Sejarah dan Asal Usul Cokelat SilverQueen
https://www.naviri.org/2018/01/asal-usul-silverqueen.html?m=0
Naviri.Org - SilverQueen telah dikenal sebagai merek cokelat yang sangat populer di Indonesia. Nyaris di mana pun terdapat cokelat batangan produk SilverQueen, dari toko-toko di pinggir jalan sampai supermarket dan swalayan. Produk cokelat SilverQueen juga memiliki beragam bentuk serta aneka rasa, dan tentu saja dengan harga yang beragam.
Sebagian orang mungkin mengira cokelat SilverQueen berasal dari luar negeri, karena namanya yang terdengar Inggris. Namun, Silver Queen adalah asli produk Indonesia. Pabrik cokelat yang memproduksi SilverQueen bahkan berasal dari Garut. Selain memproduksi cokelat dengan merek Silver Queen, mereka juga menghasilkan produk cokelat lain dengan merek Jago, Ritz, Delfi, Chunky, wafer Briko, Top, biskuit Selamat, dan meises Ceres.
Buku 50 Great Bussines Ideas form Indonesia (2010) yang disusun M Ma'ruf, menyebut pabrik cokelat rumahan yang berada di kota Garut itu berada di bawah bendera NV Ceres. Pemiliknya orang Belanda. Menjelang datangnya serdadu-serdadu Jepang pada 1942, orang Belanda yang hendak kabur meninggalkan Garut ingin menguangkan asetnya dengan harga murah. Salah satu aset tersebut adalah NV Ceres.
Orang beruntung yang membeli pabrik cokelat ini adalah Ming Chee Chuang, seorang laki-laki asal Burma. Menurut artikel berjudul "Chocolate Craving" yang ditulis Forbes (26/08/2006), Ming Chee Chuang lari dari Burma dan menetap di Bandung di zaman kolonial.
Setelah masa-masa suram bagi dunia bisnis era revolusi (1945-1949), Chuang bisa berbisnis cokelat dengan tenang. Pada 1950, Chuang tak lupa mengganti nama NV Ceres menjadi PT Perusahaan Industri Ceres.
Di tahun-tahun pertama bisnis cokelatnya, menurut catatan Ahmad Fuad Afdhal dalam Mitos-mitos Bisnis: Antara Fakta dan Teori (2004:127), Ceres memakai merek Ritz untuk biskuit wafer dan cokelat yang mereka produksi pada 1951. Namun, Nabisco Foods lalu mengklaim merek itu. Biskuit wafer RITZ sendiri sudah dirintis sejak 1949 oleh pengusaha Belanda. Pada akhirnya, merek Ritz menjadi milik Ceres.
Pada tahun 1950an, menurut laman Petrafoods, produk SilverQueen dan Ceres sudah menjadi brand. SilverQueen, belakangan terkenal sebagai cokelat yang cukup diminati anak muda. Di masa lalu, iklannya menyebut: “Hidup bukan untuk makan segala macam cokelat. Juga bukan makan cokelat untuk hidup. Akan tetapi hidup sekali untuk menikmati rasa cokelat SilverQueen.”
SilverQueen, yang merupakan campuran cokelat dengan mede itu, lahir karena membuat cokelat batangan di tahun 1950an adalah mustahil di negara tropis. Belum ada teknologi yang mendukung. “Chuang tidak kekurangan akal. Dia mencampur adonan cokelat dengan kacang mede, yang membuat cokelat batangan seperti beton bertulang kuat, dan akhinya membuat SilverQueen unik,” tulis Ma'ruf.
Pada tahun 1950-an, pemerintah mengeluarkan Program Benteng. Program itu dikeluarkan karena banyak perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak berstatus perusahaan asing. Saat itu, keterlibatan juga geliat orang Indonesia non-Tionghoa atau non-Arab masih terhitung kecil. Para pedagang dari kalangan pribumi diberi fasilitas khusus.
Chuang, yang dari namanya saja sudah jelas tak tergolong pribumi, tak mendapat fasilitas enak Program Benteng itu. Namun, bukan berarti bisnisnya tak maju. Tahun 1950an bukan dekade suram bisnisnya, sebagai pebisnis cokelat yang dianggap berasal dari Burma—yang kini dikenal sebagai Myanmar. Cokelatnya cukup dikenal. Tak hanya di Garut, tapi di pertengahan 1950an sampai juga ke Bandung.
“Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dia (Chuang) mendapat order cokelat cukup banyak untuk dihidangkan dalam acara akbar itu, dan kemudian memindahkan pabriknya dari Garut ke Bandung,” tulis M. Ma'ruf. Chuang dianggap ahli dalam membuat cokelat enak.
“Konon, saking lezatnya, Presiden Sukarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Cokelat racikan itu sebenarnya sederhana, berbahan kakao, gula susu, yang diaduk-aduk. Tak ada yang istimewa dari cara Chuang membuat cokelat yang lezat. Hanya saja memainkan temperatur pada alat-alat pemanas cokelat,” lanjut Ma'ruf.
Ming Chee Chuang mewariskan Ceres kepada anak-anaknya. Harmanto Edy Djatmiko, dalam Raja yang Pemalu di majalah Swa (09/10/2008), menyebut anak laki-laki tertuanya, John Chuang, belakangan menjadi CEO yang mengendalikan perusahaan, termasuk mengontrol keuangannya, dari kantor pusatnya di Singapura. Joseph Chuang mengurusi komunikasi dengan peritel, sementara William Chuang, lebih banyak mengurusi food service dan urusan pabrik.
Sejak 1984, menurut laman Petrafoods, anak-anak Chuang mendirikan Petra Food, dan kantor pusatnya berada di Singapura. PT Ceres termasuk salah satu anak perusahaan Petra Food. Tahun 1987, Keluarga Chuang mulai terlibat distribusi merek ketiga di Indonesia. Tahun berikutnya, 1988, mulai berbisnis cokelat di Filipina—termasuk dalam pengadaan dan pengolahan cokelat. Tahun 1989, pengadaan bahan baku dilakukan di Thailand.
Kerja sama dengan industrialis Jepang maupun negara lain tentu saja dilakoni dalam pengembangan produk. Iklan-iklan produk dari keluarga Chuang ini kerap berseliweran di televisi-televisi Indonesia, hingga beberapa tahun terakhir ini.
Meski menurut buku Ekonomi Indonesia, Masalah dan Prospek 1988/1989 (1988:189) “mengkonsumsi cokelat di Indonesia masih sangat rendah dan belum merupakan barang konsumsi pokok dalam kehidupan sehari-hari,” tetapi Ceres terus bertahan dan kini menjadi produsen cokelat nomor tiga dunia.
Baca juga: Asal Usul Martabak Manis atau Terang Bulan