Lingkaran Masalah Terkait Rokok di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/01/masalah-rokok-di-indonesia.html
Naviri.Org - Rokok adalah komoditas yang menjadi produk dengan konsumen sangat besar, khususnya di Indonesia. Di negeri ini ada pabrik-pabrik rokok, sebagiannya berskala sangat besar, yang mempekerjakan ribuan atau bahkan ratusan ribu pekerja. Para pekerja rokok dimulai dari para petani tembakau, para pekerja di pabrik, para salesman, dan lain-lain, yang intinya dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, keberadaan pabrik rokok telah memberi lapangan kerja bagi ratusan ribu orang.
Tetapi, rokok juga kerap dipersoalkan, khususnya terkait kesehatan. Rokok dianggap merugikan kesehatan, bahkan pemerintah memberlakukan aturan agar bungkus rokok ditempeli gambar mengerikan yang merupakan peringatan mengenai bahaya rokok. Dalam hal ini, pemerintah juga tidak bisa seenaknya menutup pabrik rokok atau melarang peredaran rokok. Karena, sebagaimana disebut di atas, rokok telah membuka lapangan kerja untuk banyak orang.
Suka tidak suka, sektor industri rokok menopang bisnis konglomerasi di Indonesia, dan menempatkan pemiliknya dalam daftar orang terkaya. Rokok juga menjadi salah satu sumber utama pemasukan kas negara melalui cukai yang setiap tahun mencapai triliunan rupiah.
Selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016.
Proporsi penerimaan cukai terhadap total penerimaan negara sebesar 6,31 persen pada 2007. Porsi ini meningkat menjadi 7,10 persen pada 2012 dengan total penerimaan cukai sebesar Rp95,03 triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp144,64 triliun.
Pada 2016, realisasi penerimaan negara dari cukai sebesar Rp143,53 triliun, atau menurun sekitar 0,76 persen dibanding tahun sebelumnya, yang dipengaruhi oleh penurunan produksi industri rokok. Tahun lalu, produksi rokok sebanyak 342 miliar batang atau turun sekitar 1,67 persen dibanding produksi tahun 2015.
Rata-rata proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap cukai negara mencapai 95 persen. Pada 2007, penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp43,54 triliun atau setara 97,45 persen terhadap total penerimaan cukai. Pada 2016, penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp137,94 triliun. Nilai ini setara 96,11 persen dari total penerimaan cukai dan 8,87 persen dari penerimaan negara.
Meningkatnya proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap penerimaan negara menjadi tanda besarnya peran industri rokok bagi perekonomian. Tingginya kontribusi industri rokok bagi perekonomian tak lepas dari besarnya jumlah perokok di Indonesia. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi merokok di Indonesia sangat tinggi, khususnya pada laki-laki.
Pada 2013, prevalensi perokok laki-laki tercatat 66 persen atau lebih tinggi 9 kali bila dibandingkan perokok perempuan (sekitar 6,7 persen). Selain itu, kecenderungan merokok terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1995 ada 27 persen dari total 197 juta penduduk Indonesia yang merokok. Angka ini meningkat menjadi 36,3 persen dari total 252 juta populasi Indonesia pada 2013.
Ironisnya, berdasarkan rilis Kementerian Kesehatan, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau lebih tinggi ketimbang besaran kontribusi cukai tembakau terhadap penerimaan negara. Kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kemenkes menunjukkan tren meningkat.
Pada 2010, kerugian ekonomi ini sebesar Rp245,41 triliun atau 4 kali penerimaan negara dari cukai tembakau. Ia meningkat menjadi Rp378,75 triliun pada 2013 atau 3 kali dari penerimaan negara.
Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menunjukkan jumlah perokok dari kalangan keluarga miskin meningkat dari 30 persen menjadi 43 persen selama enam sampai tujuh tahun terakhir. Rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua kelompok hampir miskin dan miskin di Indonesia. Di daerah perkotaan, pengeluaran rokok mencapai 11,79 persen. Sementara di pedesaan, angkanya 11,53 persen.
Peningkatan konsumsi rokok juga dinilai berdampak terhadap beban penyakit akibat rokok dan angka kematian akibat rokok. Setidaknya 16 persen dari seluruh penyakit yang tidak dapat dikomunikasikan, atau noncommunicable diseases, merupakan sumbangan dari tembakau.
Salah satu laporan WHO menyatakan pada 2030 angka kematian perokok di dunia ditaksir mencapai 8 juta jiwa, dan sebagian besar di antaranya dari negara berpendapatan rendah hingga menengah.
Menurut riset-riset ini, pengeluaran merokok sama signifikan, atau bahkan melebihi, pengeluaran untuk makan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Kasus di Indonesia, mengingat industri rokok sudah terlampau besar, sulit bahkan pelik untuk membicarakan soal "penyelesaian masalah akibat merokok."
Pemerintah Indonesia mengambil langkah setiap tahun terus menaikkan tarif cukai tembakau, yang ujungnya bikin harga rokok naik. Namun, dengan skema ini, harga rokok yang naik sudah pasti berpengaruh pada pabrikan. Jika pabrikan bermasalah, otomatis petani dan buruh terkena dampak paling besar. Kenaikan cukai, di antara hal lain, telah mengurangi ratusan pabrik rokok, dan mendorong PHK ribuan buruh industri rokok.
Baca juga: Sejarah dan Perkembangan Tembakau di Indonesia