Polemik dan Kontroversi LGBT di Berbagai Negara
https://www.naviri.org/2017/12/polemik-lgbt.html
Naviri.Org - LGBT adalah singkatan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual. Saat ini, sebenarnya, ada satu huruf tambahan lagi, yaitu Q untuk Queer, sehingga menjadi LGBTQ. Sebagaimana di Indonesia, LGBT atau LGBTQ menjadi polemik di mana-mana, di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat yang selama ini terkenal sebagai negara sekuler sekaligus liberal.
Akar masalah yang menjadi polemik terkait hal ini bisa dibilang cukup sederhana, yaitu keyakinan bahwa pria mestinya berpasangan dengan wanita. Keyakinan itu diakui sebagai keyakinan universal di mana-mana, dan ada banyak orang yang sulit menerima jika ada pria berpasangan dengan sesama pria, atau wanita berpasangan dengan sesama wanita. Sama sulitnya orang-orang itu menerima pria yang berubah menjadi wanita, atau wanita yang berubah menjadi pria.
Seperti yang disebut di atas, LGBT menjadi polemik di berbagai negara, dan berikut ini mozaik-mozaik yang bisa kita pelajari.
Tahun 2001 menjadi tahun yang bersejarah bagi warga Rumania. Proses dekriminalisasi bagi kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Queer (LGBTQ) akhirnya dimulai. Namun, tak sampai dua dekade berselang, kelompok konservatif dengan latar belakang Kristen konservatif-sayap kanan mulai membendung usaha penyempurnaan hak-hak sipil yang setara bagi kaum homoseksual Rumania, termasuk upaya pelegalan pernikahan sesama jenis.
Baru-baru ini, Sian Norris dari Open Democracy mengunjungi Bucharest dan bertemu dengan warga yang sudah mulai khawatir dengan kelompok konservatif seperti Coalition for Family. Dalam laman resminya, organisasi ini mendaku sebagai gerakan warga negara yang “terbuka untuk mereka yang menganut nilai-nilai keluarga”. Keluarga yang dimaksud adalah dalam kerangka tradisional, di mana yang terlibat harus pasangan laki dan perempuan, bukan sesama jenis.
Koalisi yang “buruk”, kata seorang perempuan kepada Norris. “Mereka datang dengan pemakluman yang gila terhadap pernikahan sesama jenis. Katanya kalau kita menyetujuinya, maka orang-orang akan bisa menikah dengan anjingnya.”
Ancamannya bukan lagi berbentuk gerakan propaganda akar rumput. Tahun depan, Coalition for Familu akan membawanya ke referendum agar konstitusi tentang pernikahan di Rumania bisa direvisi sesuai visi mereka. Sejak November 2015, mereka mempublikasikan “Inisiatif Warga” sebagai langkah pertama mencapai upaya tersebut. Pendukung gerakan menuju pelegalan pernikahan sesama jenis setempat pun pusing dibuatnya.
Pernikahan sesama jenis memang belum diizinkan di Rumania, tapi konstitusi saat ini menyebutkan bahwa hal tersebut bisa dilegalkan di masa depan tanpa perlu mengubah konstitusi. Di sisi lain, lobi kelompok ultra-konservatif seperti Coalition for Family di tubuh pemerintahan kian kuat. Pada 2016 saja mereka sudah mengumpulkan 3 juta tanda tangan “Inisiatif Warga”. Cukup untuk memulai sebuah referendum di parlemen.
Norris berusaha menghubungi Coalition for Family, tapi tak ada tanggapan. Pendapat justru datang dari salah satu organisasi pendukung LGBTQ Rumania, Accept, yang juga memonitor pergerakan kelompok konservatif di negara tersebut. Mereka mendapat banyak laporan bahwa penandatanganan “Inisiatif Warga” dilakukan secara sistematis hingga ke sekolah-sekolah menengah. Accept pun melaporkannya balik ke Kementerian Pendidikan.
“Gereja mengumpulkan tanda tangan dengan menaruh berkasnya di pintu masuk, sementara ada aktivis yang bertugas meminta untuk turut berpartisipasi. [Berada] di dalam masyarakat homofobik, sulit bagi warga untuk menolak menandatanganinya secara terbuka. Mereka takut dianggap kaum homoseksual jika menyatakan penolakan,” kata perwakilan Accept.
