Mengapa Ada Bahasa-bahasa yang Nyaris Punah?
https://www.naviri.org/2018/02/bahasa-nyaris-punah.html
Naviri.Org - Antisipasi adalah sikap yang baik, termasuk dalam hal mengenali bahasa yang hampir punah. Karena, dengan mengenali bahasa tertentu yang hampir punah, dapat membuat kita mengambil sikap atau langkah-langkah tertentu untuk menghindarkan bahasa tersebut dari kemungkinan kepunahan. Karena, kenyataannya, ada bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang telah punah, akibat tidak diantisipasi dan tidak ada penuturnya lagi.
Lalu bagaimana kita mengenali suatu bahasa hampir punah?
Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, Lewis (2015) berpendapat suatu bahasa dikatakan terancam, apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya, dan bahasa tersebut tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka.
Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari, sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan bahasa dalam masyarakat, cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna bahasa akan kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
David Crystal, pakar linguistik, mengatakan bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas, serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas. Selain itu, generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas, dan jarang menggunakan bahasa daerah, tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa daerah.
Mungkin hal tersebut yang membuat Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Turmudi, berpendapat suatu saat bahasa daerah di Indonesia hanya akan tersisa sembilan saja.
Menurutnya, secara konseptual bahasa akan bertahan apabila memiliki sistem penulisan atau aksara yang mampu merekam bahasa.
"Bahasa-bahasa yang memiliki sistem aksara dan diperkirakan akan bertahan untuk ke depannya, antara lain Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak," katanya kepada Antara, pada Desember 2013.
Punahnya bahasa daerah sudah menjadi perhatian sejak lama. Pada Juli 2007, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, pernah mengadakan kongres internasional yang dihadiri oleh para pakar dari dalam dan luar negeri.
Kongres tersebut bertujuan untuk menampung ide dan gagasan dari para pemerhati bahasa daerah, khususnya di Sulawesi Selatan. Kongres tersebut menghasilkan empat rekomendasi penting.
Pertama, pembuatan dan penetapan Peraturan Daerah tentang revitalisasi, pemertahanan, dan pengembangan bahasa dan sastra daerah Sulawesi Selatan. Kedua, mendorong penelitian pengembangan aksara Bugis-Makassar. Ketiga, pembentukan Dewan Bahasa dan Sastra Daerah pada tingkat Provinsi, dan Kabupaten-Kota. Sementara yang terakhir, pencanangan terhadap Gerakan bangga Berbahasa Daerah (GBBD).
Sayang, perhatian terhadap punahnya bahasa daerah ini pun tidak mendapat dukungan dari pemerintah pusat, bahkan cenderung abai. Hingga kini, belum terlihat sikap nyata dari pemerintah pusat untuk melestarikan bahasa warisan leluhur Indonesia.
Baca juga: Bahasa-bahasa Daerah dengan Pengguna Terbanyak di Indonesia