Fujifilm, dari Bisnis Fotografi ke Bisnis Kecantikan
https://www.naviri.org/2018/02/fujifilm.html
Naviri.Org - Selama bertahun-tahun, Fujifilm pernah gagah berdiri sebagai perusahaan yang identik dengan dunia fotografi. Mereka terkenal dengan aneka produk, meliputi foto, kamera, roll film, dan hal-hal lain terkait fotografi. Era sebelum tahun 2000 bisa dibilang sebagai masa-masa keemasan Fujifilm.
Sampai kemudian, ketika kamera digital lahir ke dunia, Fujifilm mulai menghadapi masalah. Jika di masa lalu orang-orang mengandalkan kamera analog dan membutuhkan negatif film untuk menghasilkan foto, keberadaan kamera digital menghilangkan kebutuhan itu. Dengan kamera digital, orang bisa membuat foto-foto tanpa harus ada negatif film.
Bisnis Fujifilm pun mulai terpuruk. Gempuran kamera digital membuat penjualan kamera analog dan roll film turun sepuluh persen pada tahun 2001. Tahun 2002 hingga 2003, keadaan tak membaik. Penjualan terus turun dari tahun ke tahun. Pada 2004, penurunan semakin dalam, hingga 25 persen. Tanpa perubahan yang besar, Fujifilm terancam karam.
Fuji Photo Film Co., Ltd. didirikan sejak Januari 1934 dan berkantor di Tokyo. Ia didirikan atas rencana pemerintah Jepang untuk membangun industri fotografi dalam negeri. Satu bulan setelah resmi didirikan, Fujifilm membangun pabrik di Ashigara, Jepang. Pabrik pertama itu memproduksi roll film, kertas foto, dry plate, dan material untuk keperluan fotografi lainnya.
Empat tahun kemudian, Fujifilm membangun pabrik keduanya di Odawara—sebuah kota di Barat Kanagawa, Jepang. Bisnis Fujifilm terus berkembang. Tahun 1958, ia melebarkan sayap ke Brazil. Ini adalah ekspansi pertama Fujifilm di luar Jepang.
Setelah dari Brasil, ia mengembangkan sayap ke Inggris pada tahun 1962. Di negeri itu, Fujifilm mendirikan sebuah perusahaan patungan atau joint venture dengan perusahaan asal Inggris, Xerox Limited (dahulu bernama Rank Xerox Limited). Pada tahun yang sama, Fuji Photo Film USA Inc didirikan di New York, Amerika Serikat.
Salah satu arsitek pertumbuhan Fujifilm adalah Minoru Ohnishi. Pada tahun 1980, di usia ke 55, ia memimpin Fujifilm. Di bawah kepemimpinannya, para salesman didorong untuk menghabiskan waktu bersama distributor dan membangun hubungan baik.
Fuji Photo Film selalu berbangga diri karena memiliki teknologi untuk memproduksi produk unggulan yang mampu mendorong penjualan. Secara konsisten, perusahaan menghabiskan 7 persen dari penjualan untuk penelitian dan pengembangan. Karena investasi tersebut, Fuji mampu mengenalkan film lebih cepat dengan warna yang lebih cerah.
Tahun 1966, Fujifilm hadir di Düsseldorf, Jerman, sebagai pintu masuk ke pasar Eropa. Perusahaan fotografi itu terus melakukan ekspansi hingga ke Indonesia.
Shigetaka Komori bergabung dengan Fujifilm sejak tahun 1960. Tahun 2000, dia dipercaya memimpin perusahaan itu. Sialnya, baru setahun menjabat ia sudah dihadapkan oleh kenyataan bahwa bisnis fotografi analog tak lagi seksi. “Kami harus memutuskan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan,” ungkap Shigetaka Komori dalam wawancaranya dengan NHK World, kantor berita Jepang.
Pada mulanya, Komori memangkas biaya hingga $500 juta. Ia juga menghentikan operasional sejumlah pabrik. Sekitar 5.000 karyawan kehilangan pekerjaan. Lalu ia menyadari bahwa efisiensi saja tidak cukup untuk menyelamatkan perusahaan. Ia menyadari bahwa bisnis tak bisa mentok hanya pada satu lini dan bertahan dengan itu. Ia perlu memikirkan bisnis baru untuk dirintis.
Puncak keterpurukan mereka terjadi pada tahun 2000. Ketika itu, bisnis inti Fujifilm sebagian besar masih mengandalkan divisi image, yang faktanya semakin pudar. Upaya diversifikasi produk dan pasar lebih agresif jadi pilihan mereka. Diversifikasi memang bukan barang baru bagi Fujifilm.
Selama periode 1934-1950 mereka tak hanya membuat film fotografi tapi juga masuk ke bisnis lensa dan optik, hingga alat medik dan sistem grafik. Sepuluh tahun setelahnya, mereka masuk ke bisnis mesin foto copy dengan mendirikan Fuji Xerox, dan dekade berikutnya ekspansi ke penjuru dunia dengan pengembangan produk x-ray hingga kamera digital.
Komori dan timnya kemudian menemukan fakta bahwa astaxanthin, bahan kimia yang selalu dipakai untuk mempertahankan kualitas warna pada kertas foto, memiliki khasiat yang juga baik bagi kulit. Zat kimia itu bisa mengencangkan kulit dan mencegah kekusaman.
Tahun 2006, Fujifilm meluncurkan produk perawatan kulit bernama Astalift. Awalnya, transformasi ke bisnis kosmetik itu diragukan banyak orang. Namun, pada tahun 2010, Fujifilm mencatat total penjualan tahunan lebih dari 10 miliar yen atau sekitar Rp1,1 triliun.
Kini, perawatan kulit sudah menjadi elemen utama dalam portofolio bisnis Fujifilm. Astalift menjadi merek perawatan wajah yang juga diperhitungkan, ia bersaing dengan SK-II. Ia juga sudah memperluas wilayah pemasaran ke Asia, dan berusaha menjadi merek perawatan kulit global.
Bagi Fujifilm saat ini, segmen kosmetik menjadi yang paling menguntungkan. Setiap tahunnya, ia menyumbang pendapatan sekitar $3,4 miliar atau setara Rp45 triliun ke total pendapatan Fujifilm.
Komori juga memimpin Fujifilm menjadi perusahaan yang bergerak di bidang medis. Tak hanya produk perawatan kulit, mereka sedang mengembangkan produksi obat khusus kanker dan alzheimer.
“Kami punya teknologi yang tidak dimiliki perusahaan farmasi. Kami memiliki teknologi untuk mengatur produksi dengan tingkat presisi yang sangat tinggi, dan sangat berguna untuk biomedicine,” kata Komori.
Saat ini, obat kanker dan alzheimer itu masih dalam tahap penelitian. Belum ada produksi secara masif. Menurut Komori, butuh waktu hingga empat tahun lagi. “Dan saya percaya, kami bisa menguntungkan seperti sebelumnya,” ujar Komori.
Baca juga: GoPro, Produk Kamera Bagus tapi Banyak Masalah