Memahami Aturan Pajak untuk Barang-barang Digital
https://www.naviri.org/2018/01/pajak-barang-digital.html
Naviri.Org - Selama ini, ada banyak barang atau materi digital yang bisa dibilang tidak dikenai pajak atau tidak dikenai bea masuk, meski sebenarnya datang dari luar negeri. Sebagai contoh, kita mengunduh musik berbayar melalui suatu aplikasi. Dalam proses pengunduhan musik tersebut, kita membayar penyedia musik, sehingga dapat mengunduh musik yang disediakan. Artinya, dalam proses itu ada jual beli. Meski begitu, proses itu tidak dikenai pajak sebagaimana transaksi jual beli umumnya.
Nah, saat ini, pemerintah Indonesia sedang berencana untuk mengenakan pajak atau bea masuk pada barang-barang tak berwujud atau intangible goods mulai 2018. Penerapan bea bagi barang-barang digital salah satunya disebabkan oleh berakhirnya moratorium pelarangan pengenaan bea masuk atas barang tak berwujud, yang diterapkan World Trade Organization pada akhir tahun 2017.
Intangible goods, merujuk pendefinisian Investopedia, merupakan aset non-fisik, seperti paten, merek dagang, waralaba, dan hak cipta. Selain ini, merujuk pada tipe bisnisnya, intangible goods juga termasuk seperti nama domain, pertunjukan, lisensi perjanjian, aplikasi komputer, serta rahasia dagang. Barang-barang digital atau digital goods, juga masuk ke dalam ruang lingkup intangible goods.
Dalam buku berjudul "The World Trade Organization and Trade in Services" yang ditulis Kern Alexander, contoh barang intangible goods adalah file unduhan musik berformat MP3. Lebih lanjut Peter Hill, dalam bukunya berjudul "Intangibles and Services: A new Taxonomy for the Classification of Output" mengungkapkan bahwa entitas tak berwujud disebut barang jika dapat memberikan beberapa keuntungan bagi pemiliknya.
Dalam bentuk konkret, perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara Amerika Serikat dan Bahrain, mengartikan barang-barang digital dalam rupa seperti aplikasi komputer, teks, video, gambar, rekaman suara, serta produk lain apapun yang yang dikodekan secara digital.
Dalam contoh sederhana, e-book maupun musik yang diputar melalui aplikasi Spotify atau Joox, adalah barang-barang digital.
Selain moratorium WTO yang dimulai tahun 1998 itu berakhir, pemberian bea masuk bagi barang-barang digital sebetulnya telah tersirat dalam peraturan yang dimiliki Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 (tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan) pasal 8A lebih menyoal “pengangkutan barang.” Adapun, Pasal 8A ayat 1 berbunyi “Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean.”
Penerapan bea masuk pada barang-barang digital, jika masih ingin merujuk undang-undang tersebut, lebih cocok menggunakan pasal 1 dan pasal 2. Pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut berbunyi, “Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.”
Pengenaan bea masuk para barang-barang digital memiliki keunikannya tersendiri. Ini, sesuai dengan arti intangible goods sendiri, berasal dari bentuk “tak bisa disentuh”. Umumnya, barang digital yang terkena bea masuk merupakan barang digital yang termuat dalam bentuk fisik.
Aplikasi Microsoft Office, misalnya. Ia termasuk ke dalam contoh barang digital. Di India, tak ada aturan yang secara spesifik menyatakan Microsoft Office harus kena bea masuk saat didatangkan dari luar negeri menuju India.
Dalam aturan negeri itu, Microsoft Office, dan beragam aplikasi komputer lainnya, kena pajak dalam kerangka "CD atau DVD aplikasi". Baik CD maupun DVD merupakan barang fisik. CD atau DVD aplikasi komputer sendiri, dipatok bea masuk sebesar 10,3 persen dari harga barang oleh pemerintah India.
