Kontroversi Vaksin dan Imunisasi di Indonesia
https://www.naviri.org/2018/01/kontroversi-vaksin.html
Naviri.Org - Kontroversi seputar vaksin sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, meski isu ini bisa dibilang timbul tenggelam. Kadang-kadang menguat, kadang pula surut sendiri. Biasanya, kontroversi terkait vaksin kembali menguat ketika pemerintah melakukan program vaksinasi untuk penanggulangan atau pencegahan penyakit tertentu. Ketika dalam program tersebut ada suatu “masalah”, kontroversi terkait vaksin pun kembali ramai dibicarakan.
Seperti yang terjadi pada program vaksinasi yang diselenggarakan pada Agustus 2017. Pada waktu itu, ada seorang siswi yang mendapat vaksinasi Measles (campak) dan Rubella (MR) di sekolahnya. Sepulang sekolah, siswi itu mengalami tubuh lemas, dari pinggang sampai kaki yang tak bisa diherakkan. Kabar itu pun lalu menyebar luas di media sosial. Akibatnya, banyak orangtua khawatir pemberian vaksin MR akan berdampak buruk kepada anaknya.
Kasus itu, dan kekhawatiran autisme pasca-vaksinasi MR, menjadi salah satu alasan orangtua tidak mengimunisasi anaknya. Mereka takut vaksin MR menyebabkan kelumpuhan dan kejang pada anak. Padahal, setelah diselidik, kejadian tersebut terjadi karena faktor di luar vaksin.
Kontroversi vaksin mesti disikapi secara serius oleh pemerintah. Data dari Kementerian Kesehatan RI soal vaksinasi MR per provinsi di Pulau Jawa hingga 3 Oktober menunjukkan ada target yang tak tercapai. Partisipasi imunisasi setiap provinsi ditarget mencapai angka 95 persen.
Namun, ada tiga daerah yang tak mampu mencapai target itu, yakni Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Tingkat partisipasi vaksin MR di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat masing-masing hanya 90,86 persen, 91,61 persen, dan 93,84 persen. Padahal, daerah lain seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY mencapai angka partisipasi yang melebihi target.
Komite Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) sebenarnya sudah melakukan investigasi terhadap kasus Niken. Lembaga ini menyatakan bahwa tak ada hubungan kausal antara suntikan MR dengan kondisi Niken. Kelumpuhan diduga disebabkan oleh riwayat penyakit yang diderita Niken, yakni kaki yang tak sama panjang dan strabismus (juling) pada mata.
Dr. dr Indra Irawan, SpAK, Ketua Komite Nasional KIPI, saat menggelar konferensi pers di Gedung Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa KIPI telah menerima delapan laporan kejadian pasca-vaksin. Tiga laporan berasal dari Banten, satu dari Jawa Tengah, dan masing-masing dua dari Jakarta serta Jawa Barat.
Dari delapan laporan tersebut, Kementerian Kesehatan belum menemukan adanya pengaruh negatif vaksin MR. Salah satu laporan kejang diduga karena anak tidak dalam kondisi sehat saat divaksin. Ia juga mengkonsumsi obat anti-epilepsi pasca-vaksin sehingga tubuhnya mengalami kontradiksi.
"Tidak akan ada kontraindikasi, ketika divaksin dalam keadaan sehat. Kontraindikasi terjadi karena riwayat anafilatik (alergi) shock,” ujar dokter Indra.
Baca juga: Orang-orang yang Dilarang Mendapatkan Vaksin