Dampak Buruk dan Sisi Gelap Facebook
https://www.naviri.org/2018/02/dampak-buruk-dan-sisi-gelap-facebook.html
Naviri.Org - Sebagai media sosial, Facebook bukan hanya sukses, namun juga bermanfaat. Melalui Facebook, orang-orang yang terpisah lama bisa saling berkumpul dan bertemu kembali. Misal orang-orang yang pernah satu sekolah di SMA atau di masa kuliah, lalu berpisah bertahun-tahun setelah lulus. Dengan adanya Facebook, orang-orang yang telah saling terpisah itu bisa kembali bertemu dan berinteraksi, meski lewat internet.
Latar belakang itu pula yang rupanya mendasari Mark Zuckerberg ketika menciptakan Facebook. Ia mengatakan, “Ketika kuliah, saya pernah berpikir bahwa internet adalah sesuatu yang menakjubkan karena Anda dapat memperoleh apapun yang Anda inginkan. Anda dapat membaca berita, mengunduh musik, menonton film, mencari informasi melalui Google, memperoleh bahan rujukan dari Wikipedia, kecuali satu hal terpenting bagi kehidupan manusia, yakni orang lain. Tak ada alat yang memungkinkan Anda berkenalan dengan orang lain.”
Mimpi Zuckerberg pun jadi kenyataan. Riset internal Facebook menyatakan bahwa platform tersebut sukses menghubungkan seluruh manusia di dunia dalam jarak 3,57 orang. Artinya, Barack Obama, peternak kambing di Arab Saudi, dan bapak pengemudi Go-Jek di Jakarta, terhubung melalui tiga setengah “mutual friend”.
Manfaat Facebook jelas sulit disangkal. Tiap orang kini jadi lebih mudah mengabarkan sesuatu dan menambah lingkaran pertemanan. Namun tak bisa dipungkiri pula Facebook punya sisi buruk, yang diakuinya melalui unggahan di laman resmi mereka, yang ditulis oleh David Ginsberg, Direktur Riset Facebook.
Mengutip riset psikolog Sherry Turkle, Ginsberg menyatakan bahwa secara umum teknologi—khususnya dalam bentuk ponsel—membuat orang merasa "seorang diri bersama". Tulisan yang sama juga mengutip hasil eksperimen terhadap para mahasiswa University of Michigan. Dalam eksperimen tersebut, mood mahasiswa yang mengonsumsi Facebook secara acak dalam tempo 10 menit akan memburuk ketimbang saat mereka diminta berinteraksi dengan teman di platform yang sama.
Kendati perlu diapresiasi, pengakuan Facebook terasa telat. Dalam “Risky Disclosures on Facebook: The Effect of Having a Bad Experience on Online Behavior” yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Research (2012), Emily Christofides menyatakan bahwa Facebook menyebabkan “pengalaman buruk” bagi 26,7 persen dari 256 pengguna Facebook yang ia teliti.
“Pengalaman buruk” yang dimaksud sangat beraneka ragam, misalnya perundungan, pelecehan dari teman dekat, hingga ancaman. Selain itu, ruang yang disediakan Facebook untuk menjalin pertemanan membuat “pengalaman buruk” mudah terjadi dalam bentuk kontak yang tak diinginkan. Dihubungi oleh orang tak dikenal adalah satu contohnya.
Selain menghasilkan dampak buruk bagi penggunanya, Facebook pun dimanfaatkan untuk mengabarkan hal-hal negatif, terutama terkait masalah psikologis penggunanya. Dalam “Feeling Bad on Facebook: Depression Disclosures by College Student on a Social Networking Site”, Megan A Moreno menyatakan bahwa dilihat dari “pembaruan status” (status updates), 25 persen dari 200 profil pengguna Facebook yang diteliti menunjukkan kecenderungan depresi.
Lebih lanjut, 2,5 persen “pembaruan status” masuk dalam kategori MDE (Major Depressive Episode). Istilah ini digunakan untuk merujuk gejala klasik depresi seperti lesu, gangguan tidur, perasaan tak berharga, hingga percobaan bunuh diri.
Selain dampak tersebut, ada pula masalah seperti penyebaran hoax, ujaran kebencian, hingga penggunaan Facebook demi tujuan-tujuan politis tertentu dengan cara yang tak bijak.
Dampak negatif Facebook tak bisa dianggap sepele. Sebagai media sosial yang memiliki lebih dari 2 miliar pengguna aktif bulanan, Facebook perlu berbenah. Agar manfaat yang ada tidak tergerus oleh dampak negatif yang muncul.
Baca juga: Mengapa Ada Banyak Orang Kecanduan Facebook?