Saur Sepuh, Sandiwara Radio Legendaris Indonesia
https://www.naviri.org/2018/01/saur-sepuh.html
Naviri.Org - Saur Sepuh adalah sandiwara radio yang menjadi Master of the Legend atau legenda terbesar dari sandiwara radio yang pernah ada di Indonesia. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki Kosasih (almarhum) yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti mandraguna bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja di salah satu kerajaan di wilayah kulon yang bernama Madangkara.
Saur Sepuh disiarkan melalui media radio pada tahun 1980-an di Indonesia. Saur Sepuh mengambil latar pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di nusantara. Serial ini mampu memukau jutaan pendengarnya di seluruh pelosok nusantara.
Hampir di tiap-tiap jam tertentu, masyarakat dengan seksama mendengarkan serial ini. Pada saat itu, radio adalah satu-satunya media hiburan rakyat Indonesia yang masih langka, sehingga untuk mendengarkannya mesti secara beramai-ramai ke rumah tetangga yang memiliki radio.
Perusahaan farmasi Kalbe Farma sebagai produsen obat-obatan ternama menjadi mitra utama dari serial ini. Dengan durasi 30 menit dipotong iklan produk obat-obatan, serial ini mampu menghipnotis para pendengarnya untuk berhenti beraktivitas, dan berkonsentrasi untuk mendengarkannya.
Sandiwara radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun radio ditanah air
Tentang Brama Kumbara
Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya yang bernama Darmasalira adalah keturunan Raja Madangkara yang terkudeta; Kakek Astagina, guru dan juga kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.
Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan pejabat dari Guntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama.
Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena beliau jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan pasukan perang Guntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang juga menjadi jajahan Guntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang mampu menghancurkan Guntala.
Brama kecil diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa (sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya di atas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)
Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain di luar itu. Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!
Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.
Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.
Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah dan mengeluarkan gulungan kertas berisi silsilah raja-raja Madangkara. Dari gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah satu keturunan raja Madangkara yang sah.
Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu kandung Brama. Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.
Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik.
Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat dekatnya.
Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian milik Tumenggung Gardika dari Guntala. Brama kalah dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa sampai pada tingkat kesepuluh (yaitu tingkat terakhir dari ilmu tersebut). Sementara tingkatan ajian serat jiwa milik Brama ketika ia bertarung melawan Gardika belum mencapai puncak.
Dengan kondisi yang terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian, dari peristiwa kekalahannya itu, Brama menyempurnakan Ajian Serat Jiwa yang ia miliki hingga sampai di Tingkat 10, tingkatan tertinggi ilmu ini.
Gardika yang juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu Gardikalah yang tewas… tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama, Brama lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut.
Selain itu Brama mempelajari ajian serat jiwa langsung dari kitab aslinya sehingga penguasaannya pun lebih sempurna dari Gardika. Memang saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat tertinggi.
Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri Brama Kumbara) maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa di jaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit) hanya sampai tingkat 9.
Hanya Brama, Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek Astagina sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa itu sendiri.
Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan orang-orang Guntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto Agni.
Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia menangis di kaki Buto Agni.
Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu diteruskan di bawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.
Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang Guntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.
Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui kekalahan.
Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu melalui perpaduan antara ajian Serat Jiwa tingkat 1 dan ajian serat jiwa tingkat ke-10. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan Lasmini.
Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang saja tanpa membuat orang yang menggunakannya di jalan yang salah bisa bertobat. Akhirnya, Brama menciptakan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.
Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman. Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Bhiksu Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.
Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri ke goa pantai selatan sampai wafatnya.
Baca juga: Singgasana Besi dan Kesuksesan Game of Thrones