Upaya Memahami Fenomena Deja Vu
https://www.naviri.org/2018/02/deja-vu.html
Naviri.Org - Deja vu adalah istilah yang diciptakan oleh ilmuwan Perancis, Emile Boirac, pada tahun 1876 silam. Istilah ini biasa digunakan untuk orang yang mengalami sensasi atau fenomena aneh, yaitu “merasa pernah mengalami”.
Anda pun kemungkinan pernah mengalami fenomena ini, yaitu semacam sensasi bahwa yang sedang Anda hadapi atau Anda kerjakan pernah terjadi atau pernah Anda lakukan di masa lampau. Anehnya, perasaan itu kadang muncul dalam pengalaman yang sebenarnya baru Anda kerjakan pertama kali.
Apa sebenarnya yang terjadi, ketika kita mengalami deja vu? Mengapa kita bisa mengalami deja vu? Pertanyaan-pertanyaan itu telah dipikirkan banyak ilmuwan sejak lama, mengingat banyaknya orang yang mengalami. Artinya, deja vu bukan sesuatu yang kasuistis, karena banyak orang mengalami fenomena atau sensasi yang sama.
“Deja vu” berasal dari bahasa Perancis, “déjà vu”, yang berarti “pernah dilihat”. Sebab fenomena ini berlaku dalam situasi yang bervariasi, maka dalam perkembangannya juga muncul beberapa istilah pengganti seperti “déjà vecu” yang berarti “pernah dialami”, “déjà senti” yang berarti “pernah dipikirkan”, atau “déjà visité” yang artinya “pernah dikunjungi”.
Sebenarnya ada tiga fenomena serupa yang jarang dibahas. Pertama, “Jamais vu” (tak pernah dilihat) atau perasaan bahwa sesuatu yang dilihat tiba-tiba terasa sangat asing/tidak familiar. Kedua, “Presque vu” (hampir terlihat) atau perasaan di tengah-tengah pencerahan dan realisasi. Ketiga, “déjà entendu” (sudah pernah didengar) atau perasaan pernah mendengar sesuatu sebelumnya, seperti potongan percakapan atau sepenggal lagu.
Profesor Alan Brown, dari South Methodist University, adalah salah satu psikolog pionir yang memiliki minat atas fenomena deja vu secara khusus. Menurut hasil risetnya dalam buku “The Déjà Vu Illusion: Current Directions in Psychological Science", dua pertiga populasi dunia pernah mengalami deja vu. Riset lain menyebut angka 60-80 persen populasi dan paling sering dialami oleh kelompok usia 15-25 tahun.
Intinya, deja vu adalah fenomena populer. Namun rupanya hingga saat ini sains masih menganggapnya sebagai sebuah misteri. Ada beberapa penelitian yang telah diterbitkan untuk mencoba menjabarkan deja vu, namun para ilmuwan belum bisa memberikan jawaban secara pasti dan komprehensif atas apa yang menyebabkan deja vu terjadi.
Tantangan terbesar dalam meneliti deja vu, menurut Dr Akira O'Connor, psikolog dari University of St Andrews, adalah kemunculannya yang tak bisa disengaja. Deja vu terjadi dalam pengalaman manusia di saat-saat yang tak terduga. Sifatnya sangat sekilas dan spontan, sehingga hampir tak mungkin dipelajari secara intensif di laboratorium.
“Metode penginduksian deja vu cukup kasar. Kami mengunakan teknik hipnosis dan eksperimen dengan menggunakan daftar kata-kata. Metode lainnya disebut 'stimulasi kalori' yakni dengan menyemprotkan air hangat ke telinga responden. Pada awalnya kami harapkan bisa untuk menyembuhkan vertigo, namun efek sampingnya adalah deja vu,” ungkapnya pada BBC.
Beberapa teori
Di antara sekian banyak teori tentang apa yang menyebabkan deja vu, Prof. Alan Brown merangkumnya menjadi tiga pokok. Pertama, berkaitan dengan familiaritas yang secara implisit tersaji di depan seseorang. Secara sederhana, teori ini menyatakan bahwa pengalaman deja vu erat kaitannya dengan kondisi tertentu yang dilalui seseorang namun telah dilupakan, dan ketika dihadapkan pada kondisi yang sama ingatannya kembali hadir walau hanya sebagian.
Bayangkan Anda adalah mahasiswa yang rutin mengunjungi perpustakaan kampus, dan biasa duduk di bangku paling pojok di lantai dua, bersanding dengan rak buku-buku bertema sejarah di sisi kanan, dan di sebelah kiri langsung berdampingan dengan jendela.