Menariknya, gelombang anti-LGBTQ di Rumania juga dikobarkan lewat pengaruh asing, tepatnya dari kelompok Kristen konservatif-sayap kanan dari Amerika Serikat. Sebuah badan amal bernama Liberty Counsel adalah contoh yang hari-hari ini kian mesra dengan kelompok konservatif-agamis Rumania. Padahal, di AS sendiri, menurut lembaga riset Southern Poverty Law Centre, Liberty Counsel digolongkan sebagai kelompok penebar kebencian.
Tahun ini, Liberty Counsel mengirim tokoh berpengaruhnya, Kim Davis, untuk keliling Rumania. Davis bekerja sebagai petugas urusan pernikahan di Kentucky. Ia pernah jadi perhatian media massa pada tahun 2015 karena dipenjara setelah tak mau mengeluarkan surat izin nikah untuk pasangan sesama jenis. Liberty Counsel pada waktu itu bergerak mendukungnya. Namun, untuk kepentingan laporan Norris, kelompok ini juga menolak untuk berkomentar atas kondisi terbaru di Rumania.
Laporan media lokal menyebutkan Davis bertemu dengan Coalition for Family pada bulan Oktober kemarin. Ia juga bertemu dengan enam uskup agung di Gereja Orthodoks Rumania dan sejumlah perwakilan dari kelompok pegiat nilai-nilai keluarga tradisional. Tujuannya, kata Liberty Counsel melalui siaran radionya, membendung pelegalan pernikahan sesama jenis di seluruh provinsi.
Davis berbicara di hadapan ribuan pengikut gereja, katedral, dan konferensi agama biasa di Rumania. Strategi yang menunjukkan betapa seriusnya Liberty Counsel. Accept mengkhawatirkannya karena penetrasi asing kian membuat kelompok LGBTQ di Rumania makin menderita. Tekanan publiknya besar. Mereka kerap dilampiasi kebencian, didiskriminasi di kehidupan sehari-hari, di tempat kerja hingga institusi pendidikan.
ADF International adalah sayap kelompok konservatif AS Alliance Defending Freedom. Dasar dan visinya serupa dengan Liberty Counsel. Mereka bekerja untuk menyebarkan ide anti-LGBTQ level global, salah satu targetnya Rumania. April lalu mereka ikut terlibat di acara pendukung referendum yang membawa suara “Inisiatif Warga”, di mana Coalition for Family turut hadir.
“Organisasi-organisasi seperti ini (Liberty Counsel) melihat Eropa Timur sebagai lahan subur untuk menyebarkan gagasan anti-LGBTQ mereka,” kata Vlad Viski, pendiri organisasi pendukung LGBTQ di akar rumput Rumania, MozaiQ. Ia percaya bahwa referendum adalah salah satu alat bagi Liberty Counsel dan organisasi konservatif asal AS lain untuk menanamkan kepentingannya.
“Mereka telah terlibat dalam pekerjaan anti-LGBTQ di Afrika. Mereka mereproduksi apa yang mereka lakukan di sini (Rumania) ke sana, dan menggunakan jasa konsultan populer kami sebagai alatnya.”
Sejumlah media internasional sudah menuliskan laporan terkait kekhawatiran Vlad Visk. Kenyataannya memang demikian: ada keterlibatan kelompok Kristen konservatif-sayap kanan AS dalam kampanye anti-LGBTQ di seantero Afrika sejak bertahun-tahun lamanya.
Merujuk New York Times, misalnya, pada bulan Maret tahun 2009 silam ada tiga orang evangelis Kristen AS yang mengajari metode “penyembuhan” bagi kaum homoseksual di Uganda. Landasan mereka tetap Alkitab plus keyakinan bahwa nilai-nilai keluarga tradisional ala Afrika perlu dilestarikan. Pandangan homofobia yang sebelumnya sudah ada akhirnya kian mengakar.
Beberapa bulan setelahnya, politisi Uganda meloloskan UU Anti-Homoseksualitas. Di dalamnya mengandung hukuman yang ekstrem bagi pelaku homoseksual, termasuk pemenjaraan seumur hidup untuk seks gay, seks oral, dan tinggal dalam naungan pernikahan sesama jenis.
