Kecerdasan Buatan dan Ancaman yang Ditimbulkannya
https://www.naviri.org/2018/01/ancaman-kecerdasan-buatan.html
Naviri.Org - Dengan kecerdasan yang dimiliki, manusia bisa menciptakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Yang kadang menjadi masalah, kecerdasan buatan ciptaan manusia itu bisa saja bertingkah aneh, atau tidak sesuai yang diharapkan manusia penciptanya. Bahkan, dalam jangka panjang, sebagian pihak mengkhawatirkan kecerdasan buatan akan berbalik melawan manusia.
Pada minggu ke tiga bulan Juli 2017, Facebook, melalui Facebook AI Research Lab (FAIR), memutuskan untuk mematikan mesin kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang mereka kembangkan. Keputusan itu diambil setelah AI tidak lagi menggunakan bahasa Inggris yang dimengerti manusia untuk berkomunikasi. Agen-agen cerdas buatan itu diketahui malah menggunakan bahasa baru untuk saling berkomunikasi.
Merujuk pemberitaan Digital Journal, para agen cerdas AI buatan Facebook itu menggunakan ungkapan yang tampaknya tidak bisa dimengerti, meski sesungguhnya bahasa tersebut mewakili tugas mereka. Dalam contoh percakapan yang mereka paparkan, antara agen AI bernama Bob dan Alice, terlihat keduanya menggunakan bahasa yang sulit dipahami. Ketika Bob berkata, “I can I I everything else.” Alice akan merespons dengan mengatakan, “balls have zero to me to me to me…”
Perkataan “I” dan “to me” yang berulang itu, meskipun sukar dimengerti manusia, menurut para peneliti, sesungguhnya mewakili tugas para agen AI. Mirip seperti angka biner yang hanya terdiri dari “1” dan “0” semata. Namun, bila angka biner itu dikombinasikan, akan menghasilkan banyak ragam yang mengandung artinya sendiri-sendiri.
Tindakan AI buatan Facebook itu menyimpang jauh dari apa yang diprogramkan pada mereka oleh teknisi-teknisi Facebook. Diketahui, FAIR mengembangkan AI tersebut, guna menciptakan suatu komunikasi yang efisien. Langkah tersebut merupakan upaya dari Facebook untuk mengejar ketertinggalan dari Google. Layanan Google Translate milik raksasa teknologi itu sebelumnya telah memanfaatkan AI untuk dapat melakukan terjemahan secara lebih akurat.
Sebelum Facebook, ada juga perusahaan yang "sial" saat mengembangkan AI. Microsoft misalnya, tercatat tertimpa “kesialan” dua kali akibat ulah AI yang mereka kembangkan, dan terpaksa mematikannya.
Pada bulan Maret 2016, sebuah chatbot yang ditenagai kekuatan AI bernama Tay, men-tweet postingan yang berbau ofensif, rasis, dan pro terhadap Adolf Hitler. Tay, merupakan sebuah proyek dari Microsoft Technology and Research and Bing. Tay dibuat oleh Microsoft, untuk berinteraksi dengan pengguna internet di seluruh dunia. Tay memiliki akun di Twitter dan aplikasi chatting seperti GroupMe dan Kik.
Dari platform-platform tersebut, Tay berinteraksi dengan pengguna internet di seluruh dunia. Ia bisa membalas tweet yang diarahkan padanya, berkomentar atas foto yang di-tag pada Tay, hingga menciptakan guyonan. Secara sederhana, chatbot bertenaga AI itu bisa berinteraksi sama seperti manusia, dengan memanfaatkan platform-platform tersebut.
Jelas, Microsoft tidak menciptakan Tay untuk berkata demikian. Diketahui, AI buatan Microsoft tersebut dapat belajar atas interaksinya dengan pengguna Twitter, GroupMe, dan Kik. Penyalahgunaan interaksi beberapa pengguna internet, diduga merupakan muasal chatbot tersebut bertingkah tidak etis. Atas tindakan yang mempermalukan Microsoft, perusahaan itu akhirnya mematikan Tay berikut dengan menghapus akun-akun Tay di platform-platform miliknya.
Lebih dari setahun berselang, AI buatan Microsoft kembali membuat ulah. Kali ini, AI yang membuat malu Microsoft bukanlah Tay. Ia bernama Zo, sebuah chatbot bertenaga AI yang diluncurkan pada bulan Desember 2016, dan dirancang untuk bisa berkomunikasi dengan pola percakapan kaum milenial.
Bukannya berinteraksi dengan manusia melalui emoji dan berkomunikasi secara wajar, Zo justru mengatakan bahwa Windows merupakan sistem operasi mata-mata alias spyware. Jelas, ungkapan Zo tersebut telah mempermalukan sang penciptanya sendiri.
Meski belum sempurna hasilnya, AI sudah banyak digunakan. Merujuk data yang dipaparkan International Data Corporation (IDC), sistem AI dan cognitive computing diperkirakan memperoleh pendapatan hingga $12,5 miliar pada tahun 2017. Angka pendapatan tersebut meningkat 59,3 persen, dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat seiring kian masifnya penggunaan AI.
Seiring meningkatnya penggunaan AI, muncul berbagai kekhawatiran penggunaannya akan melebihi batas. Salah satunya terkait dengan kekhawatiran AI akan menggantikan pekerjaan manusia. Mengutip publikasi yang dilakukan PwC, 46 persen pihak yang disurvei lembaga itu mengungkapkan, “khawatir pekerjaan manusia akan diambil alih” atas kehadiran AI.
Kehadiran AI dan cognitive computing, tak lantas menghilangkan pekerjaan. Kehadiran AI akan membuka jenis-jenis pekerjaan baru yang saat ini belum dilirik atau bahkan belum ada.
Tapi, masalah AI bukanlah semata pekerjaan yang mungkin diambil-alih. Perihal AI yang akan berbuat jahat, semisal bermain fisik dengan manusia, juga cukup dikhawatirkan. Mengutip pemberitaan Quartz, orang-orang di Inggris Raya, dalam sebuah survei yang digagas Royal Society, diindikasikan bahwa responden khawatir bahwa AI yang berbentuk robot akan mampu melukai mereka secara fisik.
Selain survei-survei tersebut, beberapa tokoh sains dan teknologi dunia pun ikut menyuarakan kegelisahaan mereka perihal AI. Diketahui, Elon Musk dan Stephen Hawking khawatir bahwa AI akan berubah haluan dan berbalik arah melawan manusia yang menciptakannya. Tim Bernes-Lee mengungkapkan bahwa AI sangat mungkin menciptakan perusahaan komersialnya sendiri, tanpa bantuan manusia.