Kabar Buruk, Persediaan Oksigen di Bumi Makin Sedikit
https://www.naviri.org/2018/01/persediaan-oksigen-di-bumi.html
Naviri.Org - Wajah bumi yang kita tinggali tampaknya kian mengkhawatirkan, dan itu artinya nasib manusia yang menjadi penghuni bumi makin berada di bawah ancaman yang sama mengkhawatirkan. Setelah aneka bencana, pemanasan global, wabah penyakit, dan mencairnya es di kutub, kini kabar buruk yang mulai mencengkeram bumi adalah makin berkurangnya persediaan oksigen.
Seperti kita tahu, oksigen adalah sumber kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Selain membutuhkan air, manusia butuh oksigen untuk bernapas. Tanpa oksigen, manusia akan kesulitan bernapas, dan itu artinya juga sulit hidup. Yang mengerikan, sekali lagi, persediaan oksigen di bumi kian menipis.
Pemanasan global dan meningkatnya gas rumah kaca mengakibatkan samudra di seluruh dunia mengalami deoksigenasi, atau berkurangnya kadar oksigen. Dalam hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Science, disebutkan jumlah wilayah di samudra yang memiliki tingkat oksigen rendah atau tidak ada sama sekali, meningkat hingga empat sampai sepuluh kali lipat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh gabungan ahli dari Global Ocean Oxygen Network, yang berada di bawah United Nations Intergovernmental Oceanographic Commision, ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat setengah persediaan oksigen di bumi berasal dari samudra. Jadi, bisa dibilang persediaan oksigen di bumi pun telah semakin menipis.
Selain itu, oksigen tentu saja sangat penting untuk kehidupan para penghuni samudra. Kehilangan oksigen, berarti kita harus bersiap menghadapi kepunahan makhluk laut.
“Kehidupan hewan laut bergantung pada oksigen untuk bernapas,” kata Lisa Levin, ahli biologi kelautan dari Scripps Institution of Oceanography di University of California San Diego, dilansir Newsweek.
“Kalau kita menginginkan samudra yang sehat, maka samudra membutuhkan oksigen,” tegasnya.
Sejak 50 tahun terakhir, angka samudra tanpa oksigen meningkat hingga empat kali lipat. Di perairan pesisir seperti lautan dan estuari, penurunan oksigen terjadi dua kali lipat lebih tinggi.
Deoksigenisasi juga memengaruhi kehidupan manusia, terutama bagi mereka yang tergantung pada lautan untuk kehidupan sehari-hari, seperti nelayan. Di Filipina, kematian ikan di satu kota mengakibatkan kerugian hingga lebih dari 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 134,2 miliar.
Terumbu karang pun bisa habis. Sebab, saat ini terumbu karang sudah mengalami pemutihan akibat meningkatnya suhu di permukaan lautan, yang juga bisa terjadi akibat kurangnya oksigen di samudra.
“Ada banyak kehidupan yang bergantung pada lautan yang bersih, tidak berbau, dan tidak mengandung makhluk mati di dalamnya,” kata Levin. “Ketika oksigen semakin berkurang, hewan-hewan laut akan menghilang.”
Berkurangnya oksigen di lautan diakibatkan oleh suhu yang menghangat, karena air yang lebih hangat mengandung lebih sedikit oksigen, Levin menjelaskan. Naiknya tinggi permukaan lautan pun menyebabkan oksigen tidak dapat mencapai bagian lautan yang dalam. Oksigen akan menghilang pada kedalaman 91 hingga 7.218 meter.
Limbah dari pertanian dan pembuangan manusia juga berperan pada penurunan tingkat oksigen di samudra. Limbah menyebabkan tumbuhnya alga secara berlebihan. Alga ini kemudian menghisap oksigen dan menyebabkan oksigen di sekitarnya berkurang. Proses ini disebut sebagai eutrofikasi.
“Berkurangnya oksigen di samudera merupakan salah satu dampak serius dari aktivitas manusia pada lingkungan hidup,” kata Denise Breitburg, ahli ekologi kelautan dari Smithsonian Environmental Research Center.
“Menghentikan perubahan iklim membutuhkan kerjasama secara global. Tapi upaya yang bersifat lokal bisa menghentikan penurunan oksigen akibat limbah.”
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu dengan mengurangi pembuangan limbah dan perubahan iklim, melindungi makhluk lautan dari ancaman lanjut, dan terus memantau penurunan oksigen yang terjadi di seluruh dunia.
Baca juga: Nasib Bumi dan Ambang Kepunahan Manusia