Negara-negara yang Pernah Melakukan Redenominasi
https://www.naviri.org/2018/01/Redenominasi.html
Naviri.Org - Setiap negara tidak bisa dilepaskan dari mata uang, karena mata uang itulah yang menjadi sarana pembayaran yang sah di negara bersangkutan. Masing-masing negara memiliki mata uang sendiri, dengan nama berbeda-beda, dengan pecahan yang juga berbeda. Di Indonesia, misalnya, mata uang disebut Rupiah. Sementara di negara-negara lain ada yang disebut Rubel, Dolar, Rupee, dan lain-lain.
Karena terdampak inflasi, mata uang suatu negara kadang mengalami kejatuhan, yang berimbas pada turunnya nilai mata uang bersangkutan. Akibatnya, negara itu pun lalu membuat pecahan mata uang dengan nilai lebih besar, dengan angka 0 yang juga tentu lebih banyak. Ketika jumlah nol itu dianggap sudah terlalu banyak, ide redenominasi kadang digulirkan untuk mengembalikan atau menyederhanakan nilai mata uang tersebut, dengan cara memangkas angka nol.
Sejak 1963-2008, setidaknya ada 30 negara yang telah melakukan redenominasi mata uangnya. Negara yang melakukan redenominasi umumnya adalah negara berkembang yang punya sejarah inflasi yang gawat. Tercatat ada beberapa negara yang memangkas 6 angka nol dalam mata uangnya, antara lain Turki pada 2005, Angola pada 1999, Georgia pada 1995, Peru pada 1991, dan Bolivia pada 1987.
Di atas kertas, alasan lahirnya sebuah redenominasi terhadap mata uang di suatu negara antara lain untuk menghentikan atau mengurangi tingkat inflasi yang tinggi, stabilisasi perekonomian, dan meningkatkan kredibilitas mata uang.
Tujuan itu memang tak mudah, ada faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan redenominasi, antara lain kondisi perekonomian pada saat melaksanakan redenominasi, di antaranya tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, termasuk nilai tukar, dan nilai ekspor yang stabil.
Dalam jurnal ekonomi BI, yang berjudul “Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental", terungkap dari 27 negara yang melakukan redenominasi, inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah variabel yang secara signifikan terpengaruh oleh redenominasi. Kondisi ini menentukan sukses dan gagalnya redenominasi.
Bagi negara yang gagal menerapkan redenominasi, justru program ini memperparah inflasi. Hal ini terjadi di Ghana. Negara di Afrika ini terjebak pada apa yang disebut efek money illusion, ketika masyarakat menganggap harga barang lebih murah ketika angka nol banyak dipangkas dari mata uang mereka. Biasanya masyarakat enggan menuntut adanya uang kembalian dari penjual ketika bertransaksi, yang biasa disebut trivialization.
Fenomena trivalization ini melanda Ghana. Tingkat inflasi di negara itu meningkat 5 persen setahun setelah redenominasi. Faktor lain penyebab kegagalan redenominasi di Ghana karena 70 persen uang yang beredar berada di luar perbankan. Transaksi tunai di Ghana juga lebih dominan dibandingkan dengan transaksi melalui perbankan.
Hal ini diperparah karena pemerintah Ghana belum mengganti mata uang mereka setelah dua tahun redenominasi bergulir. Lain cerita dengan Ghana, Turki dianggap sukses meredonominasi lira. Brazil juga sukses meredenominasi mata uang cruzeiro mereka. Indonesia sebenarnya pernah melakukan redenominasi. Kebijakan redenominasi sempat gagal pada 1965.
"Di Indonesia, pada 1950 dan 1959, kita pernah melakukan sanering. Lalu pada 1965 kita pernah melakukan redominasi mata uang. Bisa dikatakan ketiga-tiganya tidak sukses, jadi kita mau meyakinkan bahwa kalau program redenominasi yang mau kita lakukan itu betul-betul sudah benar, sudah tepat waktunya," kata Agus Martowardojo saat menjabat Menteri Keuangan.
Inti dari redenominasi adalah menyederhanakan mata uang. Namun, pelaksanaannya tak sesederhana konsepnya. Menghapus tiga angka nol memang sesuatu yang tak sulit, tapi lagi-lagi yang berat adalah menimbang dampak setelahnya. Redenominasi jika hanya demi meningkatkan martabat rupiah memang bukan prioritas. Namun, mengupayakan sebuah cara yang sederhana, termasuk memiliki uang dengan nominal angka yang sederhana, sebuah hal positif.
Pemerintah dan DPR harus sadar agenda redenominasi merupakan program jangka panjang. Kalau tak dimulai sekarang, kapan lagi? Selain itu, masyarakatlah yang akan menentukan keberhasilan program ini. Kasus Belarusia jadi pelajaran, ketika masyarakat tak mendukung redenominasi di saat mereka sedang dalam kondisi sulit. Redenominasi memang bukan untuk menyembuhkan penyakit, tapi menyederhanakan mata uang di saat ekonomi sedang bangkit.
Baca juga: Rencana Redenominasi Uang Rupiah di Indonesia