Sejarah dan Asal Usul Pariwisata di Bali
https://www.naviri.org/2018/02/asal-usul-pariwisata-bali.html
Naviri.Org - Bali adalah pulau di Indonesia yang sangat terkenal di dunia. Sebegitu terkenal, hingga Bali kerap menjadi destinasi wisata yang dituju para turis atau wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Bahkan, orang-orang di luar negeri kadang tahu Bali, tapi tidak tahu Indonesia. Atau, mereka kadang tidak tahu bahwa Bali ada di Indonesia.
Kenyataannya, Bali memang tempat yang indah, sekeping surga di bumi, dan mempesona banyak orang. Bali memiliki keindahan alam, keindahan budaya, serta keindahan adat masyarakatnya. Daya tarik itu bersatu dan membuat jutaan orang dari berbagai negara mengunjungi Bali.
Bagaimana asal usul dunia pariwisata di Bali, hingga terkenal seperti sekarang? Sejarah mengenai hal itu mungkin tidak seindah pariwisata yang disuguhkan di Bali.
I Made Sujaya, dalam buku Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002, menulis bahwa pada 1986 jalan-jalan di Kuta dan Kerobokan masih seperti kubangan kerbau. Malam hari jalan-jalan itu tanpa penerangan, gelap gulita berkuasa. Pantai Kuta, Seminyak, dan Loloan Yeh Po sangat kotor. Perahu-perahu nelayan berjejer menunggu melaut.
Industri pariwisata mulai menguasai Kuta ketika dokter Made Mandara membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan temannya yang seorang bule. Hal ini kemudian diikuti warga lain yang ikut membenahi rumahnya untuk dijadikan penginapan murah. Pembangunan infrastruktur kemudian mengikuti perubahan ini, nyaris setiap depa tanah di Kuta dijadikan objek pariwisata. Pasca kerusuhan reformasi 1998, daerah di sekitar Kuta diincar oleh para investor baru yang menganggap wilayah tersebut aman untuk berinvestasi.
“Petani-petani Desa Kerobokan menjadi gagap, seolah tak percaya ketika para tukang kapling tanah membujuk mereka menjual tanah dengan harga yang menggiurkan ketika itu. Tak kuat menahan bayangan rupiah yang melimpah, tanah leluhur di Kerobokan perlahan-lahan namun pasti ludes terjual,” tulis Suryawan.
Situasi ini bukannya tanpa antisipasi, sejak geliat pariwisata mulai menerjang, desa pakraman (desa adat) melarang warganya menjual tanah, namun investor menyiasatinya dengan berbagai cara, di antaranya dengan meminjam KTP (Karta Tanda Penduduk) krama desa pakraman, mengawini gadis Bali, atau “kerjasama” dengan krama desa pakraman untuk berusaha.
Hal seperti inilah yang kemudian menyeret Bali pada ganasnya penetrasi global melalui investasi pariwisata, yang kemudian menjadi pemantik perubahan sosial budaya paling nyata dalam keseharian.
“Kisah tersebut, paling tidak, bisa merefleksikan bagaimana manusia Bali memang benar-benar berada di wilayah frontier (garis depan). Ruang-ruang di garis depan bertemunya kekuatan-kekuatan global dalam rangka mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada di Bali,” tambahnya.
Bali kontemporer, pasca dihantam bom dua kali pada 2002 dan 2005, pariwisatanya sempat terguncang dahsyat. Pemerintah langsung mengambil langkah-langkah pemulihan dengan berbagai program dan slogan. Kementerian Kebudayan dan Pariwisata meluncurkan program pemulihan pariwisata Bali dengan tajuk Seribu Langkah Menuju Bali.
“Mari kita kunjungi lagi Bali, agar Pulau Dewata ini kembali berdenyut,” kata Menteri Budaya dan pariwisata saat itu, I Gede Ardika.
Sementara Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) menggagas program bernama Bali for the World yang ditandai dengan kegiatan perayaan malam tahun baru 2003 di pantai Legian yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam acara tersebut dicanangkan juga Tahun Kedamaian dan Tahun Antikekerasan.
Banyak pihak, terutama masyarakat Bali yang melontarkan kritik terhadap program-program tersebut. Dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Darma Putra memaparkan bahwa program pemulihan pariwisata Bali for the World yang menghabiskan dana milyaran rupiah itu menjadi pentas bagaimana kuasa pusat pada Bali, termasuk menentukan program pemulihan yang dirancang sangat sentralistik.
Lebih lanjut I Ngurah Suryawan, dalam Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata, menjelaskan bahwa jargon citra “Adiluhung Budaya Bali” seolah menegaskan budaya Bali itu harmoni, cinta damai, yang siap dikonsumsi pariwisata sekaligus sebagai pembius simpati dunia.
“Padahal di balik upaya pengembalian citra tersebut, alam bawah sadar manusia Bali dilupakan. Bagaimana sejarah kekerasan dilenyapkan dari ingatan dan diganti dengan ingatan baru bernama pariwisata. Representasi dan relasi kuasa menimbulkan apa yang pantas diingat dan dilupakan. Keterpurukan pasca Bom Bali 2002 dan 2005 mendapatkan perhatian luar biasa karena ia menyentuh denyut jantung Pulau Bali. Pemerintah Bali dan Indonesia memelihara citra pariwisata Bali tersebut. mengembalikan citra Bali seolah harga mati,” tambahnya.
Kini, isu yang tengah menghangat di Pulau Dewata adalah rencana reklamasi teluk Benoa yang ditentang masyarakat. Tokoh adat, nelayan, petani, seniman, dan elemen masyarakat lainnya lantang menyuarakan penolakan.
Lagu perlawanan didendangkan dan resonansinya sampai juga ke beberapa sudut Nusantara:
“Bangun Bali subsidi petani/ Kita semua makan nasi/ Bukannya butuh reklamasi/ Keputusan bau konspirasi/ Penguasa pengusaha bagi komisi/ Konservasi dikhianati.”
Ada tarik-menarik kepentingan antara investor, pemerintah, dan masyarakat. Ketiga elemen ini, dalam fragmen-fragmen keseharian manusia Bali yang berelasi dengan dunia global bernama pariwisata yang mengepung Bali dari hulu ke hilir, oleh I Ngurah Suryawan diibaratkan sebagai lukisan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa—judul novel karya YB. Mangunwijaya.
“Perumpamaan Ikan Hiu menggambarkan kekuatan kapital (kuasa modal). Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (negara) yang dengan semena-mena memakan Ikan Homa, yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, Ikan Ido juga termakan oleh keganasan Ikan Hiu,” tulisnya.
Inilah kemuraman yang diam-diam terpapar di balik kemolekan Bali.
Baca juga: Kisah Muram dan Sejarah Bali di Masa Lalu