Lahirnya Gerakan-gerakan Anti Pariwisata
https://www.naviri.org/2018/02/gerakan-anti-pariwisata.html
Naviri.Org - Pariwisata adalah salah satu sektor yang menggerakkan roda ekonomi di negara tempat pariwisata itu berada. Pariwisata bahkan memberi banyak pemasukan bagi tempat bersangkutan, karena kedatangan turis atau wisatawan memberi peluang tumbuhnya sektor ekonomi, mulai perdagangan barang kerajinan sampai bisnis perhotelan, dan lain-lain.
Karena dampak positif itu, orang-orang pun mendukung pariwisata, sebagaimana pemerintah yang juga menggalakkan negerinya agar menjadi tempat yang disinggahi atau dikunjungi banyak orang dari negara lain.
Namun, akhir-akhir ini, mulai muncul sesuatu yang bertolak belakang dengan hal tersebut. Jika sebelumnya orang-orang di mana pun senang mendapat kunjungan banyak turis atau wisatawan, kini mulai muncul geakan-gerakan yang justru menentang pariwisata.
Mereka yang melakukan gerakan penentangan itu bukan orang-orang dari tempat-tempat yang tidak terkenal. Sebaliknya, gerakan-gerakan anti pariwisata itu muncul dari tempat-tempat yang selama ini terkenal sebagai ikon pariwisata. Barcelona adalah salah satunya.
Barcelona adalah salah satu kota yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Eropa. Tahun 2016 lalu, sekitar 8,2 juta wisatawan mancanegara datang ke kota ini. Mereka memberikan dampak langsung pada penduduk kota. Menurut laporan statistik Barcelona Turisme 2016, ada lebih dari 27 ribu perusahaan pariwisata, dan sektor ini menyediakan 296 ribu pekerjaan. Tapi belakangan beberapa kelompok warga lokal mulai gerah dengan turis yang berlaku sembarangan.
Sekira dua minggu lalu, kekesalan itu mencapai puncaknya. Beberapa orang yang mengaku berasal dari Arran—kelompok anak muda Kiri—mendatangi bus wisata, menyobek bannya, dan menyemprotkan piloks bertuliskan bahasa Spanyol, yang kira-kira berarti "Pariwisata membunuh kawasan ini".
Pada BBC, salah satu juru bicara Arran mengatakan bahwa model pariwisata hari ini mencerabut warga lokal dari tempat tinggalnya, dan membahayakan lingkungan. Di kesempatan lain, Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, memberi cap ekstremis pada kelompok ini.
Perlawanan terhadap pariwisata ini tidak hanya terjadi di Barcelona. Ia juga terjadi di Mallorca, San Sebastian, juga Venesia di Italia. Pekan lalu di Venesia, kota yang hanya dihuni oleh 55 ribu warga tapi didatangi oleh 20 juta wisatawan per tahun, sekitar 2.000 warga lokal melakukan demonstrasi.
Mereka marah karena melejitnya harga sewa apartemen, juga polusi yang disebabkan oleh para turis dan kapal pesiar. Para warga lokal ini juga mengkritik turis yang berlaku seenaknya, seperti makan minum di tempat bersejarah, atau mabuk sembarangan di malam hari.
Sebagai kota dengan sejarah pariwisata berusia ratusan tahun, Venesia punya daftar masalah yang panjang. Pertama, terkait melubernya wisatawan yang dianggap bersikap semaunya. Kedua, harga properti yang melonjak dan membuat warga lokal kesusahan menyewanya, membuat warga lokal tersingkir. Saat ini, penduduk tetap Venesia berkisar 55 ribu orang, terendah dalam 40 tahun terakhir.
Ketiga, banyak pembangunan infrastruktur yang serampangan. Keempat, saat ini lebih banyak wisatawan tak menginap (day tripper). Dengan waktu pendek, mereka tak akan punya waktu untuk mengeksplorasi kota dan menemui para pengrajin lokal. Mereka hanya akan datang ke titik wisata populer, dan membeli suvenir dari toko besar. Artinya, uang hanya akan mengalir ke segelintir orang.
