap pada perubahan, dan beradaptasi agar bisa up to date dengan zaman. Tanpa inovasi, bisnis sebesar apa pun akan mengalami masalah, bahkan keruntuhan. Kenyataan itu tampaknya kurang disadari oleh perusahaan fashion H&M. Mungkin karena selama puluhan tahun mampu menjadi pemimpin pasar, H&M kurang tanggap pada kemungkinan untuk melakukan inovasi. Hasilnya, kini, H&M mengalami kejatuhan.
Pada pertengahan Desember 2017, manajemen H&M mengumumkan penurunan penjualan kuartalan terbesar dalam satu dekade. Penjualan sebelum pajak merosot 4 persen menjadi 50,4 miliar kronor Swedia (sekitar 6 miliar dollar AS). Saham H&M juga anjlok hingga 16 persen, penurunan paling tajam sejak Maret 2001.
Terjangan badai yang melanda perusahaan asal Swedia itu tentunya mengejutkan dunia. Pihak internal perusahaan pun segera melakukan refleksi, dan mulai menatap masa depan.
“Kami telah membuat kesalahan,” ungkap Chief Executive Officer H&M, Karl Johan Persson, sebagaimana diwartakan Bloomberg.
Johan, yang juga merupakan cucu dari pendiri H&M, mengatakan, pihaknya akan bekerja ekstra keras untuk mengatasi situasi kelam. Caranya dengan menutup gerai berkinerja buruk dan membenahi sejumlah kekurangan internal perusahaan.
Euforia masa lalu
Seiring jatuhnya saham, Chairman H&M, Stefan Persson, yang juga ayah sang CEO, segera bergerak cepat. Pada 15-19 Desember 2017, ia membeli sekitar 1,2 persen dari total saham H&M. Angkanya mencapai 3,42 miliar kronor Swedia (sekitar 407 juta dollar AS). Saham yang dipegang keluarganya pun kini mencapai 41,7 persen.
Melihat ke masa lalu, H&M berdiri pada 1947 dan meledak ke kancah global pada 1990-an. H&M perlahan menjadi barometer mode dunia. Melalui kerja sama dengan desainer, selebriti, dan model papan atas, H&M dengan mudah meraih simpati masyarakat global. Posisi terhormat sebagai peritel pakaian nomor 1 di dunia bahkan diraih H&M, sekitar tahun 2012 silam.
Namun, setelah itu, dominasi H&M mulai goyah dengan pesatnya bisnis Zara. Strategi Zara dengan memproduksi pakaian di Eropa membuatnya mampu menyajikan produk lebih cepat daripada H&M, yang mayoritas produksi dilakukan di Asia.
Di sisi lain, dominasi H&M di Eropa juga digerus oleh hadirnya toko ritel seperti Primark. Peritel asal Irlandia itu mampu menjual produknya hingga sepertiga kali lebih murah dibandingkan H&M.
Kepala Manajer Investasi Didner and Gerge Fonder AB, Henrik Didner, mengatakan, inilah momentum yang tepat bagi keluarga Persson untuk mengoper kendali perusahannya. "Manajemen baru mungkin diperlukan, yang tidak terbebani oleh keputusan lama,” cetus Didner.
Ubah strategi
Menyadari bisnisnya mulai temaram, H&M bergerak cepat melakukan perubahan. Kini, H&M menambahkan fasilitas seperti kafe. Menata ulang jajaran produk agar lebih mutakhir turut dilaksanakan. Itu artinya percepatan arus distribusi barang mesti digenjot.
"Kami melakukannya dengan teknologi, menghubungkan para perancang di Stockholm dengan pemasok di Asia, mengurangi lead time," kata Kepala Hubungan Investor H&M, Nils Vinge.
Selain mempercepat distribusi produk, perbaikan situs belanja daring juga ditempuh H&M. Untuk meningkatkan penjualan daring, terutama di China, H&M telah menggandeng situs milik Alibaba Group, yakni Tmall.
Meskipun penjualan di toko fisik masih mendominasi sekitar 90 persen pendapatan H&M, tetapi upaya menjamah dunia digital diyakini mampu menggairahkan bisnis H&M ke depannya.
Baca juga: Guncangan Bisnis Ritel, dari H&M Sampai Zara