Pernikahan Dini dan Hilangnya Hak-hak Anak
https://www.naviri.org/2017/12/pernikahan-dini-dan-hilangnya-hak-anak.html?m=0
Naviri.Org - Dalam film atau sinetron, pernikahan dini mungkin tampak indah. Tetapi, dalam realitas, pernikahan dini sering kali tak indah. Dalam realitas, pernikahan dini kerap dilakukan bukan atas dasar cinta, melainkan karena keterpaksaan berlatar kemiskinan.
Misalnya, ada keluarga yang mengalami masalah ekonomi, dan kebetulan memiliki anak perempuan yang masih sekolah. Lalu ada pria yang tampak mapan, dan naksir anak perempuan tersebut, dan melamarnya. Keluarga si anak perempuan pun menikahkan anaknya dengan pria tadi, dengan harapan dapat mengatasi masalah kemiskinan yang mereka alami.
Realitas pahit semacam itu terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Anak-anak perempuan yang mestinya masih sekolah harus menikah, akibat kemiskinan keluarga. Karenanya, dalam realitas, pernikahan dini tidak selalu seindah di film atau sinetron, tapi justru sebaliknya. Anak perempuan yang menikah itu kehilangan hak-haknya sebagai anak.
Merujuk Badan Pusat Statistik, tahun 2016 Indramayu menempati peringkat keenam penduduk miskin terbanyak di Jawa Barat: 237 ribu jiwa atau sekitar 13 persen dari populasi kabupaten. Faktor kemiskinan adalah salah satu pemicu berkembangnya praktik perkawinan anak di daerah pesisir pantai utara tersebut.
Alasan lain yang kerap dikemukakan oleh orang yang secara langsung maupun tak langsung melanggengkan praktik perkawinan anak adalah untuk "menghindari zina."
Pengadilan agama Indramayu mencatat, jumlah permintaan dispensasi perkawinan anak mencapai 429 kasus pada 2014 dan meningkat menjadi 459 kasus setahun berikutnya.
Sementara secara nasional, berdasarkan laporan UNICEF dan BPS yang dirilis awal tahun 2016 berjudul “Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, setiap tahun ada 340 ribu anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun. Artinya, sekitar 46 persen dari jumlah perkawinan di Indonesia. Angka ini dihimpun berbasis tabulasi hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2008-2012 dan sensus penduduk 2010.
Ekornya, dari data tersebut, Indonesia termasuk sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dan menempati posisi kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Provinsi Jawa Barat, yang disinggung dalam laporan tersebut, adalah contoh lebih dari setengah kabupaten dan kecamatannya memiliki prevalensi perkawinan remaja perempuan di bawah rata-rata nasional, tetapi juga memiliki kecamatan dengan prevalensi yang sangat tinggi, di antaranya di Sukabumi dan Cianjur.
Angka rata-rata nasional sebesar 25 persen, yang menunjukkan satu dari empat perempuan berusia antara 20-24 tahun pernah menikah sebelum usia 18 tahun.
Angka-angka ini sangat mungkin lebih besar dan lebih tinggi di dalam kenyataannya karena, demikian tulis laporan tersebut, “banyak dari perkawinan ini yang tersamarkan sebagai perkawinan anak perempuan di atas usia 16 tahun atau tidak terdaftar.”
Laporan ini memaparkan ada sejumlah hak anak yang tercabut akibat perkawinan anak, terutama sekali hak mendapatkan pendidikan. Hampir 90 persen anak yang menikah tidak melanjutkan sekolahnya. Jika dilakukan di bawah umur, artinya sebagian besar dari mereka bahkan tidak lulus SMA.
Kedua, hak bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual. Yuyun Khoerunnisa, aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia Indramayu, menyebutkan bahwa perkawinan usia dini rentan terjerat dalam kekerasan rumah tangga.
Ketiga, hak atas kesehatan terutama terkait organ reproduksi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia mencatat pada 2012 angka kematian ibu meningkat tajam menjadi 359 kasus per 100 ribu kelahiran. Penyebabnya didominasi oleh usia ibu yang terlalu muda saat persalinan.
