Donald Trump dan Kontroversi Perubahan Iklim

Donald Trump dan Kontroversi Perubahan Iklim

Naviri.Org - Dunia sedang menghadapi perubahan iklim, pemanasan global, atau apa pun sebutannya. Yang jelas, umat manusia saat ini sedang menatap perubahan alam, yang jika tidak segera diatasi akan menjadikan bumi sebagai tempat yang makin rusak. Karena itulah, upaya mengurangi polusi terus digalakkan, penanganan sampah terus dilakukan agar lebih baik, dan upaya-upaya menghadirkan produk yang ramah lingkungan juga terus diusahakan.

Terkait hal itu, sebagian orang mempercayai bahwa perubahan iklim memang benar-benar terjadi di dunia, sementara sebagian lain menganggapnya tidak ada. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, termasuk salah satu orang yang tidak percaya pada perubahan iklim.

Pada 1 Juni 2017, Donald Trump memutuskan untuk membawa Amerika Serikat keluar dari kesepakatan iklim Paris, sebuah kesepakatan iklim yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan global dan diikuti oleh 194 negara di dunia.

Keputusan Trump pun tak ayal membuat Amerika Serikat sejajar dengan Suriah dan Nikaragua, dua negara yang tidak menyepakati kesepakatan yang mulai diinisiasi pada 2014 lalu.

Trump mengklaim memiliki data yang valid soal ini. Menurutnya, kesepakatan itu hanya membatasi gerak industri Amerika Serikat dan sekaligus akan memangkas jutaan lapangan kerja.

Setidaknya Amerika Serikat akan kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga US$3 triliun dan 6,5 juta lapangan kerja dari kesepakatan itu. Sementara India dan Tiongkok akan diuntungkan oleh keadaan tersebut, menurut Trump.

Sayang, data yang dipakai Trump berasal dari dua lembaga yang begitu vokal menyuarakan penolakannya atas segala aturan perubahan iklim: American Council for Capital Formation dan U.S. Chamber of Commerce.

Trump kemudian berjanji akan merundingkan kesepakatan baru yang lebih adil dan tidak merugikan dunia usaha serta pekerja Amerika Serikat.

Keputusan Trump mengundang reaksi dari seluruh dunia. Reaksi yang tentunya menyesalkan keputusan negara adidaya itu.

Hal ini dikarenakan Amerika Serikat menyumbang sekitar 15 persen emisi karbon global. Amerika Serikat juga merupakan sumber keuangan dan teknologi yang penting bagi negara-negara berkembang, dalam upaya mengatasi peningkatan temperatur bumi.

Sejumlah pengamat pun memperkirakan mundurnya Amerika Serikat akan membuat dunia semakin sulit untuk mencapai tujuan yang ditentukan dalam kesepakatan iklim Paris.

Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama—yang membawa Amerika Serikat dalam kesepakatan iklim Paris—menyebut administrasi Trump telah menolak masa depan.

Obama bahkan mengancam bahwa negara-negara lain yang masih tergabung dalam kesepakatan itu akan mengambil keuntungan, khususnya dalam pekerjaan dan industri-industri baru yang tercipta.

Paris, Jerman, dan Italia mengeluarkan pernyataan bersama atas keputusan Trump dan keinginannya untuk melakukan perundingan ulang terkait persoalan yang sama.

"Kami menganggap kesepakatan di Paris (Desember 2015) tidak dapat diubah. Kami masih yakin kesepakatan bisa dirundingkan ulang, karena ini adalah instrumen penting bagi planet, masyarakat, dan ekonomi kita," sebut pernyataan itu, dalam lansiran The Independent.

Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, juga menyampaikan kekecewaannya pada negara tetangganya itu lewat akun Facebook-nya. "Kami kecewa dengan keputusan Pemerintah Amerika Serikat. Kanada tidak akan mengubah komitmen untuk melawan perubahan iklim dan mendukung pertumbuhan ekonomi dari energi bersih."

Di London, Perdana Menteri Inggris, Theresa May mengungkapkan hal yang sama, dan mengatakan kepada Trump bahwa kesepakatan Paris untuk melindungi "kemakmuran dan keamanan generasi mendatang".

