Mengenal Alexei Navalny, Tokoh Oposisi Rusia
https://www.naviri.org/2018/01/alexei-navalny.html
Naviri.Org - Di setiap pemerintahan—apalagi pemerintahan yang menjalankan politik tangan besi—selalu muncul tokoh-tokoh oposisi. Kenyataan semacam itu juga terjadi di Rusia. Seperti kita tahu, Rusia berada di bawah kekuasaan Vladimir Putin, yang telah menjalankan pemerintahan negara itu selama puluhan tahun. Dalam hal itu, Putin tidak hanya melanggengkan kekuasaannya dengan tidak mau turun dari jabatan presiden, namun juga menjalankan pemerintahan dengan tangan besi.
Ada banyak lawan politik di Rusia yang “dihabisi” Putin, karena dinilai tidak sejalan dengannya. Meski begitu, selalu ada tokoh-tokoh oposisi baru yang muncul dan menarik perhatian banyak orang. Alexei Navalny adalah salah satunya. Bahkan, belakangan, Alexei Navalny ikut mencalonkan diri untuk menjadi presiden Rusia pada pemilu 2018, namun disingkirkan oleh Putin.
Alexei Navalny merupakan aktivis anti-korupsi yang lahir pada 4 Juni 1976 di Butyn, wilayah Moskow. Ia lulus sekolah hukum pada 1998 dari Universitas Persahabatan Rakyat Moskow. Sepak terjangnya di publik dimulai pada 2008 ketika ia menulis lewat blog pribadinya tentang dugaan korupsi di beberapa perusahaan besar yang dikelola pemerintah.
Informasi-informasi tentang korupsi ia himpun lewat partisipasinya sebagai pemegang saham minoritas di perusahaan bersangkutan. Navalny juga menyerang partai yang sedang berkuasa saat itu, Rusia Bersatu, yang dianggap turut ikut serta dalam budaya korup pemerintahan.
Aksi-aksi Navalny menarik perhatian masyarakat Rusia, terutama pengguna media sosial yang didominasi kelompok usia muda. Penggunaan blog maupun media sosial dinilai paralel dengan gaya politiknya yang frontal dan tajam mengkritik pemerintahan Rusia di bawah komando Putin. Relasi antara Navalny dan pendukungnya semakin erat terjalin hingga memuncak pada demonstrasi besar-besaran di seantero Rusia menentang kecurangan dalam pemilu antara 2011-2012.
Navalny dianggap jadi salah satu pihak yang bertanggung jawab atas gelora massa-rakyat. Pemerintah yang menyadari betapa kritisnya Navalny, mulai melakukan pengawasan dan represi. Pada 2013, Navalny dihukum lima tahun penjara karena tuduhan penggelapan serta manipulasi anggaran daerah Kirov sebesar $270.000.
Bagi Navalny, hukuman tersebut bermotif politis. Ia lantas meminta bantuan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa guna melakukan penyelidikan. Setelah diproses, Pengadilan HAM Eropa menyatakan Navalny tidak mendapatkan pemeriksaan yang adil dalam persidangan pertama. Walhasil, Mahkamah Agung Rusia pun memerintahkan pemeriksaan ulang.
Reputasi militan Navalny membuatnya tak sekadar figur oposisi biasa. Dilansir dari BBC, pada 2012 ia maju dalam pemilihan pimpinan oposisi dan berhasil menang melawan pembangkang veteran dan mantan juara dunia catur, Garry Kasparov.
Setahun berselang, ia dipercaya tampil dalam ajang pemilihan walikota Moskow. Tak disangka, ia dapat memberikan perlawanan sengit kepada loyalis Putin, Sergei Sobyanin. Hanya dengan berbekal media sosial dan omongan dari mulut ke mulut, Navalny—meski kalah—sukses memperoleh 27% suara.
“Kami akan terus melawan pemerintahan feodal yang sedang dibangun Rusia, di mana 83% kekayaan nasional hanya dimiliki segelintir populasi saja,” jelasnya pada satu kesempatan. “Sistem yang dijalankan Putin telah menghisap darah Rusia.”
Baca juga: Vladimir Putin, dari Mata-mata Menjadi Penguasa Rusia