Asal Usul Bimoli, dan Persaingan Minyak Goreng
https://www.naviri.org/2018/02/bimoli.html
Naviri.Org - Kaum wanita, khususnya ibu-ibu rumah tangga, kemungkinan besar tahu atau bahkan hafal dengan merek minyak goreng satu ini, Bimoli. Sebagai produk minyak goreng kemasan, Bimoli memang telah eksis sejak lama dan telah digunakan banyak orang karena kepopulerannya.
Sebagai minyak goreng kemasan, Bimoli dikemas dalam botol atau kemasan plastik, serta praktis digunakan. Sejak munculnya Bimoli, banyak ibu rumah tangga yang beralih dari minyak curah ke minyak goreng kemasan. Bagaimana asal usul Bimoli, dan siapakah orang yang melahirkan minyak goreng kemasan tersebut?
Membicarakan Bimoli, artinya kita harus membicarakan Eka Tjipta Wijaya, orang yang telah melahirkan Bimoli di Indonesia.
Saat usianya sekitar sembilan tahun, Eka Tjipta Wijaya (yang waktu itu bernama Oei Ek Tjong) dibawa orangtuanya menyeberangi lautan dari tanah kelahirannya, Quangzhou, yang berada di selatan Fujian, Tiongkok. Keluarga itu awalnya mengadu untung di Makassar.
“Ayahnya membuka toko kelontong dan Eka yang masih remaja membantu bekerja, dengan menjual aneka barang kebutuhan dari pintu ke pintu,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong's Salim Group: The Business Pillar of Suharto's (2014).
Pada 1938, Eka sudah berusia 15 tahun. Tahun itu Eka memulai bisnisnya, menjual biskuit. “Setelah usahanya berhasil, ia berhubungan dengan importir Belanda. Selain itu, Eka Tjipta mulai berdagang minyak goreng dan menjadi kontraktor untuk kuburan orang kaya,” catat mingguan berita ekonomi Warta Ekonomi (Volume 5 tahun 1993).
Namun, kedatangan Jepang di Makassar menjadi nasib apes bagi Eka. Bisnis yang dibangunnya dirampas militer Jepang. Di zaman pendudukan, dia berdagang barang kelontong dan memelihara babi. Setelah Jepang kalah, babi-babi itu dijualnya. Ia kemudian mendirikan sebuah pabrik roti, sirup, limun dan biskuit.
“Tahun 1950 ia mulai berdagang kopra sampai Pulau Selayar. Tahun 1957 dia pindah ke Surabaya,” tulis Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia.
Dia pernah menjadi pemasok kebutuhan TNI di Indonesia Timur pada dekade 1950-an. Namun, antara 1950 hingga 1957, Indonesia menerapkan Program Benteng: pengusaha Melayu banyak diberi kemudahan, tapi tidak bagi keturunan Tionghoa macam Eka. Jadi, Eka harus bekerja lebih keras.
Setelah berjibaku di Surabaya, Eka pindah ke Jakarta pada 1966. Menurut buku Sudwikatmono: Sebuah Perjalanan di Antara Sahabat (1997), laki-laki yang kemudian memilih nama Eka Tjipta Widjaja ini mendirikan CV Sinar Mas di Pasar Pagi, Jakarta. Usaha awal CV Sinar Mas pada 1960-an adalah ekspor barang dan impor tekstil.
Eka lalu mengembangkan bisnisnya. Di daerah yang minyak kelapa (kopra) menjadi komoditas penting, dia mulai berbisnis minyak goreng. “Di tahun 1968 dia membangun pengilangan minyak kelapa CV Bitung Manado Oil,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng.
Sekitar satu-dua tahun setelah pabrik minyak kelapa itu didirikan, produk minyak gorengnya pun masuk pasar. Merek minyak itu adalah Bimoli. Merek ini sempat menguasai 60 persen pasaran minyak goreng. Ia bahkan menjadi produk minyak goreng yang mereknya diingat orang. Setidaknya di zaman Orde Baru. Berkat Bimoli, Eka Tjipta pernah dijuluki Raja Minyak Goreng Indonesia, dan tentu saja semakin kaya raya.
Di tahun 1983, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, Eka beraliansi dengan Liem Sioe Liong, yang makin berjaya setelah Soeharto jadi Presiden Indonesia. Perusahaan patungan mereka adalah PT Sinar Mas Inti Perkasa. Mereka memperkuat Bimoli bersama.
Sementara Bimoli berjaya, usaha Eka pun bertambah. Setidaknya Eka Tjipta dikenal sebagai pemilik pabrik kertas Tjiwi Kimia, pabrik margarin PT Smart, Bank Internasional Indonesia (BII), perkebunan, hotel, juga peternakan babi yang diekspor ke Singapura.
Menurut catatan Joe Studwell dalam Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2009), Eka sudah memasukkan dua perusahaan kertasnya ke Bursa Efek Jakarta pada 1990. Bisnisnya ada di bidang real estate, perkebunan, hotel, investasi jasa keuangan. Sinar Mas miliknya menguasai perusahaan makanan terbesar di Singapura, Asia Food & Properties.
Namun, kongsi antara Liem dengan Eka hanya bertahan hingga 1990. Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, ketika Eka cabut, Bimoli masih dalam genggaman Liem. Begitu juga Simas Margarine. Keduanya lepas dari Eka yang merintisnya. Setelah Eka melepas Bimoli, muncul saingannya, bernama Filma—yang dirilis Sinar Mas Agro milik Eka.
“Filma menyerang Bimoli dengan jargon iklan 'Lebih sehat', maka Bimoli menyerang balik dengan mengeluarkan Bimoli Spesial,” tulis Syamsul Ma'arif dan Hendri Tanjung dalam buku Manajemen Operasi.
Pakar pemasaran Hermawan Kertajaya mencatat kedua produk itu tak ada bedanya, meski masing-masing mendaku sebagai produk yang lebih baik di iklan teve.
“Ketika Sinar Mas meluncurkan Filma dengan slogan Gunakan Akal Sehat, banyak yang mempercayai klaim itu. Padahal, itu hanya permainan botol yang memang dibuat lebih jernih, sehingga Filma bisa terlihat lebih jelas. Kalau diuji di laboratorium, Filma dan Bimoli ketika itu nyaris tiada berbeda,” tulisnya dalam Hermawan Kertajaya on Targeting (2007). Sinar Mas tak hanya merilis Filma, tapi juga Kunci Mas.
Meski dianggap dominan di pasaran, Bimoli bukanlah merek minyak goreng kemasan pertama di Indonesia. Di Surabaya, ada minyak goreng dari kelapa dengan merek Ikan Dorang, dan di Jakarta ada minyak goreng dari kelapa, yakni Barco. Keduanya mengklaim sudah ada sejak 1950an.
Kala itu, minyak curah lebih banyak dipakai menggoreng ketimbang minyak yang dikemas dan bermerek. Pada dekade 1950an, menurut Andi Nur Alam Syah dalam Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit (2005), berkembang persaingan sengit antara minyak kelapa dengan minyak-minyak nabati lainnya. Terutama dengan kelapa sawit.
Bimoli sendiri sudah menjadi produsen minyak sawit. Minyak kopra yang jadi primadona pada era pergolakan 1950-an lama kelamaan kalah. Menurut catatan Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007), pada 2003 pabrik minyak Bimoli mengurangi pembelian kopra di Sulawesi Utara sampai 50 persen.
Baca juga: Hygeia, Air Minum Kemasan Pertama di Indonesia