Pemimpin Swedia, Finlandia, Denmark, Norwegia, serta Islandia juga mengutuk langkah AS mundur dari kesepakatan tersebut. Indonesia pun tak tinggal diam. Melalui Kementerian Luar Negeri, pemerintah menyebut keputusan Trump tidak sejalan dengan kerja sama internasional dalam upaya melakukan mitigasi dan adaptasi mengatasi dampak perubahan iklim.

Ketakutan versus kenyataan

Trump percaya bahwa keputusannya menarik diri dari keputusan iklim Paris adalah untuk menciptakan lapangan kerja. Tapi, pada kenyataannya, dengan keluar dari kesepakatan itu, industri solar dan angin yang tengah dikembangkan di Amerika Serikat jauh lebih terancam kelangsungannya ketimbang industri yang masih mengandalkan batu bara.

Financial Times menyebut sekitar 374.000 orang bekerja pada industri tenaga solar, dan sekitar 102.000 orang bekerja pada industri yang mengandalkan tenaga angin.

Jika ditotal, jumlah itu hampir melebihi tiga kali dari jumlah pekerja di industri batu bara yang mencapai 160.000 pekerja (86.000 pada industri pembangkit listrik batu bara dan 74.000 di pertambangan batu bara).

Bahkan, pekerja di industri batu bara sudah merosot sejak 2012 (sekitar 1.000 pekerja per tahun), mengikuti krisis pertambangan yang terjadi di seluruh dunia. Otomatis, keputusan Trump ini justru akan berimbas lebih banyak pada investasi dan pekerja.

Pertanyaan akan keyakinan Trump atas ancaman perubahan iklim pun menguat paska-penarikan diri ini. Pada 2012, Trump memang pernah berujar bahwa perubahan iklim hanyalah isu palsu yang dibuat Tiongkok untuk mematikan industri Amerika Serikat.

Namun, jika merunut beberapa tahun ke belakang, Trump sebenarnya pernah secara terbuka meminta Presiden Obama untuk bertindak serius terhadap ancaman perubahan iklim terhadap generasi mendatang.

Desakan itu terekam jelas dalam sebuah surat terbuka yang dimuat pada salah satu halaman penuh New York Post pada 2009, yang dibagikan oleh seorang senator senior Demokrat, Tom Carper, pada akun Twitter-nya.

Dalam surat tersebut, Trump bersama pelaku bisnis lainnya meminta Obama untuk membentuk badan legislasi perubahan iklim, berinvestasi pada proyek-proyek energi bersih, dan menjadi pemimpin dunia dalam mengatasi ancaman ini. Tiga anak-anak Trump juga turut dalam jajaran pebisnis yang menandatangani surat terbuka itu.

"Jika kita tidak bertindak sekarang, maka kehancuran dan kekacauan kehidupan manusia dan planet kita tak dapat diselamatkan lagi," sebut surat yang juga ditujukan untuk badan PBB untuk Perubahan Iklim itu.

Kenyataan ini pun membuat orang-orang di sekitar Gedung Putih menjadi gamang atas keyakinan Trump pada perubahan iklim.

Kepala Biro Pers Gedung Putih, Sean Spicer, bahkan tak bisa memastikan hal tersebut saat para wartawan membanjirinya dengan pertanyaan ini. "Sejujurnya, saya belum pernah menanyakan hal ini kepadanya," ujar Spicer dalam CNN Politics.

Walau bagaimana pun, keputusan telah diambil pemegang kekuasaan di Negeri Paman Sam itu. Yang harus diketahui adalah, Trump akan melalui prosedural panjang untuk benar-benar keluar dari kesepakatan ini. Setidaknya, Amerika Serikat benar-benar resmi akan keluar dari kesepakatan ini pada November 2020, atau waktu yang sama dengan pemilihan presiden Amerika Serikat selanjutnya.

Jika Trump terpilih kembali, mungkin Amerika Serikat memang akan keluar dari kesepakatan itu. Tapi jika tidak, maka kemungkinan lain tentunya terbuka lebar. Untuk sementara waktu, Tiongkok punya kesempatan besar untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Amerika Serikat ini.

Catatan penting lainnya adalah perubahan iklim sejatinya nyata, dan penyebab utamanya adalah akumulasi dari perilaku manusia dalam penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan.


Related

Insight 2138332933855044305

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item