Star Wars: The Last Jedi, Aksi Pertarungan dan Kisah Manusiawi
https://www.naviri.org/2017/12/star-wars-last-jedi.html?m=0
Naviri.Org - Star Wars adalah serial film yang ditunggu banyak orang di seluruh dunia. Ada banyak penggemar film legendaris ini, yang bahkan sangat fanatik. Meski telah hadir di dunia sejak sekitar 40 tahun yang lalu, pesona Star Wars tampaknya belum pudar. Film demi film terus dibuat, dan selalu mampu menarik jutaan orang untuk mendatangi bioskop. Seri Star Wars yang terbaru berjudul The Last Jedi.
The Last Jedi bercerita tentang pertarungan antara kelompok pemberontak (Resistance) yang dipimpin oleh Leia Organa (almarhum Carrie Fisher) melawan pemerintahan tirani berbasis militer (First Order) dibawah komando Supreme Leader Snoke (Andy Serkis). Setelah kejadian di Star Wars: The Force Awakens (2015), kelompok pemberontak masih berada di ujung tanduk; kalah jumlah pasukan petarung maupun teknologi senjata.
Harapan disematkan kepada Rey (Daisy Ridley), pemulung dari Planet Jakku, yang memiliki asosiasi kuat dengan energi Force. Terpisah dari armada Resistance, Rey sedang berada di sebuah pulau terpencil untuk belajar pada Jedi dengan kesaktian melegenda, Luke Skywalker (Mark Hamill). Sementara itu, Kylo Ren (Adam Driver), calon penerus raja kegelapan Darth Vader, masih berusaha pulih setelah konfrontasi dengan Rey.
The Last Jedi berhasil mengkombinasikan adegan-adegan aksi yang heboh dengan berbagai cerita manusia yang membangkitkan emosi. The Last Jedi bukan hanya bercerita soal kisah klasik mengenai perang berkepanjangan antara simbol harapan pasukan Resistance melawan kegelapan yang dibangun dan terus dipertahankan oleh First Order. Ia justru merajut tema besar ini dengan karakterisasi yang mengangkat sisi manusia para pahlawan dan mereka yang mendukung kegelapan.
Ini adalah sebuah dongeng soal sekelompok manusia yang terombang-ambing mencari identitas diri ketika perang terlanjur menjadi santapan sehari-hari.
Sebagai sebuah sekuel Star Wars, The Last Jedi berhasil mengembangkan pondasi cerita dan karakter yang segar dan kuat. Untuk ke depan, nampaknya takkan jadi masalah jika saga berumur 40 tahun ini ingin melepas para karakter klasik (dan sejarahnya) seperti Leia, Han Solo, maupun Luke Skywalker. Pada saat yang sama, secara elegan sutradara tetap mempertahankan ciri khas film Star Wars, mulai dari tensi cerita yang langsung tinggi, pertarungan lightsaber, perang antariksa yang panjang namun tak membosankan, dan figur pahlawan yang jamak.
Pergerakan kamera yang kontinu dan dinamis berhasil menangkap teater pertarungan lightsaber di antara pihak-pihak yang mengendalikan energi Force. Elemen teknis ini berhasil membalut adegan aksi penuh nostalgia dengan bumbu ketegangan yang tak berujung.
Namun, pencapaian terbesar Force Awakens terletak pada karakterisasi. Kylo Ren, Rey, dan Luke, semuanya diberi waktu yang cukup untuk mengeksplorasi dilema identitas masing-masing; sisi yang gelap maupun terang. The Last Jedi meracik dilema ideologis dengan motivasi personal untuk menciptakan detail karakter yang unik dan kompleks.
Akibatnya, para karakter kunci harus mengambil keputusan yang tidak hanya akan menentukan nasib orang lain, namun juga pada pilihan identitas mereka—pahlawan, penjahat, monster—yang memiliki hubungan erat dengan masa lalu.
Kylo Ren, misalnya, tidak lagi sekadar menjadi karakter antagonis yang semata-mata menjiplak ambisi Darth Vader. Masa lalunya yang unik menjadikan Kylo Ren memiliki alasan sendiri untuk menyelimuti diri dengan kemarahan dan kebencian, dan akhirnya menjadi pejuang di kubu dark side.
Sementara itu, Rey tidak digambarkan sebagai karakter pahlawan yang sempurna. Rian Johnson seakan ingin menunjukkan bahwa terkadang overdosis idealisme dapat berujung pada kenaifan yang patut ditertawakan. The Last Jedi juga berani bereksperimen dengan karakter Luke Skywalker sebagai seorang Jedi legendaris.
Tokoh yang sebenarnya sudah memiliki cerita yang kaya di saga Star Wars tetap berhasil dipermak sedemikian rupa, yang menjadikannya tidak hanya sekadar berfungsi sebagai sumber nostalgia. Untuk itu, jangan kaget jika nanti Anda bingung menentukan Luke di Star Wars episode mana yang menjadi favorit Anda.
Namun, fokus yang signifikan terhadap pembangunan karakter Kylo, Luke, dan Rey, juga menjadi salah satu alasan yang membuat The Last Jedi tak sempurna. Karakter seperti Finn (John Boyega), mantan pasukan militer First Order yang berhasil kabur, baru pada babak ketiga film diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya telah ada semenjak The Force Awakens.
Begitu juga karakter Poe Dameron (Oscar Isaac), pilot pesawat tempur pasukan pemberontak yang selama jalannya film membuat frustasi, karena terus mengulang kesalahan yang sama hanya untuk tiba-tiba berubah sebagai sosok yang bijak pada akhir film.
Walaupun begitu, Sutradara Rian Johnson tetap patut diberi kredit karena berhasil menciptakan sebuah kisah Star Wars yang penuh laga, namun tak meninggalkan pentingnya bangunan cerita melalui karakterisasi yang kuat dan mendetail pada karakter kunci. Melalui dilema karakter yang kompleks, The Last Jedi membuat Anda secara aktif berimajinasi mengenai kriteria yang membuat seseorang menjadi pahlawan atau penjahat. Kekaburan batas antara baik dan buruk membuat The Last Jedi semakin lengkap.
Alasan ini juga yang membuat Adam Driver menikmati dan mengerti sosok Kylo Ren dari sisi berbeda. “Aku sangat menikmati memainkan peran ini, karena aku sendiri tidak mengetahui apa yang menjadikan seseorang benar-benar jahat,” kata Adam kepada ABC News. “Aku tidak merasa Kylo merasa dirinya jahat, ia justru merasa dirinya benar.”