Flirting, dari Rayuan Sampai Pelecehan Seksual
https://www.naviri.org/2018/02/flirting.html
Naviri.Org - Merayu seseorang yang diharapkan tertarik adalah hal biasa yang dilakukan pria kepada wanita, khususnya, sejak dahulu kala. Ketika seorang pria merasa tertarik pada seorang wanita, si pria akan berupaya mendekati, dan berharap si wanita juga tertarik kepadanya. Dalam upaya itu, si pria biasa melancarkan rayuan atau flirting, dengan harapan si wanita tergoda dan mau menjadi kekasihnya.
Di masa sekarang, perilaku merayu atau flirting juga mulai dilakukan oleh wanita kepada pria. Tentu saja tidak masalah, karena melakukan flirting atau rayuan adalah hak pria maupun hak wanita. Meski begitu, aksi flirting mulai menjadi masalah, ketika dilakukan demi kepentingan personal atau bermotif manipulasi.
Profesor di Departemen Komunikasi Northern Illinois University, David Henningsen, menjelaskan bahwa flirting bisa dilakukan supaya orang mendapat suatu barang, jasa, atau bantuan tertentu.
“Tipe semacam ini disebut instrumental flirting, biasanya terjadi di ranah kerja. Salah satu rekan kerja saya selalu berpikir, ada pelayan perempuan yang melakukan flirting kepadanya karena memang benar-benar tertarik pada rekan kerja saya tersebut. Padahal, bisa saja ia hanya menginginkan tip yang lebih besar,” jabarnya.
Problem berikutnya dari flirting adalah saat yang didekati tidak mengharapkan aksi-aksi tersebut. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pelecehan saat ada bahasa verbal, gestur, atau sentuhan yang tidak diinginkan terjadi. Kesadaran akan pelecehan—terlebih terhadap perempuan—yang merebak sekarang ini bagi sebagian orang dipandang sebagai suatu kemajuan, tapi ada juga yang justru melihatnya sebagai sesuatu yang negatif dan membuat komunikasi dan hubungan menjadi kaku.
Lebih lanjut, soal pelecehan dalam konteks flirting, filsuf Slovenia Slavoj Zizek pernah menulis, efek samping dari maraknya kesadaran pelecehan seksual di Barat adalah pandangan bahwa perempuan—yang kerap menjadi sasaran flirting—merupakan obyek yang pasif.
Padahal, ada kalanya mereka juga melakukan flirting, dan secara aktif membuat gestur atau berpenampilan tertentu sebagai wujud ekspresi seksualnya. Perempuan, seperti halnya laki-laki, bisa juga memanipulasi lewat aksi-aksi flirting.
Isu pelecehan seksual yang dibesar-besarkan sebagian pihak juga dipandang Zizek membunuh mood. Flirting yang awalnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang menyenangkan berubah mendatangkan kewaspadaan berlebihan, yang membuat seseorang tak luwes membangun komunikasi dan relasi.
Indikator-indikator pelecehan seksual yang dibuat beberapa pihak pada akhirnya bisa menjadi bahan penghakiman terhadap seseorang yang sebenarnya menikmati atau tidak keberatan menerima godaan, atau perlakuan tertentu dari orang lain.
“Kontrak-kontrak” berperilaku seperti yang disetir orang-orang pendefinisi pelecehan seksual pada akhirnya meredam hasrat seseorang untuk melakukan aksi seksual seremeh apa pun, meski kedua belah pihak tidak bermasalah dengan hal tersebut. Zizek menarik salah satu kesimpulan, bahwa political correctness merupakan reduksi seksualitas ke perkara perjanjian yang saklek semata.
Terakhir, flirting bisa berefek negatif ketika respons negatif didapatkan seseorang. Alih-alih memiliki penilaian diri yang tinggi, hal yang sebaliknya bisa terjadi bila godaan direspons penolakan. Ia pun bisa merasa diri tidak cukup baik atau menarik ketika upaya-upaya mendekati orang lain lewat flirting berulang kali gagal.