Hak lain yang ikut terenggut adalah hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi.
Yuyun menjelaskan, perkawinan anak rentan menjadi sumbu kasus yang lebih mengerikan seperti perdagangan orang atau bahkan pelacuran. Meski belum ada angka pasti terkait hipotesis ini, tetapi bukan berarti tak ada kemungkinan ke arah sana.
“Lebih banyaknya, anak-anak yang menjadi korban perkawinan anak, atau yang sudah bercerai, beralih menjadi buruh migran untuk membantu perekonomian keluarganya,” ujar Yuyun.
Otoritas yang bertugas menangani buruh migran mencatat, per November 2017 ada 16.027 orang dari Indramayu yang bekerja sebagai buruh migran—tertinggi di seluruh Indonesia.
Undang-Undang purba perkawinan
Alasan meringankan ekonomi keluarga, yang kerap jadi faktor utama perkawinan anak, menjadi ironis. Perkawinan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi keuangan keluarga justru menjadi beban baru, terutama bagi sang anak.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pernah menyinggung hal ini. Ia berkata perspektif demikian hanya akan mewariskan kemiskinan. “Unskilled labor bertemu unskilled labor, kan, sama aja mewariskan kemiskinan. Sebenarnya bukan menyelesaikan, orangtua hanya menurunkan kemiskinan kepada anak dan cucunya,” ujar Khofifah.
Pada 2000, saat menjabat menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Khofifah mengajukan revisi Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ia meminta agar batas minimum usia perkawinan bagi anak perempuan dinaikkan menjadi 18 tahun. Tapi upaya ini gagal.
“Undang-Undang tersebut sudah tidak relevan. Ini tahun 2017, sudah lebih dari 40 tahun,” kata Khofifah.
Koalisi Perempuan Indonesia pernah mengajukan uji materi pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada 2015. Namun, dalam putusannya, uji materi tersebut ditolak.
Alasan hakim pada waktu itu: 1) Perkawinan adalah hak setiap orang dan tak boleh dibatasi; 2) Negara hanya mengakomodasi perintah agama; 3) Tidak ada jaminan bahwa perubahan batas usia akan berdampak positif; 4) Menyarankan untuk melakukan legislative review; dan 5) Mencegah zina.
“Padahal ada banyak cara untuk mencegah zina. Perkawinan bukan satu-satunya,” ujar Yuyun Khoerunnisa.
Yuyun melanjutkan bahwa Koalisi Perempuan mendorong agar UU Perkawinan segera diamandemen, tak hanya terkait batas usia minimum tapi juga menghapuskan dispensasi. “Banyak perkawinan anak juga karena ada dispensasi dari pengadilan. Artinya, ada akses dari negara untuk mempermudah perkawinan anak terjadi.”
Pernyataan Yuyun sejalan dengan statistik angka dispensasi perkawinan yang hampir 90 persen dikabulkan oleh pengadilan.
Menanggapi fenomena perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini tengah mengupayakan revisi Undang-Undang Perkawinan.
“Kami meminta agar batas usia minimum diubah menjadi 18 tahun dan dispensasi dihapuskan,” ujar Lenny N. Rosalin yang mengurusi bidang tumbuh kembang anak dari kementerian.
Undang-undang purba perkawinan ini kontradiktif dengan aturan legal yang melindungi usia anak hingga 18 tahun.
Dalam laporan BPS bersama UNICEF tersebut, meski menyebut “praktik perkawinan usia anak di Indonesia bersifat kompleks dan mencerminkan keragaman nilai dan norma sosial di Indonesia,” tetapi salah satu rekomendasi yang perlu dijalankan adalah “berinvestasi dalam pendidikan ... khususnya untuk menyelesaikan sekolah menengah atas ... [sebagai] salah satu cara terbaik untuk memastikan anak perempuan mencapai usia dewasa sebelum menikah.”
Baca juga: Memahami Dampak dan Risiko Pernikahan Dini