Mengapa Ekonomi Suatu Negara Bisa Naik-Turun?
https://www.naviri.org/2018/01/ekonomi.html
Naviri.Org - Tingkat ekonomi suatu negara bisa naik atau bisa turun, dan itu bisa dibilang terjadi di negara mana pun. Salah satu hal yang ikut mempengarahu naik atau turunnya tingkat ekonomi suatu negara adalah neraca perdagangan di negara bersangkutan. Saat neraca perdagangan mengalami surplus, tingkat ekonomi negara biasanya naik. Sebaliknya, ketika neraca perdagangan mengalami defisit, ekonomi suatu negara juga biasanya turun.
Neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2017, misalnya, mengalami surplus terbesar sejak 2012. Pada bulan tersebut, surplus neraca perdagangan mencapai 1,72 miliar dolar AS. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengungkapkan, terakhir kali neraca perdagangan memperoleh surplus terbesar yakni pada November 2011 dengan nilai sebesar 1,8 miliar dolar AS.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengumumkan perbaikan kinerja ekspor Indonesia pada pertengahan 2017. Data ekspor Juli 2017 tercatat naik 16,8 persen dibanding bulan sebelumnya, menjadi 13,6 miliar dolar AS. Meskipun kinerja ekspor membaik, akan tetapi perdagangan Indonesia pada Juli 2017 masih mengalami defisit senilai 0,3 miliar dolar AS.
Sejak 2005 hingga 2011, kinerja ekspor Indonesia sebenarnya memang menunjukkan tren yang meningkat. Puncaknya terjadi pada 2011, saat nilai ekspor Indonesia mencapai 203,5 miliar dolar AS. Sejak itu, nilai ekspor Indonesia mengalami tren penurunan.
Begitu pula dengan nilai impor yang sempat mengalami tren kenaikan hingga mencapai puncaknya pada 2012 di angka 191,69 miliar dolar. Setelah itu, nilai impor Indonesia berada dalam tren yang menurun.
Dari data ekspor impor tersebut, yang patut dicermati adalah posisi neraca perdagangan. Neraca perdagangan merupakan nilai ekspor dikurangi nilai impor. Hasilnya, dapat menunjukkan kontribusi langsung dari aktivitas perdagangan bagi pendapatan nasional.
Sejak 2005 hingga 2016, neraca perdagangan Indonesia pernah menunjukkan nilai negatif atau yang biasa disebut dengan defisit perdagangan. Kejadian ini terjadi selama tiga tahun berturut-turut, yaitu 2012 hingga 2014. Pada 2012, defisit neraca perdagangan mencapai 1,66 miliar dolar AS. Defisit perdagangan ini meningkat menjadi 2,2 miliar dolar AS pada 2014. Indonesia baru mencatat surplus perdagangan lagi pada 2015.
Defisit neraca perdagangan ini disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor beberapa komoditas utama. Pada 2012, misalnya, ekspor komoditas minyak dan gas hanya mampu mencapai angka 36,97 miliar dolar AS, menurun sebesar 4,5 miliar dolar AS dari tahun sebelumnya. Selain itu, melonjaknya nilai impor, khususnya untuk barang konsumsi dan bahan baku serta barang modal, juga memberikan tekanan pada neraca perdagangan.
Sejak 2005 hingga 2011, neraca perdagangan berkontribusi positif pada PDB Indonesia. Pada 2005, kontribusinya sebesar 9,91 persen, dan menurun menjadi 9,45 persen pada 2007. Kontribusi perdagangan semakin melemah pada 2008, menjadi 1,73 persen, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6 persen, menurun dari 2007 yang tercatat sebesar 6,3 persen.
Dampak defisit neraca perdagangan pada pertumbuhan ekonomi juga semakin terasa pada 2012 hingga 2014. Pada 2012, neraca perdagangan berkontribusi negatif sebesar -0,19 persen terhadap PDB, dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pun turun menjadi 6,03 persen dari 6,17 persen di 2011. Dua tahun setelahnya, di mana defisit neraca perdagangan masih terjadi, pertumbuhan ekonomi pun masih menunjukkan perlambatan.
Pada 2013, neraca perdagangan berkontribusi negatif 0,52 persen terhadap PDB, dan memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang menurun menjadi 5,58 persen. Begitu pula di 2014, neraca perdagangan berkontribusi -0,26 persen dan pertumbuhan ekonomi masih tetap melemah menjadi 5,02 persen.
Bila dilihat berdasarkan jenis komoditas, perdagangan Indonesia bergantung pada barang non migas. Sejak 1987, ekspor migas Indonesia lebih rendah dibandingkan non-migas. Pada tahun tersebut, tercatat nilai ekspor migas sebesar 8,56 miliar dolar AS, dan non migas sebesar 8,58 miliar dolar AS. Hingga pada 2016, ekspor non migas tercatat bernilai 131,38 miliar dolar AS dan migas hanya sebesar 13,11 miliar dolar AS.
Demikian pula dengan impor, sejak 1977 nilai impor non migas lebih besar dibandingkan migas. Pada 1977, impor non migas tercatat berjumlah 3,55 miliar dolar AS, sedangkan migas bernilai 0,73 miliar dolar AS. Hingga, pada 2016 nilai impor migas hanya 18,74 miliar dolar AS dan non migas berjumlah 116,91 miliar dolar AS.
Aktivitas perdagangan luar negeri sebuah negara, pada hakikatnya, merupakan indikator untuk mengetahui perannya dalam dunia internasional. Data Indonesia memperlihatkan keaktifannya pada perdagangan dunia, baik sebagai pemasok maupun pasar bagi negara lainnya. Selain itu, peningkatan nilai perdagangan ini juga menjadi indikasi tumbuhnya perekonomian Indonesia.
Setiap negara akan berlomba untuk meningkatkan nilai neraca perdagangan. Pergerakan neraca perdagangan inilah yang akan memberikan pengaruh pada nilai tukar yang selanjutnya akan berpengaruh pada kinerja industri, dan ujungnya tentu akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena, selain konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah, neraca perdagangan merupakan komponen yang mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari sisi pengeluaran.
Maka, jika neraca perdagangan sampai menunjukkan posisi defisit, harusnya pemerintah tak diam diri dan membiarkannya berlarut-larut. Karena, jika ini terjadi, dipastikan, pertumbuhan ekonomi akan melambat, seperti yang terjadi pada periode 2012-2014.
Baca juga: WEF, Pertemuan Orang-orang Paling Penting di Dunia