Era Internet dan Bisnis Musik di Zaman Digital
https://www.naviri.org/2018/01/bisnis-musik-di-zaman-digital.html
Naviri.Org - Anak-anak muda yang hidup pada era ’90an biasa datang ke toko kaset, saat ingin memiliki album baru penyanyi favorit. Dengan membeli kasetnya, anak-anak muda di masa lalu bisa menyetel kaset di tape recorder, sembari membuka dan membaca sampul kaset yang isinya lirik lagu, pengantar serta ucapan terima kasih dari musisi bersangkutan. Di masa itu, bahkan ada banyak orang yang memiliki ratusan kaset, karena sering membelinya.
Ketika era CD datang, fenomena serupa juga terjadi. Orang-orang mulai beralih dari kaset ke CD, dan menjadi kolektor CD.
Kemudian internet muncul. Era musik digital datang. Yang fisik perlahan dianggap tua. Boros tempat, tak efektif, merepotkan, anggapan seperti itu mulai datang dan ditawarkan para pecinta musik digital. Musik digital dianggap punya andil terhadap kiamatnya industri musik dengan medium kaset dan CD.
Tapi apakah internet dan musik digital adalah melulu tentang malapetaka? Ternyata tidak juga. Mereka menawarkan kemudahan dan kepraktisan. Tentu juga koleksi lagunya. Setelah era pembelian musik digital, muncullah streaming. Layanan ini menawarkan perwujudan dari kalimat terkenal: mencintai tak harus memiliki. Kamu tetap bisa mendengarkan lagu yang kamu sukai tanpa harus menyimpannya. Lebih efektif dan efisien, dan hemat ruang penyimpanan digital.
Selain itu, layanan streaming bisa dinikmati gratis, walau fitur yang bisa dinikmati tak sebanyak pengguna berbayar.
Seiring semakin populernya ponsel pintar, layanan streaming juga mewujud sebagai aplikasi. Ada banyak sekali aplikasi streaming yang bisa dipilih. Sesuai preferensi masing-masing.
Saat ini penyedia jasa streaming yang paling populer adalah Spotify. Penggunanya mencapai 100 juta orang. Sekitar 30 juta di antaranya adalah pengguna berbayar. Koleksi lagunya juga mengagumkan. Mencapai 30 juta lagu. Setiap hari, perusahaan asal Swedia ini menambah 20.000 lagu baru.
Spotify berusaha memberikan keunggulan berupa mixtape personal yang diberi tajuk Discover Weekly. Ini adalah senarai lagu yang dibuat khusus oleh tim Spotify berdasar selera masing-masing pengguna. Jika seseorang sering mendengarkan genre hair metal, atau musisi seperti Guns N Roses atau Motley Crue, maka yang akan muncul di Discover Weekly tak akan jauh dari genre dan band sejenis. Semisal L.A Guns, Andy Timmons, Bad Company, Aldo Nova, Tuff, hingga Joe Lynn Turner. Daftar lagu ini akan berubah setiap minggu, sesuai namanya.
Analisis data dan personalisasi selera memang diposisikan sebagai senjata utama andalan Spotify. Untuk memperkuat senjatanya ini, mereka sudah mengakuisisi dua perusahaan analis data, The Echo Nest dan Seed Scientific.
"Dengan itu, Spotify memahami kamu," kata Sunita Kaur, Managing Director Spotify Asia.
Namun, Spotify juga tak bisa terus berada di atas angin. Sama seperti arus sungai, ada banyak ikan di sana. Dalam kasus ini, masih ada Google Play Music, Apple Music, Guvera, hingga Joox.
Google Play Music adalah calon pesaing terkuat. Sebagai Goliath internet terbesar dunia, mereka punya semua yang dibutuhkan untuk membuat sebuah inovasi berkembang. Belum tentu berhasil, jika berkaca pada pengalaman Google.
Google mengatakan mereka punya koleksi 35 juta koleksi lagu, bisa untuk dibeli maupun untuk streaming. Namun sekarang layanan ini baru tersedia di 63 negara, tidak termasuk Indonesia. Nantinya, Google Play Music ini akan diperlakukan seperti loker. Pengguna bisa menyimpan lagu, atau mengunggah lagu hingga 50.000 lagu.
"Tambahan fitur unggah lagu itu mengisi celah di industri streaming," tulis Kyle Anderson di situs Entertainment Weekly, seraya memberi rating B untuk aplikasi ini.
Apple Music juga digadang-gadang akan jadi raksasa streaming. Berbeda dengan Spotify yang sudah berusia satu windu, Apple Music baru seumur jagung. Bermula dari Beats Music, Apple mengakuisisinya pada 2014. Ini adalah akusisi terbesar Apple, membuat perusahaan asal California itu harus merogoh kocek 3 miliar dolar. Pada Juni 2016, Apple Music akhirnya resmi diluncurkan di 100 negara. Meski mengusung nama Apple, aplikasi ini juga bisa digunakan bagi pengguna Android.
Koleksi lagu Apple Music juga mencapai 30 juta. Walau untuk jumlah pengguna, Spotify masih lebih unggul ketimbang juniornya ini. Hingga Juni 2016, penggunanya mencapai 15 juta orang. Tapi mengingat ada sekitar 1 miliar pengguna iOS, diperkirakan jumlah ini masih akan terus naik.
Ketika pertama diluncurkan, aplikasi ini mendapat sambutan yang baur. Ada yang memuji. Ada yang mengkritik. Komentar pedas diarahkan kepada tampilan yang tidak bersahabat, banyak gangguan, hingga boros baterai. Pujian diarahkan kepada kurasi yang, menurut Apple Music, dilakukan oleh manusia, bukan mesin. Jika Spotify punya Discover Weekly, Apple Music punya For Me.
Aplikasi streaming lain yang sekarang cukup populer adalah Guvera, perusahaan streaming asal Australia yang sekarang punya sekitar 17 juta pengguna dan koleksi sekitar 26 juta lagu. Ada pula Deezer, perusahaan Prancis yang punya sekitar 3 juta pengguna dengan 1,5 juta pelanggan berbayar.