Brutalnya Eksekusi Mati di Korea Utara
https://www.naviri.org/2018/01/eksekusi-mati-di-korea-utara.html?m=0
Naviri.Org - Siapa pun bisa dieksekusi di Korea Utara, jika membuat Kim Jong Un, sang pemimpin, marah. Dan Kim Jong Un bisa marah pada banyak hal. Karena pejabat yang dinilai korup, sampai pejabat yang tertidur ketika sedang rapat. Yang mengerikan, Korea Utara—tentu atas perintah Kim Jong Un—melakukan eksekusi mati dengan cara tidak lazim, bahkan brutal.
Pada Agustus 2016 lalu, misalnya, Harian Korea Selatan, Joong Ang Ilbo, memberitakan laporan soal murkanya Kim Jong Un kepada dua pejabat senior Korea Utara (Korut). Perkaranya adalah karena Ri Yong Jin, pejabat senior di Kementerian Pendidikan, tertidur saat sedang rapat dengannya, dan kemudian diselidiki terkait korupsi.
"Dia ditangkap di tempat dan diinterogasi secara intensif oleh kementerian keamanan negara,” tulis surat kabar tersebut, yang dinukil dari The Telegraph. "Dia dieksekusi setelah tuduhan lain, seperti korupsi, ditemukan saat pemeriksaan".
Satu pejabat lainnya yang dijatuhi hukuman mati adalah Hwang Min, seorang mantan menteri pertanian yang dinilai proposal kebijakannya telah menentang Kim Jong Un. Cara eksekusinya tergolong ekstrem untuk ukuran pelaksanaan hukuman mati, yaitu memakai rudal anti-pesawat di akademi militer Pyongyang. Pemakaian rudal anti-pesawat diketahui bukan kali ini saja, contohnya seperti bulan April 2015 saat citra satelit menangkap eksekusi dengan cara tersebut, yang juga terjadi di area pelatihan militer Pyongyang.
Klan Kim yang telah memerintah Korea Utara dengan tangan besi sejak 1945 juga pernah menggunakan pelontar api dan mortir untuk menghabisi lawan politiknya, meski sulit untuk mengkonfirmasi klaim brutal ini. Reputasi Korea Utara memang jarang mempublikasikan dan mau transparan soal eksekusi. Praktis informasi mengandalkan badan intelijen Korsel atau para pembelot Korut, dan perlu verifikasi lebih lanjut.
Salah satu yang diakui Korut adalah eksekusi terhadap paman Kim sendiri, Jang Song Thaek, pada tahun 2012 lalu. Jang disebut-sebut sebagai orang paling berkuasa di Korut setelah Kim. Membicarakan Korea Utara yang menutup diri dari pergaulan internasional, tidak banyak informasi yang diketahui publik tentang seluk-beluk yang sebenarnya terjadi di Korea Utara. Kerja-kerja aktivis HAM dan lembaga terkait sangat rentan dan mempertaruhkan nyawa.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada informasi sedikit pun dan penting yang bocor terkait bagaimana tangan besi Kim Jong Un memerintah dan mempertahankan kekuasaannya.
Laporan Transitional Justice Working Group, yang baru dirilis, mengumpulkan data dari para pembelot Korea Utara yang berjumlah 375 orang. Butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan kerja ini. Kelompok HAM dari Korea Selatan yang berbasis di Seoul ini memetakan secara digital lokasi eksekusi di wilayah Korea Utara. Dari kesaksian orang-orang Korut tersebut, ditemukan 290 lokasi dimana eksekusi paling sering di tangan para regu tembak.
Eksekusi di tempat umum atau publik diketahui yang paling sering dilakukan. Terjadi di dekat tepi sungai, di dekat jembatan, stadion olahraga, di pasar pinggiran kota, di lereng gunung, bahkan di halaman sekolah. Ini berguna untuk menciptakan ketakutan dan rasa patuh terhadap aturan pemerintah.
Dari laporan warga, tuduhan utama yang menjadi alasan dibunuhnya para warga Korut ini seperti pencurian, mengangkut dan menjual komponen tembaga dari mesin pabrik atau kabel listrik, mencuri hewan ternak terutama sapi yang merupakan milik nasional, atau mencuri hasil pertanian macam jagung dan beras.
Perdagangan manusia, termasuk menyelundupkan para pembelot dan menjual para perempuan untuk pernikahan di Cina, pelacuran terorganisir, pelaku serangan seksual, penyelundupan obat-obatan terlarang, tawuran antar geng hingga mendistribusikan media dari Korea Selatan, semuanya dapat dijatuhi hukuman mati.
Dari pengakuan warga, didapati juga umumnya pelaksanaan eksekusi sering dilakukan pada saat mengeluarkan peraturan baru, guna menciptakan suasana ketakutan dan tidak melakukan perilaku yang tidak dikehendaki oleh pemerintah. Metode yang paling umum dengan cara ditembak.
Namun kesaksian warga pernah melihat seseorang dipukuli polisi sampai mati di sebuah kantor polisi, dengan dalih beberapa kejahatan dianggap hanya membuang-buang peluru jika harus dieksekusi dengan ditembak. Peristiwa ini sering terjadi antara 2005 sampai 2010.
Padahal, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan dalam pasal 6 ayat 2, bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, sebuah hukuman mati hanya dapat dijatuhkan untuk kejahatan yang paling serius sesuai hukum yang berlaku.
Komite HAM PBB menjelaskan bahwa ungkapan kejahatan paling serius harus dibaca sebagai terbatas, yang berarti bahwa hukuman mati dijatuhkan untuk kasus yang luar biasa, seperti pembunuhan berencana, percobaan pembunuhan, atau sengaja menimbulkan luka serius.
Konstitusi Korea Utara yang diadopsi pada 1972 dan direvisi akhir 2012 tidak menjamin hak untuk hidup, juga tidak membatasi penggunaan hukuman mati. Februari 1987, pemerintah merevisi KUHP, mengurangi jumlah kejahatan yang dapat dihukum mati, dari 33 menjadi lima. Namun, menurut Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, empat diantaranya pada hakikatnya adalah pelanggaran politik yang dibuat sedemikian luas dan dapat subjektif dan sewenang-wenang.
Serangkaian revisi dan penambahan undang-undang berikutnya, juga turut memperluas lagi daftar kejahatan yang dapat dihukum mati di Korut. Di Provinsi North Hamgyong, tempat ratusan warga Korut diwawancarai, pernah melihat 10 sampai 15 orang pejabat dieksekusi dalam waktu bersamaan, yang dilakukan oleh Komando Keamanan Pertahanan.
Untuk kasus eksekusi yang dialamatkan kepada para pejabat, tuduhan yang disematkan umumnya soal penggelapan, spionase, dan pengadaan dana atau barang yang diselewengkan. Pejabat dari daerah lain didatangkan untuk melihat proses eksekusi, guna untuk memberi rasa takut untuk tidak melakukan hal serupa.
Baca juga: Ironi Korea Utara, di Antara Rudal dan Rakyat Kelaparan