Mengapa Orang Suka Mempermalukan Orang Lain di Media Sosial?
https://www.naviri.org/2018/01/mempermalukan-orang-di-medsos.html
Naviri.Org - Ketika internet dan media sosial telah menjadi bagian hidup sehari-hari seperti sekarang, ada banyak hal yang semula tidak ada kini menjadi kebiasaan. Salah satunya adalah kebiasaan atau kecenderungan mempermalukan orang lain di media sosial. Sepertinya, ada orang-orang yang sangat suka saat menyaksikan orang-orang tertentu dipermalukan karena kepergok melakukan sesuatu yang konyol atau tidak benar, dan semacamnya.
Karena latar belakang itu pula, di media sosial sampai ada akun-akun khusus yang setiap saat memposting aneka masalah atau aib yang terjadi pada orang-orang tertentu, khususnya para artis atau orang terkenal. Sementara itu, orang per orang—yang bukan akun khusus—seperti punya semacam kebanggaan kalau bisa mengunggah atau memposting sesuatu yang terkait dengan aib orang lain.
Mengapa sebagian orang punya kecenderungan semacam itu?
Psychology Today pernah melansir tulisan yang menunjukkan bahwa berita negatif memiliki daya tarik lebih dibandingkan dengan berita-berita positif. Perbandingannya, jika ada satu berita positif muncul, maka sudah ada 17 berita negatif yang dikonsumsi publik.
Ternyata kondisi ini berhubungan dengan evolusi otak manusia dalam lingkungan pemburu. Otak akan memerintahkan refleks tubuh untuk menghindar ketika bertemu ancaman yang dipersepsikan sebagai hal negatif. Organ tubuh tersebut lebih sensitif terhadap hal negatif dibanding hal positif.
Pada zaman kuno, hukuman mati yang dipertontonkan di depan umum merupakan hal yang dianggap wajar. Kini, akses teknologi dan media sosial semakin mudah diraih. Efek menghukum di hadapan publik bergeser ke dunia maya.
Sebuah tulisan dari Joel Stein di Time menjabarkan bagaimana internet dan media sosial telah menjadi monster: tempat saling hina dan menghancurkan hidup orang lain. Warganet lazim bertindak sebagai pahlawan moral, mengancam, menghina, memaki orang lain yang dianggapnya lebih rendah. Menghancurkan hidup orang lain hanya untuk bersenang-senang.
Perlakuan itu, menurut tulisan John Suler (2004), terjadi karena adanya online disinhibition effect pada lingkungan digital, yakni ketidakmampuan menahan diri. Ada 6 faktor penyebabnya, yakni anonimitas, ketidaktampakan, asinkronisitas, intrayeksi solipsistik, dan minimnya otoritas.
Jurnal psikologi Personality and Individual Differences yang memuat tulisan Erin E. Buckels, dkk (2014), menyatakan bahwa pelaku troll berkorelasi positif dengan sadisme, psikopat, dan Machiavellianisme. Mereka melakukan kegiatan trolling di media sosial dengan rekaman komentar kasar, membuat lelucon hinaan atau pelecehan, hingga membeberkan data pribadi orang lain.
Seorang jurnalis sekaligus penulis buku So you've been publicly shamed, the psychopath test, and the men who stare at goat, Ronson, juga menulis alasan di balik kenyamanan mempermalukan orang di media sosial. Orang-orang ini meyakini perbuatannya telah sesuai norma, karena kepercayaan sekitarnya mendukung perbuatan tersebut.
“Banyak kekerasan lahir dari kepercayaan masyarakat bahwa mereka melakukan sesuatu yang baik,” tulis Ronson.
Apalagi di media sosial, ketika perilaku seseorang hanya dilihat sebatas “cuplikan” singkat. Dalam video, hanya sebatas durasi yang terunggah. Foto pun dibatasi tangkapan layar semata, dan status atau cuitan yang dibatasi karakter huruf atau deskripsi cerita.
Dalam dunia digital kontemporer, pemakai media sosial perlu berupaya menilai pro-kontra secara keseluruhan. Salah satu caranya adalah memperhitungkan hal-hal yang berada di luar bingkai.
Baca juga: Hidup Tenang dan Nyaman Tanpa Media Sosial