Derap pariwisata di Venesia memang susah dihentikan. Kantor Wali Kota berusaha mengeremnya. Antara lain keputusan untuk tak memberi izin pembangunan hotel atau apartemen di kawasan bersejarah, juga menerapkan denda besar bagi turis yang makan minum di sana.
Usaha menghentikan derap pariwisata yang terlalu kencang mungkin baru akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan.
Melongok respons warga lokal
"Memahami perilaku warga lokal terhadap perkembangan pariwisata itu amat penting untuk kesuksesan dan keberlangsungan berbagai jenis pengembangan pariwisata."
Kalimat menarik itu bisa dibaca di pembukaan makalah "Locals’ Attitudes toward Mass and Alternative Tourism: The Case of Sunshine Coast, Australia" (2010). Ia menunjukkan poin sederhana untuk melihat bagaimana pariwisata bekerja. Persepsi warga lokal terhadap pariwisata akan memengaruhi sikap mereka.
Dalam teori pariwisata yang diungkapkan oleh Dogan Gursoy dan K.W Kendall (2006), warga lokal akan dengan senang berpartisipasi jika mereka mendapat manfaat tanpa mengorbankan terlalu banyak hal. Jika manfaat lebih besar ketimbang dampak negatif, mereka akan mendukung pengembangan pariwisata di daerah mereka. Sebaliknya, jika kerugian yang terjadi akibat pariwisata dianggap lebih besar—mulai dari kerugian budaya, maupun kerusakan alam—ketimbang manfaat, mereka akan mulai melawan.
Selain di Barcelona, Mallorca, juga Venesia, kita bisa melihat perlawanan serupa di Indonesia. Yang paling besar tentu adalah gerakan Bali Tolak Reklamasi. Gerakan ini bahkan berkembang dan meluas, menjadi isu nasional. Perlawanan itu bukanlah perlawanan terhadap pariwisata, melainkan terhadap kerugian besar yang akan terjadi jika Teluk Benoa direklamasi.
Sejak lama pariwisata menjadi tulang punggung Bali, berdampingan dengan nilai-nilai luhur di pulau itu. Banyak warganya mendapat manfaat dari pariwisata. Tapi kemudian Bali dieksploitasi habis-habisan. Salah satunya adalah rencana reklamasi, yang akan membuat Teluk Benoa menjadi kawasan berisi resor wisata bertaraf internasional.
Banyak warga Bali menganggap ini sudah keterlaluan. Mereka merasa bahwa reklamasi akan membawa dampak negatif lebih besar ketimbang manfaat. Maka mereka turun ke jalan. Para pendemo berasal dari lintas Suku, Agama, dan Ras. Gerakan ini adalah salah satu gerakan sipil terbesar sejak Reformasi 1998. Ia jelas lebih besar ketimbang perlawanan yang terjadi di Barcelona atau Venesia.
Respons warga lokal, lagi-lagi, adalah kunci penting. Gursoy menulis, memahami perilaku warga lokal adalah hal penting untuk memahami gejala pariwisata di suatu daerah. Ia menulis, "Warga lokal yang sangat peduli terhadap komunitas, dan masalah komunitas adalah mereka yang peduli dengan ekonomi lokal. Mereka percaya bahwa pariwisata, selain memberikan dampak positif, juga bisa menghadirkan dampak negatif."
Orang-orang yang berdemonstrasi dan melakukan perlawanan terhadap pariwisata massal seharusnya tidak sekadar dilihat sebagai orang yang anti terhadap kemajuan dan dampak ekonomi pariwisata. Melainkan sebagai orang yang peduli terhadap ekonomi lokal dan lingkungannya.
Maka jika muncul letupan perlawanan anti pariwisata, apalagi dalam skala besar, sudah pasti ada hal yang salah dalam pengelolaannya. Pembenahan adalah hal wajib sebelum letupan kecil itu membesar dan kemudian meledak.
Baca juga: Fakta dan Masalah Sampah Plastik di Indonesia