Panduan agar Hubungan Pacaran Tidak Membosankan
https://www.naviri.org/2018/01/agar-pacaran-tidak-membosankan.html?m=0
Naviri.Org - Hubungan pacaran umumnya dimaksudkan untuk melangsungkan hubungan jangka panjang yang bermuara pada pernikahan. Ketika dua orang saling tertarik, mereka pun menjalin hubungan menuju pernikahan, yang lazim disebut pacaran. Sambil menuju ke arah itu, mereka terus berhubungan sebagaimana umumnya pacaran. Sekilas, pacaran adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Namun, di tengah jalan, hubungan pacaran bisa membosankan.
Bagaimana pun, orang bisa bosan jika setiap saat bertemu, setiap waktu selalu bersama. Pada mulanya, di awal-awal pacaran, pertemuan dan kebersamaan memang terasa indah dan menyenangkan. Tetapi, seiring waktu berjalan, sesuatu yang menyenangkan itu perlahan-lahan terasa hambar, bahkan bisa jadi membosankan.
Bagaimana mengatasi hal semacam itu? Bagaimana agar hubungan bisa terus terjalin baik, dan menghindari kebosanan? Salah satu caranya adalah dengan melakukan jeda atau “break sebentar”. Maksudnya, berpisahlah sementara dengan pacar, agar bisa memberi waktu bagi diri sendiri. Berpisah yang dimaksud di sini bukan putus, melainkan sebagai jeda.
Steve Ward, pakar relasi dan CEO Master Matchmakers, menyatakan dalam Psychology Today, “Jeda memberikan ruang bagi Anda untuk introspeksi dan berfokus pada perasaan Anda dalam berelasi. Hal ini kadang diperlukan untuk memikirkan apakah orang-orang yang berelasi merasa lebih bahagia, lebih produktif, dan lebih baik ketika bersama orang lain.”
Ia menekankan pula, jeda memungkinkan terciptanya kepuasan personal, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain yang terlibat dalam relasi.
Hubungan yang berlangsung bertahun-tahun dapat menimbulkan kejenuhan bagi seseorang. Ini bisa terjadi karena intensitas pertemuan yang cukup tinggi atau rutinitas yang tidak berganti dari waktu ke waktu. Obrolan yang mulanya terasa menyenangkan, perlahan menjadi membosankan, dimulai dari hal-hal remeh yang sama sekali tidak menarik untuk dibahas.
Karena itu, menarik diri dari relasi untuk sementara bisa menjadi strategi untuk memperbaiki kualitas komunikasi pasangan. Pada saat mengambil jarak dan waktu dari pasangan, seseorang dapat menjalankan berbagai aktivitas lain yang memungkinkan hadirnya cerita-cerita baru dan lebih menyegarkan untuk dibagikan. Selain itu, ketiadaan pasangan selama beberapa waktu juga akan memicu timbulnya perasaan rindu yang bisa menjadi percikan semangat untuk meneruskan hubungan.
Selain karena kejenuhan tingkat tinggi, jeda juga mungkin diambil ketika pasangan tengah mengalami konflik. Dalam keadaan penuh emosi, keputusan-keputusan yang diambil seseorang sering kali bersifat prematur sehingga potensial mendatangkan penyesalan. Hanya dengan cara keluar dari pusaran konflik untuk meredakan emosi dan mengevaluasi diri serta situasi relasi, seseorang dapat menemukan jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Selama memisahkan diri dari pasangan, ia dapat menilai apakah segala yang telah dilewati cukup menjadi modal untuk meneruskan hubungan, apakah ia masih dapat menoleransi perbedaan yang ada, atau apakah ia dapat berkembang menjadi sosok yang lebih baik bila terus berelasi dengan kekasih yang sekarang.
Memang tidak ada garansi bahwa dengan mengambil jeda, seseorang akan hidup bahagia seterusnya dengan pasangan. Selama menjalani masa jeda, akan datang hal-hal tidak terduga yang bisa menggeser niat awal seseorang sehingga relasi lamanya pun tidak dapat berlanjut lagi. Kendati demikian, bila hubungan masih ingin dipertahankan, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan ketika mengambil jeda.
Dalam situs Global News, Laura Billota, dating coach dan matchmaker dari Toronto, menyarankan, ketika hendak mengambil keputusan jeda berelasi, seseorang mesti membicarakannya baik-baik dengan pasangan sebelum melaksanakannya. “Nyatakan mengapa Anda membutuhkan jeda, dan mengapa hal itu juga berguna bagi pasangan Anda,” ungkapnya.
Memilih lari tiba-tiba atau mendiamkan pasangan bukanlah jalan yang tepat bila ingin memperbaiki situasi relasi. Hal ini bisa dipandang sebagai suatu ‘hukuman’ bagi pihak lain, yang pada akhirnya hanya akan menambah tekanan dalam hubungan.
Lebih lanjut, menurut Billota, selain alasan, jangka waktu jeda yang diambil dan batasan berkomunikasi dengan pasangan seperti apa saja, juga perlu dibicarakan. Dengan menentukan hal-hal ini di awal, seseorang akan tetap berada di "koridor" dan tidak akan mencederai kepercayaan pasangannya.
Berit Brogaard, direktur the Brogaard Lab for Multisensory Research di University of Miami dan penulis On Romantic Love: Simple Truths about a Complex Emotion, (2014) menyampaikan, selama masih dalam kerangka berpacaran, komitmen kedua belah pihak tetap harus terjaga. Apakah bentuknya tetap sama seperti di awal hubungan atau dimodifikasi sesuai kebutuhan masing-masing pihak, tentu butuh didiskusikan bersama.
Dalam hubungan monogami atau eksklusif, pasangan dapat menentukan sejauh mana mereka bisa berelasi dengan pihak lain, atau tetap berkomitmen tidak berselingkuh, atau bertindak tanpa sepengetahuan pasangannya sehingga melukai perasaan dia di kemudian hari. Sampai jeda ini berakhir dan pasangan bertemu kembali untuk mendiskusikan hubungannya, aturan main dalam berelasi tetap berlaku.
Pilihan apa pun yang diambil dalam berelasi, idealnya adalah demi kebaikan masing-masing pihak. Untuk menentukan apa yang terbaik bagi diri dan pasangan, seseorang perlu menciptakan momen reflektif sesaat dalam hidupnya.
Dalam kacamata Kristin Davin, psikolog klinis dari New York, pertanyaan reflektif ini dapat berupa, “apakah saya benar-benar menginginkan istirahat berelasi, atau saya sesungguhnya ingin mengakhirinya?”. Dengan menjawab jujur pertanyaan seperti inilah, relasi yang lebih memuaskan dimungkinkan terjadi.
Baca juga: Apa yang Dilihat Cowok Pertama Kali dari Cewek?