Mengenal Fintech, Bisnis Keuangan Berbasis Teknologi
https://www.naviri.org/2018/02/fintech.html
Naviri.Org - Uang mungkin akan tetap digunakan sebagai alat pembayaran untuk berbagai hal, termasuk membeli barang, membayar angsruran, sampai melunasi aneka tagihan. Namun, cara kita dalam menggunakan uang tampaknya akan mengalami perubahan. Jika sebelumnya kita mengenal uang sebagai benda berwujud kertas atau koin, di masa depan uang akan berbentuk digital, atau hanya berupa angka-angka.
Kenyataan seperti itu bahkan telah dimulai sejak sekarang. Dalam contoh yang mudah, misalnya, kita telah mengenal kartu debit atau kartu kredit, yang berfungsi sebagai uang namun tidak lagi berupa uang. Ketika membayar sesuatu menggunakan kartu debit/kredit, yang kita sodorkan bukan uang berwujud uang, namun hanya selembar kartu yang memiliki kemampuan seperti uang.
Kini, seiring makin pesatnya perkembangan teknologi, penggunaan uang akan lebih canggih lagi. Hanya dengan ponsel saja, orang bisa melakukan aneka transaksi, seolah setiap orang memiliki bank sendiri-sendiri di ponselnya. Dari situlah lalu muncul sistem sekaligus bisnis keuangan baru, yang disebut fintech.
Fintech (fiancial technology) adalah program/aplikasi komputer atau teknologi lain yang dirancang sebagai layanan finansial jasa keuangan seperti perbankan. Bentuk fintech bisa bermacam-macam layanan seperti payment, aggregator, lending, crowfunding, dan financial planning.
Saat ini, fintech di Indonesia baru sedang tumbuh dan berkembang. Sektor fintceh payment atau pembayaran digital menjadi sektor terkuat fintech hingga akhir tahun ini, di global maupun di Indonesia.
Pada rentang 2016-2017, merujuk Opus, firma konsultasi fintech, dalam laporannya bertajuk “For 2018 Fintech Outlook: Trend, Oportunities, Challanges”, pendapatan sektor layanan pembayaran (payment) keuangan bagi dunia fintech mencapai $3,6 triliun. Jumlah ini meningkat 20 persen jika dibandingkan periode 2015-2016.
Hingga akhir 2017, wilayah Asia Pasifik, khususnya Cina, merupakan juaranya. Perputaran uang di sektor payment di negeri itu ditaksir mencapai $8 triliun per tahun. Meningkat dari tahun 2016 yang ada di angka $5,5 triliun. Alipay dan WeChat Pay sebagai penguasanya.
Gejala menggeliatnya fintech juga terjadi di Tanah Air. Di Indonesia, berdasarkan “Fintech Report 2017” yang digagas DailySocial, dunia fintech tengah menuju masa kejayaannya. Total investasi terbuka yang digelontorkan pada dunia fintech Indonesia di 2017 mencapai $176,75 juta.
Tahun ini, masih menurut publikasi tersebut, ada 188-196 pemain fintech di Indonesia. Sementara data yang diungkap PT Digital Artha Media, hingga November 2017 terdapat 25 pemain fintech yang telah memperoleh izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebanyak 33 fintech lainnya tengah dalam proses.
Selain besarnya investasi fintech, pada 2017 merupakan periode aktif keterlibatan pemerintah di dunia bisnis sarat teknologi ini, yang berpotensi mendisrupsi bisnis bank-bank konvensional. Beberapa rambu-rambu hukum sudah disiapkan. Pada 2017, Bank Indonesia menerbitkan satu aturan dasar dan dua aturan turunan soal fintech.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial; Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Terbatas Teknologi Finansial, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Aturan yang dikeluarkan BI itu, menyusul aturan OJK. Pada akhir 2016, OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas jasa keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Ini sebagai aturan main bisnis pinjam meminjam uang menggunakan teknologi digital.
Prospek Fintech di tahun mendatang
Secara umum di dunia, tahun-tahun mendatang merupakan tahun sinergi antara institusi keuangan konvensional dengan fintech. Hal ini terjadi antara lain karena dunia perbankan sudah sangat menginginkan fintech. Mereka tak ingin raib dimakan kehadiran teknologi-teknologi yang mendisrupsi bisnis konvensional.
Dari sisi teknologi, fintech tahun depan merupakan layanan bisnis yang jauh lebih canggih. Ini terkait dengan semakin berkembangnya artificial intelligence (AI) maupun machine learning. Pemanfaatan dua teknologi ini mampu memberikan pengalaman yang lebih individual bagi para pengguna fintech.
Opus, dalam publikasinya, mengutip Carlos Torres Villa, Chief Executive Officer BBVA Spanyol, mengatakan fintech akan menjadi “self-driving bank experience.”
Optimisme menyongsong fintech di 2018 memiliki tantangan. Penerapan uang tunai yang masih tinggi adalah salah satu alasannya.
Untuk masalah ini, India nampaknya bisa dijadikan rujukan. Penerapan dompet digital di negara itu terhitung tinggi. Ini terjadi, salah satunya, atas demonitisasi yang dilakukan pemerintah sejak November 2016 lalu. Di 2022, atas kebijakan itu, India diproyeksikan akan membuat pasar fintech senilai $4,4 miliar.
Selain adopsi uang kontan, permasalahan yang menjadi tantangan dunia fintech, khususnya di Indonesia, ialah infrastruktur yang belum solid. Go-Pay, E-Cash, Doku Wallet, dan fintech-fintech lain yang ada di Indonesia, seakan-akan berjalan sendiri-sendiri.
Ini mengakibatkan terlalu terpecahnya fintech di Indonesia. Go-Pay umumnya hanya berguna membayar layanan-layanan yang disediakan Go-Jek. Sementara E-Cash dari Bank Mandiri tak bisa dipakai membayar layanan-layanan Go-Jek, begitu juga sebaliknya.
Berbagai tantangan dunia fintech yang masih jadi pekerjaan rumah, maka tahun depan adalah periode memperkuat eksistensi para fintech dengan teknologi-teknologi baru seperti AI yang bisa diadopsi, di tengah prospeknya bisnis masa depan ini.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Matinya Bisnis di Masa Depan