Anda tak mengingat kebiasaan ini dengan baik. Lalu, beberapa minggu usai kelulusan, Anda perlu mengunjungi perpustakaan kota. Anda menuju sebuah bangku di lantai satu, dan tiba-tiba merasa deja vu. Menurut teori familiaritas, hal itu disebabkan oleh posisi bangku yang kebetulan ada di pojokan, bersanding dengan rak buku sejarah di kanan, dan jendela perpustakaan di kiri. Persis seperti kondisi di perpustakaan kampus dulu hingga ke detail-detailnya.
Profesor Anne Cleary dari Colorado State University meyakini teori ini. Deja vu baginya adalah fenomena natural yang berkaitangan dengan sesuatu yang familiar dengan sesuatu yang ada di sekitar kita, seperti bentuk dari sebuah bangunan atau desain sebuah ruangan. Deja vu memicu ingatan palsu yang membuat diri kita berpikir bahwa pengalaman yang dilakoni pernah dialami sebelumnya, padahal tidak.
Teori kedua dari Alan Brown berkenaan dengan persepsi yang terbagi, atau divided perception. Menurut Alan, saat kita terdistraksi dengan hal lain, kita tetap bisa mengingat apa yang ada di sekitar, namun proses ini terjadi di alam bawah sadar.
Contohnya, saat kita pertama kali masuk ke sebuah rumah, kita mengalami deja vu misalnya ketika sedang mengobrol dengan sang tuan rumah di ruang tamu. Dalam kasus ini, teori divided perception bekerja demikian: sebelum kita masuk ke ruangan, otak kita telah mengolahnya secara visual (mungkin ditambah suara dan bau khas sebuah ruangan), sehingga saat sudah benar-benar di dalamnya, ada perasaan seakan kita pernah memasuki ruangan itu.
Teori ini juga berkaitan dengan kemampuan otak yang terbatas. Otak manusia sesungguhnya terus-menerus berusaha menciptakan persepsi utuh tentang dunia di sekitar si manusia, namun masukannya (input-nya) terbatas, sehingga muncul kesalahan (mismatch/glitch) di jalur saraf. Ide ini diyakini oleh Dr. Akira O'Connor, psikolog dari University of St Andrews.
“Satu ide terkait deja vu adalah semacam fenomena 'otak yang berkedut' (brain twitch). Sama seperti saat kita mengalami kejang otot atau kedutan di kelopak mata. Bisa jadi terjadi di bagian otak yang berfungsi mengirimkan sinyal yang bertanggung jawab atas familiaritas dan memori menjadi aktif,” jelasnya.
Dr. O'Connor berkata bahwa deja vu kerap dialami oleh para penderita penyakit yang berhubungan dengan otak. Ini berkesesuaian dengan teori ketiga Alan Brown, bahwa deja vu bisa terjadi akibat disfungsi biologis. Dalam catatan Brown dan O'Connor, mereka yang kerap mengalami deja vu adalah para penderita epilepsi atau demensia.
Pada 2015 ditemukan kasus yang menarik dari seorang pemuda berusia 23 tahun asal Inggris yang “terjebak lingkaran waktu” selama delapan tahun terakhir. Ia menjelaskan pada dokter dan psikolog bahwa ia mengalami deja vu terus-menerus sejak tahun 2007, atau saat dirinya memulai kehidupan baru di kampus.
Selama beberapa menit, bahkan kadang lebih lama, pria tersebut akan merasa sedang melakukan hal yang pernah ia alami dulu. Ia mendeskripsikannya seperti episode menakutkan dalam film thriller psikologis yang dibintangi Jake Gayllenhall, Donnie Darko. Dr. Chris Moulin, dokter yang menanganinya, berkata pada BBC bahwa pengalaman ini membuatnya tertekan.
“Ada satu pengalaman di mana dia pergi untuk mencukur rambutnya. Saat ia memasuki ruangan si tukang cukur, ia mendapatkan perasaan deja vu, lalu muncul deja vu di dalam deja vu, hingga akhirnya ia tak bisa berpikir hal lain.”
Moulin, yang berstatus sebagai neuropsikolog kognitif di University of Bourgogne, menyatakan pria tersebut punya sejarah depresi dan kecemasan, pernah mengonsumsi obat LSD saat masih kuliah, tapi selebihnya dinyatakan sehat. Di antara kasus deja vu yang barangkali bagi orang lain mengasyikkan belaka, pria ini masih menderita hingga kini—sekaligus menambah misteri tentang deja vu itu sendiri.
Baca juga: Mengapa Banyak Orang yang Suka Selfie?