Fenomena Begpacking, Sok Jadi Turis tapi Mengemis
https://www.naviri.org/2018/02/begpacking.html
Naviri.Org - Pergi traveling ke luar negeri tentu hak setiap orang di negara mana pun. Asal memiliki kemampuan yang cukup—meliputi biaya, waktu, dan tenaga—tentu siapa pun boleh pergi ke mana pun, selama apa pun. Karena kenyataannya traveling adalah sesuatu yang relatif mahal, sebab tidak hanya butuh waktu dan energi tapi juga membutuhkan biaya yang besar. Ada tiket naik pesawat, makan minum, menginap, dan lain-lain.
Yang menjadi masalah, akhir-akhir ini ada fenomena orang-orang yang traveling, tapi tanpa modal. Mereka bertingkah seperti wisatawan atau turis yang masuk ke negara-negara yang mereka inginkan, lalu menjadi pengemis dengan cara meminta-minta di negara yang mereka kunjungi. Fenomena ini disebut begpacking.
Begpacking bisa dibilang cara yang lebih hemat dari sekadar backpacking—pelesir hemat dan sederhana bermodal ransel dan uang seadanya. Namun, hemat di sini lebih merujuk pada cara-cara yang dianggap tidak etis serta menyalahi aturan sosial.
Menjadi begpacker berarti pelesiran ala peransel, tanpa modal, meminta sumbangan, barang gratis, juga oleh-oleh dari penduduk setempat atau sesama pelancong saat bepergian. Dengan kata lain, sengaja memilih jadi orang miskin demi bisa pelesiran atau memuaskan diri.
Mengapa bisa muncul fenomena seperti itu? Sebagian pihak menilai, ini adalah tren digital dan simbol status. Alih-alih mendorong orang berbuat amal, pun melanggengkan gaya hidup sederhana, mereka cuma memilih mengikuti tren pura-pura miskin untuk memperlihatkan mereka berbeda. Tentu, ini jadi fenomena yang aneh di luar kebiasaan.
Di satu sisi, pengemis identik dengan orang miskin tak berduit, bekerja serabutan. Bagi kebanyakan orang pun, pelesiran masih dianggap sesuatu yang mewah. Bukan cuma persoalan dana, tapi juga waktu.
Survei menunjukkan 83 persen orang Indonesia memiliki rencana liburan di dalam ataupun luar negeri. Itu pun dari kelas menengah dan boleh jadi cuma rencana. Makanya kemudian, banyak juga yang memanfaatkan waktu kerja ke tempat tertentu sekalian jalan-jalan.
Sementara di sisi lain, begpacker asing yang biasanya berasal dari negara maju macam Amerika dan Eropa justru memilih destinasi negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia.
Alasannya, kunjungan ke negara berkembang itu murah meriah, dan tidak ada aturan masuk ketat bagi warga negara asing.
Selain itu, ada serial televisi seperti yang ditayangkan di Discovery Channel, yang mendorong orang pelesiran untuk mendapat uang tanpa modal. Aksi ini pun didukung gerakan daring mendanai perjalanan secara cuma-cuma, seperti GoFundMe.
Terlebih lagi, orang lokal memandang orang asing berstatus sosial tinggi. Misal, tanpa peduli mereka punya uang atau tidak, orang asing tetap diajak foto bersama. Alhasil, lebih mudah bagi para begpacker menggelar aksi 'mengemis'.
Kelakuan turis pengemis ini pernah dikritisi sejumlah penduduk di Asia Tenggara. Kepada The Observers, Maisarah Abu Samah dari Singapura yang mempublikasikan foto begpacker di akun twitternya, menyatakan heran melihat fenomena tersebut.
Menurutnya, mengemis dianggap tidak terhormat, dan orang melakukan itu karena butuh, bukan untuk hal mewah. Sementara Louise K. asal Malaysia menyebut fenomena ini sebagai warisan kolonial.
Hal senada juga diungkap Luong, seorang penduduk Vietnam pada CNN, "Hak istimewa kepada orang kulit putih masih terasa di sini. Tak hanya mengemis, mereka juga sering dibiarkan saat mengendarai motor tanpa helm."
Mirisnya lagi, tak hanya sekadar meminta-minta untuk pelesiran, ada sebagian begpacker yang menjadikannya modus untuk berpesta dan mengencani perempuan lokal di Thailand, Filipina, juga Indonesia.
Tak heran Thailand menetapkan aturan baru agar pelancong yang datang bisa membuktikan lebih dulu mereka punya jumlah uang minimum sebesar 20.000 Baht sebelum masuk ke negaranya.
Suara masyarakat timur yang merasa resah akan fenomena ini pun juga direspons media barat. Ada yang ketus, ada pula yang netral. The Telegraph menyebut para begpacker harusnya malu pada diri sendiri. Meski begitu, The Independent mengimbau orang tak lekas melakukan penilaian terhadap mereka.
Sacha Stevenson, selebritas YouTube asing yang telah menikah dengan orang Indonesia dan sering membagikan perspektif tentang keindahan Indonesia, mengamini ada sebagian kecil pelancong asing yang memang perlu mencari tambahan uang untuk pulang ke negaranya, karena terlalu betah di Indonesia. Akan tetapi bukan dengan meminta-minta, melainkan melakukan pekerjaan tambahan.
Menyelisik sejarah begpacking ini, akarnya adalah gerakan drifting—melancong sambil bekerja—yang muncul pada era 1970-an. Hal itu berdasar teori sosiolog Erik Cohen, yang pernah mengkaji pariwisata sebagai fenomena sosial.
Para drifter ini serupa pengembara. Dulunya mereka diklasifikasikan oleh Cohen sebagai pelaku budaya tanding, melakukan banyak hal berbeda dan positif ketimbang pelancong pada umumnya.
Pada perkembangannya, drifter berubah jadi banyak sebutan—nomad, hitchiker, pemuda petualang dan gembel, hingga backpacker—dan sekarang beralih terang-terangan menjadi apa yang ditolaknya. Abai pada budaya yang berbeda, dan berpotensi menganggu.
Baca juga: Foto Menawan di Media Sosial Belum Tentu Sesuai Aslinya