Pada Februari 2014, Presiden Yoweri Museveni kembali meloloskan peraturan yang makin mengkriminalisasi homoseksualitas. Proses pengesahannya sebenarnya panjang. Bertahun-tahun lamanya masyarakat Uganda turut gerah. Namun, pejuang kemanusiaan yang duduk di pemerintahan Uganda akhirnya kalah menghadapi aturan yang disebut “membunuh gay” itu.
Tak hanya di Uganda, evangelis AS telah lama memasuki masyarakat dan politik Afrika, mengkampanyekan ide-ide anti-LGBTQ hingga bersorak kegirangan jika undang-undang anti-homoseksualitas benar-benar diloloskan. Di Uganda, salah satu tokoh penggeraknya adalah Scott Lively. Lively tergolong militan dalam berpropaganda, hingga akhirnya ia dituntut oleh organisasi kemanusiaan Afrika karena berkat dialah homofobia di Uganda dipersekusi fisik.
Dalam catatan The Nation, misionaris konservatif AS turut aktif meloloskan undang-undang anti-homoseksual di Kenya, Nigeria, Zimbabwe, dan negara-negara Afrika lain. Aktivismenya merentang mulai dari menjajaki kanal-kanal suara populer hingga intervensi langsung.
Pada 2010, Zimbabwe memulai proses penyusunan undang-undang dasar baru. Pusat Hukum dan Keadilan Amerika (ACLJ), sebuah firma hukum Kristen yang didirikan oleh penginjil Pat Robertson, meluncurkan sebuah lembaga mitra Zimbabwe yang dinamakan Pusat Hukum dan Keadilan Afrika. Lembaga ini menjadi pos terdepan bagi pelatihan pengacara yang akan turut mendorong hadirnya nilai-nilai Kristen konservatif di dalam rancangan undang-undang dasar yang baru, termasuk menyangkut soal homoseksualitas.
ACJL di Kenya bernama Pusat Hukum dan Keadilan Afrika Timur (EACJL). Mereka melobi untuk menentang konstitusi baru Kenya yang lebih moderat. April 2010 mereka menyebut homoseksualitas sebagai sesuatu yang “tak bisa diterima” dan “asing”. Mereka lalu mendorong agar konstitusi Kenya diberi keterangan penjelas tentang pernikahan, yakni hanya bisa dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan. Upaya pelegalan pernikahan sesama jenis otomatis terhadang.
Pada 1960, Robertson menciptakan Christian Broadcasting Network (CBN) yang disiarkan melalui kabel dan satelit ke lebih dari 200 negara. Robertson adalah co-host di acara CBN paling terkenal, 700 Club. Melaluinya, Robertson telah membuat berbagai macam ucapan yang berujung pada serangan untuk orang-orang LGBTQ.
Di AS, program Robertson tenggelam oleh program-program televisi dengan modal yang lebih besar dan bersifat lebih sekuler. Namun, di Afrika, CBN laris manis. Menurut statistik CBN yang dikutip Political Research, pada 2010 ada 74 juta orang di Nigeria menjadi penonton minimal satu acara CBN. Pencapaian ini tergolong luar biasa karena dua hal. Pertama, Nigeria adalah negara dengan penduduk terpadat di Afrika. Kedua, saat itu ada total 80 juta penganut Kristen di Nigeria.
Januari 2014, Presiden Nigeria, Goodluck Jonathan, menandatangani UU Larangan Pernikahan Sesama Jenis yang memberikan hukuman penjara hingga 14 tahun untuk pelaku, dan 10 tahun untuk anggota organisasi gay. Pengesahan undang-undang tersebut diikuti oleh gelombang penangkapan laki-laki gay, yang segera mendapat kecaman dari masyarakat internasional.
Selama ini, orang-orang Kristen konservatif-sayap kanan asal negeri Paman Sam memang tidak menang di rumah mereka sendiri. Namun, bukan berarti misi itu tak bisa digolkan di luar negeri.
Baca juga: Apakah Homoseksualitas Tergolong Penyakit Jiwa?