Sejarah Negara-Bangsa di Balik Wajah Dunia
https://www.naviri.org/2017/12/sejarah-negara-bangsa.html?m=0
Naviri.Org - Di zaman kuno, ketika manusia belum mengenal konsep negara-bangsa, mereka menjelajahi dunia dengan bebas. Di masa itu, tentu saja, wilayah dunia belum padat dan sesak seperti sekarang. Lalu zaman demi zaman terus berlalu, jumlah manusia semakin banyak, dan perlahan namun pasti mereka kemudian menempati satu wilayah hingga hidup di sana secara turun temurun.
Belakangan, komunitas atau berkumpulnya orang-orang di satu tempat itulah yang lalu membentuk sisem kerajaan, yang lalu berubah menjadi sistem negara-bangsa. Perubahan itu, hingga lahirnya konsep negara-bangsa, tentu membutuhkan waktu berabad-abad, dan begitulah wajah dunia terbentuk.
Negara didefinisikan sebagai alat untuk menguasai wilayah yang diklaim dengan konsep kedaulatan tertentu. Perangkat negara kemudian terdiri dari eksekutif, birokrasi, pengadilan dan institusi lainnya. Tidak lupa ada pajak negara yang dikenai kepada setiap warganya untuk mengoperasikan aparatur negara.
Selama ribuan tahun, kebangkitan dan kejatuhan sebuah negara-bangsa bukan sesuatu hal aneh, jika bukan suatu keniscayaan.
Robert I. Rotberg dalam bukunya berjudul Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators (2011) menyebutkan, kini berbagai negara muncul dengan ragam variasi yang lebih banyak dibandingkan setengah abad yang lalu.
Pada tahun 1914, setelah runtuhnya imperium Turki Usmani dan Austro-Hungaria, ada 50 pemerintahan nasional yang diakui. Pada 1919 terdapat 59 negara, dan pada tahun 1950 jumlahnya meningkat menjadi 69 negara. Ketika Uni Soviet pecah, jumlahnya naik jadi 191 negara-bangsa.
Jumlahnya akan terus bertambah mengingat pendirian suatu negara bukan sesuatu yang final. Setelah banyak lepas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme, sebuah negara-bangsa bisa berkembang menjadi kekuatan kolonialis baru, sekaligus membawa risiko separatisme atau pemisahan diri.
Amerika Serikat adalah salah satunya: menyatakan lepas dari Inggris pada 1776 kemudian mulai menapaki jalan menjadi kolonialis baru setelah melewati ancaman perpecahan pada Perang Sipil 1861-1865. Hal yang sama terjadi pada Indonesia. Menyatakan merdeka dari Belanda pada 1945, mencaplok Timor Leste pada 1975 dan akhirnya kehilangan koloni bekas Portugis tersebut pada referendum 1999.
Rotberg membuat analisis tentang bagaimana sebuah negara menemui kegagalan dan perpecahan. Sebuah negara bangsa yang gagal diliputi suasana ketegangan. Mereka berkonflik dan diperebutkan sengit oleh faksi-faksi yang berperang. Sebagian besar negara yang gagal diawali dengan pasukan pemerintah yang memerangi satu atau lebih pemberontak bersenjata.
Kerusuhan sipil, meluasnya ketidakpuasan publik dan pertentangan nilai yang hebat menjadi unsur-unsur pendorong sebuah konflik nasional. Meski ini bukan parameter yang selalu berujung pada bubarnya negara, tetapi bisa menjadi ciri khas dari sebuah negara yang kacau.
Perang sipil yang mewarnai kegagalan negara umumnya berakar dari permusuhan berbasis etnis, agama, bahasa, dan faktor-faktor komunal lainnya. Terlebih ketika diperkuat dengan penemuan sumber kekayaan alam baru yang kemudian diperebutkan seperti endapan minyak bumi, ladang berlian, dan mineral lainnya.
Kegagalan negara juga tidak hanya dibebankan kepada ketidakmampuan pemerintah untuk membangun kesatuan politik dari sekumpulan golongan dengan beragam latar belakang, tetapi juga pada penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas.
Pencaplokan dan aspirasi kemerdekaan
Analisis kegagalan dan perpecahan negara-bangsa yang telah disebutkan tersebut dapat dihubungkan kepada gerakan separatisme atau pemisahan diri.
Sementara bila merujuk pada jurnal David S. Siroky dan John Cuffe berjudul Lost Autonomy, Nationalism and Separatism, menunjukkan bahwa pemberian status otonomi kepada suatu daerah yang bergejolak bisa mendorong tuntutan pemisahan diri yang lebih besar atau sebaliknya, meredam separatisme.
Faktor lain seperti ekonomi turut menentukan arah gerak bandul. Catalunya, daerah otonomi di Spanyol, telah mendapat otonomi sejak 1970an setelah puluhan tahun berada di bawah rezim fasis Franco. Namun, kemandirian ekonomi yang beriringan dengan eksploitasi oleh pemerintah pusat menyebabkan tuntutan kemerdekaan Catalunya kembali mengeras.