Apa yang diterapkan India merupakan pengerucutan pendefinisian konvergensi digital yang termuat dalam Information Technology Agreement oleh WTO. Hanya aplikasi komputer yang tertanam dalam media konvensional yang dikenai bea masuk. Aplikasi pra-instalasi, semisal MacOS yang langsung tertanam dalam komputer Mac, tak dianggap sebagai barang digital kena bea. Namun, hanya komputer Mac saja yang terkena bea.
Di Australia, penerapan bea masuk telah mewujud dalam bentuk sebenarnya. Tak lagi memerlukan medium fisik seperti yang dilakukan India. Di negeri kangguru itu, barang-barang digital seperti layanan video streaming, berlangganan konten online, buku, film, dan gim digital, barang-barang virtual, jasa online, dikenakan bea masuk sebesar 10 persen dari harga produk.
Pemerintah Peru, pada tahun 1997 pernah menerapkan aturan bea masuk pada beragam jenis produk digital, antara lain: aplikasi umum, aplikasi untuk mesin khusus, aplikasi yang dipesan khusus, update aplikasi, aplikasi yang belum diidentifikasi, lisensi aplikasi, dan patch aplikasi (perbaikan).
Kemudian, aturan itu direvisi dengan menyederhanakan barang digital yang dapat dikenai bea masuk. Dalam konteks aplikasi komputer, produk dikenai bea masuk jika perangkat keras, mesin, atau peralatan, membutuhkan aplikasi komputer tersebut untuk bekerja. Begitupun sebaliknya.
Di Amerika Serikat, tempat sebagian besar barang-barang digital berasal, aturan bea masuk masih campur aduk. Terutama dalam konteks negara bagian. Ada negara bagian yang memiliki aturan khusus (misalnya Colorado dan Vermont), ada yang menggunakan aturan bea cukai umum (misalnya Indiana), dan bahkan ada yang tidak memungut bea masuk (misalnya Nort Dakota dan Washington DC).
Salah satu alasan masih campur aduknya kebijakan karena terkait dengan Internet Tax Freedom Act yang digagas pada tahun 1997. Melalui aturan itu, pemerintah Amerika Serikat dilarang memungut pajak atau membatasi diri untuk memajaki aktivitas internet. Koneksi internet dan email, sebagai contoh, adalah dua entitas yang dilarang dikenai pajak.
Daniel Cannistra dalam jurnalnya, bertajuk “Digital Convergence and Electronic Commerce: Customs and Trade Implications”, mengungkapkan bahwa salah satu alasan berbeda-bedanya aturan bea masuk produk digital karena aturan multinegara soal perdagangan terakhir terjadi di tahun 1992, ketika dunia digital belum menyentuh secara fundamental kehidupan manusia.
Cannistra mengatakan aturan multinegara itu terjadi 13 tahun sebelum iPod diluncurkan. iPod merupakan perangkat pemutar musik yang mencetuskan sistem penjualan musik digital melalui iTunes. Suatu sistem penjualan musik yang tak lagi memerlukan medium CD atau DVD, serta dengan mudah menerabas batasan-batasan geografis negara.
Rencana pemerintah memungut bea masuk bagi barang-barang digital diduga terkait dengan potensi penerimaan dari barang-barang digital.
Di Indonesia, aplikasi komputer Microsoft Windows jadi yang terdepan dengan pangsa pasar sebesar 90,2 persen. Dengan harga sekitar Rp1,5 juta hingga Rp3 jutaan, ini tentu suatu nilai yang cukup menggiurkan.
Selain itu, bea dari aplikasi seperti Spotify misalnya. Ia menyimpan potensi pendapatan yang cukup tinggi. Pada Maret lalu, secara global, Spotify membukukan 50 juta pelanggan. Indonesia disebut sebagai pasar yang sedang berkembang.
Baca juga: Indonesia akan Menerapkan Penggunaan Sertifikat Digital