Penyebab Bitcoin Sulit Jadi Alat Pembayaran
https://www.naviri.org/2018/01/bitcoin-sulit-jadi-alat-pembayaran.html
Naviri.Org - Di masa lalu, saat uang kertas atau uang logam belum lahir ke dunia sebagaimana yang kita kenal sekarang, orang-orang menjadikan emas sebagai alat tukar. Karenanya, pada masa itu, emas bisa dibilang sebagai alat pembayaran untuk mendapatkan barang-barang tertentu yang dibutuhkan. Sistem itu menggantikan sistem barter yang semula digunakan.
Penggunaan emas sebagai alat tukar yang disepakati, karena emas dinilai memiliki harga yang stabil. Karenanya, orang tidak khawatir menerima dan menyimpan emas, karena menyadari nilainya yang tidak akan mudah turun, bahkan memiliki kecenderungan untuk naik.
Terkait hal itu, Bitcoin juga sempat disebut-sebut mirip emas di masa lalu. Semula, Bitcoin ditujukan sebagai alat pembayaran dalam transaksi di internet. Namun, kemudian, nilai Bitcoin terus meningkat naik, sehingga orang-orang pun menjadikan Bitcoin sebagai investasi, alih-alih sekadar alat pembayaran. Menyimpan Bitcoin sebagai investasi lebih menguntungkan, daripada menjadikannya sebagai alat pembayaran.
Sudut pandang lain datang dari beberapa pihak tertentu, yang melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran. Kali ini, latar belakangnya bukan karena nilai Bitcoin yang tinggi, melainkan karena Bitcoin dinilai memiliki nilai yang tidak stabil, atau karena alasan tertentu lainnya.
Bank Indonesia secara resmi menolak Bitcoin sebagai alat pembayaran. Alasannya, mata uang ini dianggap tidak patuh terhadap prinsip anti pencucian uang. Dalam kasus ini, Indonesia tidak sendiri. Bank Sentral Vietnam juga memutuskan untuk melarang Bitcoin sebagai alat pembayaran. Tak tanggung-tanggung, denda sebesar 9000 dolar AS akan dikenakan kepada mereka yang melanggar.
Di Rusia, Presiden Valimir Putin menginginkan adanya regulasi terhadap mata uang digital karena risiko penghindaran pajak, pencucian uang, dan pembiayaan terorisme. Sementara itu, akhir September 2017, perdagangan virtual Bitcoin dihentikan oleh Pemerintah Cina karena ketakutan akan dampak negatifnya kepada industri finansial.
Anehnya, gejolak regulasi yang terjadi di beberapa negara tersebut tidak memberikan pengaruh buruk yang laten terhadap valuasi harga Bitcoin. Harga Bitcoin justru naik hingga memecahkan rekor. Pada Jumat, 7 November 2017, harga Bitcoin menembus 7.454 dolar AS. Menurut analisis The Economist, berita mengenai penawaran kontrak berjangka Bitcoin (Bitcoin Futures) oleh Chicago Mercantile Exchange (CME) menjadi salah satu penyebab utama naiknya harga Bitcoin.
Di satu sisi, fenomena harga Bitcoin yang meroket ini menjadikannya sebagai komoditas investasi yang menggiurkan. Akan tetapi, di sisi yang lain, kenaikan ini membuat Bitcoin menjadi mata uang yang terlalu berharga.
Analisis oleh ekonom CME Group, Blu Putnam dan Erik Norland, menunjukkan nilai Bitcoin yang tinggi ini membuatnya sulit untuk diadopsi sebagai alat pembayaran mainstream, sama seperti emas. Menurut mereka, di era sekarang emas sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah, digunakan lagi sebagai alat pembayaran untuk membeli baju, rumah, ataupun mobil. Kenapa? Karena nilai emas yang digunakan sebagai alat pembayaran memiliki kemungkinan untuk naik nilainya melebihi barang yang akan dibeli.
Konsisten dengan kasus Bitcoin, nilainya yang sekarang terus naik membuatnya lebih berharga sebagai komoditas investasi. Orang membeli Bitcoin bukan untuk menggunakannya sebagai alat pembayaran ketika belanja online, melainkan untuk menunggu atau mencari pembeli Bitcoin lain yang ingin membeli Bitcoin mereka dengan harga yang lebih mahal.
Putnam dan Norland juga menjelaskan, uang fiat yang diproduksi oleh bank sentral seperti dolar atau rupiah, akan cenderung turun nilainya seiring dengan waktu jika dibandingkan dengan emas maupun harga barang-barang. Dalam kasus Bitcoin, karena tidak terancam oleh ketakutan akan inflasi, pemilik Bitcoin akan lebih tergoda untuk menimbun Bitcoin dibandingkan menggunakannya sebagai alat bayar.
Dari sisi para pedagang, adaptasi Bitcoin sebagai alat pembayaran juga mengalami kendala. Menurut laporan Morgan Stanley yang diwartakan oleh Bloomberg, dari 500 situs retail online teratas, hanya tiga toko retail yang menerima Bitcoin sebagai alat pembayaran. Pada tahun 2016 jumlahnya pun hanya lima toko retail saja.
Menurut analisis Bloomberg, rendahnya tingkat adaptasi ini terjadi karena proses transaksi yang semakin memakan waktu seiring dengan meningkatnya aktivitas penjualan dan pembelian Bitcoin sebagai “emas digital”. Tak hanya itu, konsumen juga harus membayar biaya transaksi menggunakan Bitcoin yang bertambah. Biaya transaksi ini mencapai hampir tiga dolar AS pada Juni 2017. Akibatnya, Bitcoin sulit untuk mengalahkan uang fiat, kartu debit, maupun kartu kredit, sebagai alat pembayaran yang digunakan secara masif.
Selain itu, walaupun saat ini harganya sedang meroket, Bitcoin tetap dipersepsikan sebagai mata uang digital yang tidak stabil untuk digunakan sebagai alat pembayaran.
Sebagai contoh, ketika Pemerintah Cina memutuskan untuk memberhentikan perdagangan Bitcoin, harga Bitcoin turun hingga 3000 dolar AS. Naik-turun harga Bitcoin yang cenderung drastis ini menciptakan ketakutan sendiri bagi para pedagang untuk mengadopsinya sebagai alat pembayaran.
Namun, pengakuan dan adopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran bukan hal yang mustahil. Mulai 1 April 2017 lalu, Pemerintah Jepang telah mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Pada bulan yang sama, Nikkei Asian Review mencatat telah ada 4.500 toko di Jepang yang menerima Bitcoin sebagai metode pembayaran. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah. Tak hanya itu, Pemerintah Jepang juga telah membebaskan pajak konsumsi untuk pembelian mata uang digital. Apakah langkah ini akan ditiru oleh negara lain?
Baca juga: Mengapa Harga atau Nilai Bitcoin Naik Turun?