David S. Siroky dan John Cuffe telah menguji dugaan ini dengan data tentang status otonom dan perilaku separatis dari 324 kelompok di lebih dari 100 negara dalam rentang tahun 1960 sampai 2000.
Di Indonesia sendiri, usaha-usaha untuk memisahkan diri dari Indonesia bukanlah hal baru.
Sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam etnis, bahasa dan agama, Indonesia yang memperoleh kemerdekaan pada situasi puncak Perang Dunia Kedua ini dipandang sebagai daerah yang rawan konflik karena banyaknya perbedaan dan luasnya wilayah teritorial. Ketimpangan pusat dan daerah turut menjadi pemicunya.
Di era Sukarno, separatisme lahir dari gerakan-gerakan seperti Republik Maluku Selatan, PRRI di Sumatera, dan Permesta di Sulawesi.
Berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) bermula ketika Manuhutu membacakan teks proklamasi yang menyatakan kemerdekaan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 25 April 1950. Para pentolannya adalah para eks tentara KNIL yang telah kehilangan komando. RMS akhirnya ditumpas oleh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pimpinan Kolonel Alex Kawilarang.
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) diproklamirkan di Sulawesi pada 2 Maret 1957, disusul deklarasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang pada 15 Februari 1958. Oleh pemerintah pusat di Jakarta, PRRI dan Permesta disebut sebagai gerakan pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Menurut Khairul Ikhwan Damanik dkk. dalam buku Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia, asal-muasal munculnya PRRI dan Permesta berawal dari ketidakpuasan para pemimpin militer di daerah yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Mereka menuntut otonomi wilayah yang lebih luas tetapi tidak dihiraukan.
Sedangkan menurut Barbara Harvey dalam buku Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), para pemimpin Permesta dari Minahasa menyebut gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta, karena pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra.
Perasaan kecewa orang Minahasa yang semula didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.
PRRI takluk pada pertengahan Mei 1961 lewat operasi militer pimpinan AH Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Ahmad Husein selaku pimpinan PRRI segera menyerahkan diri di Padang. Sementara Ventje Sumual yang sudah membacakan proklamasi bagi Permesta menyerah pada Oktober 1961. Perang bersenjata ini, yang terjadi pada 1958-1961, menewaskan sekira 20.000 hingga 30.000 jiwa. Sebagian besar adalah rakyat sipil Minahasa.
Memasuki era Orde Baru, separatisme muncul di Aceh yang direpresentasikan lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua yang diwakili oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta gerakan-gerakan pembebasan sejenis.
Di Aceh, transformasi besar dimulai ketika deklarasi pendirian Negara Islam Indonesia pada 1953. Berlanjut ketika pada 1955 Tengku M. Daud Beureuh mengumumkan pembentukan daerah otonom sendiri, bernama Negara Bahagian Atjeh (NBA).
Negosiasi alot antara NBA dan Indonesia berlanjut hingga pada 1957, mereka menginginkan untuk merdeka dari Indonesia sepenuhnya. Sejak itu tanah reuncong terus bergejolak di tengah negosiasi antara pemerintahan Jakarta. Lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada 1976 mereka memproklamasikan negara Aceh di bawah pemimpin Tengku Hasan M. di Tiro.
Menurut Tengku Hasan M. di Tiro, pemberian status Daerah Istimewa dianggap belum cukup menyelesaikan permasalahan di Aceh. Ditambah alasan kedua tentang ketidakpuasan terhadap minimnya komitmen pemerintahan Orde Baru untuk pembangunan wilayah tersebut dan kebijakan lainnya.
Tahun-tahun selanjutnya diwarnai bentrokan senjata antara pasukan GAM dan tentara Indonesia. Puncaknya, pemerintah pusat mengumumkan Daerah Operasi Militer pada 1988 dan sejak itu pelbagai tudingan pelanggaran HAM terus mendarat ke TNI.
Kesepakatan damai akhirnya dicapai antara GAM dan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Aceh menerima otonomi khusus, dan tentara non-Aceh akan ditarik dari provinsi. Sebaliknya, senjata GAM harus dilucuti.
Yang tersisa dan paling menonjol hingga kini adalah gerakan kemerdekaan di Papua. Akar aspirasi kemerdekaan Papua berasal dari deklarasi kemerdekaan orang Papua pada 1961, lengkap dengan bendera Bintang Kejora dan lagu kebangsaan. Alasan kesamaan etnis dan kultur budaya Melanesia menjadi pendorong kuat mereka memiliki persatuan untuk ingin membentuk negara sendiri yang berdaulat.
Baca juga: Uji Coba Rudal, dan Biaya yang Dihabiskan Korea Utara