Rencana Redenominasi Uang Rupiah di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/01/redenominasi-rupiah.html
Naviri.Org - Seperti beberapa negara lain yang pernah menerapkan redenominasi atas mata uang mereka, Indonesia juga telah punya rencana untuk melakukan redenominasi atas rupiah, mata uang Indonesia. Rencana redenominasi itu tentu bertujuan menyederhanakan mata uang yang saat ini beredar.
Seperti kita tahu, saat ini Indonesia memiliki pecahan uang Rp100.000 sebagai mata uang dengan nilai terbesar. Dengan adanya redenominasi, mata uang Rp100.000 itu mungkin akan disederhanakan menjadi Rp100. Sementara mata uang Rp50.000 diredenominasi menjadi Rp50, Rp20.000 menjadi Rp20, Rp10.000 menjadi Rp10, sementara Rp1000 menjadi Rp1.
Gagasan redenominasi di Indonesia lahir saat Darmin Nasution menjabat sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Gubernur BI Boediono yang jadi wakil presiden. Pada pertengahan 2010, ide ini digulirkan oleh BI. Momennya pada waktu itu, kinclongnya kinerja pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 6 persen dan tantangan menghadapi integrasi ekonomi regional. BI mulai melakukan kajian soal redenominasi.
"Redenominasi sama sekali tidak merugikan masyarakat karena berbeda dengan sanering atau pemotongan uang. Dalam redenominasi, nilai uang terhadap barang (daya beli) tidak akan berubah, yang terjadi hanya penyederhanaan dalam nilai nominalnya berupa penghilangan beberapa digit angka nol,” kata Darmin Nasution kala itu.
Ide BI ini langsung disambut pemerintah. Gagasan menghapus tiga angka nol pada rupiah seolah sudah di depan mata dengan upaya sosialisasi semacam tes pasar ke publik pada 2011-2012. Merasa yakin, akhirnya pada Juni 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirimkan surat bernomor 25/Pres/06/2013 tentang Rancangan UU tentang Perubahan Harga Rupiah atau RUU Redenominasi kepada DPR.
DPR menindaklanjutinya dengan memasukkan RUU redenominasi pada 25 Juni 2013 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sayangnya pada waktu itu, pemerintah maupun DPR sudah sibuk dengan pertarungan jelang Pemilu 2014. Rasa pesismistis publik pun muncul terhadap redenominasi.
"Bank Indonesia mensyaratkan redenominasi perlu stabilitas politik dan ekonomi. Namun, apakah stabilitas bisa tercapai pada tahun-tahun politik seperti saat ini," kata Sofjan Wanandi, yang waktu itu masih jadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), seperti dikutip dari Antara.
Ketika Pemilu usai, saat Chatib Basri yang ketika itu menjadi menteri keuangan, sempat ada penegasan bahwa pemerintah dan DPR masih melanjutkan pembahasan RUU ini. Namun, waktu itu juga sudah ada sinyal akan melempar pekerjaan rumah ini ke pemerintahan baru bila pemerintahan lama tak sempat menuntaskannya.
"Pembahasannya mudah-mudahan dapat selesai pada masa sidang ini. Tapi kalau tidak, nanti di pemerintahan selanjutnya," kata Chatib.
Benar saja, sampai masa jabatan Presiden SBY berakhir, RUU redenominasi tak tembus. Sampai akhirnya, pemerintahan baru di bawah Presiden Jokowi mengusulkan RUU ini tetap masuk Prolegnas. Dari data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, RUU redenominasi memang masuk dalam usulan pemerintah dalam Prolegnas 2015-2019 karena tujuannya dianggap positif.
Tujuan dari redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa. Selain itu, dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah.
Redenominasi juga dapat mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya di kawasan. Redenominasi dapat mencegah terjadinya kendala teknis akibat jumlah digit yang besar dalam sistem non tunai. Yang ujung-ujungnya adalah meningkatkan efisiensi transaksi dalam perekonomian.
“UU ini perlu segera diajukan karena untuk pelaksanaannya membutuhkan waktu yang panjang, agar masyarakat terbiasa dengan perubahan nilai digit. UU ini bukan merupakan bentuk sanering,” jelas sikap pemerintah dikutip dari laman BPHN.
Pada usulan itu, RUU redenominasi ditetapkan sebagai prioritas yang akan dibahas pada 2015, karena sudah ada naskah akademik, sudah ada draftnya, telah selesai proses harmonisasi, pernah masuk dalam tahap pembahasan Pansus DPR. RUU ini hanya butuh restu dari DPR. Sayangnya, menjelang akhir 2014 dan sepanjang 2015, ekonomi Indonesia memasuki masa surut. Pada tahun lalu, nilai tukar rupiah tertekan cukup dalam terhadap dolar AS akibat dampak pembalikan arus modal ke Amerika Serikat.
BI akhirnya melihat kondisi ini sebuah hambatan untuk meneruskan redenominasi yang memang butuh persiapan lama. Menurut BI, butuh waktu cukup panjang, minimal tujuh tahun, untuk mempersiapkan redenominasi rupiah.
Meski demikian, ternyata RUU ini masih masuk Prolegnas periode 2015-2019, dari 169 RUU yang akan dibahas DPR dan pemerintah. Artinya semangat melaksanakan redenominasi masih ada di pemerintah maupun DPR. Namun pemerintah dan DPR nampaknya masih hati-hati soal redenominasi, apalagi ekonomi Indonesia baru saja sedikit bangkit setelah terpuruk selama tiga tahun terakhir.
Redenominasi memang menjadi tanya besar bagi negara yang mau melaksanakannya. Dari pengalaman negara lain, redenominasi tak semuanya berjalan mulus, ada yang gagal dan berhasil.
Baca juga: Sejarah dan Kisah Redenominasi Uang di Belarusia