Kisah Pencarian Jati Diri Peselancar Australia di Mentawai
https://www.naviri.org/2017/12/kisah-pencarian-jati-diri.html?m=0
Naviri.Org - Suatu saat, setiap orang akan sampai pada pertanyaan penting tentang diri dan kehidupannya, dan sejak itu pula dia akan mulai mencari jati dirinya. Kenyataan semacam itu telah terjadi pada banyak orang, dan pencarian jati diri yang dilakukan biasanya mengubah seseorang, terkait kebiasaan atau gaya hidup. Bisa jadi, perubahan yang terjadi tidak terlalu drastis, namun bisa jadi pula terjadi perubahan besar-besaran.
Rob Henry, seorang peselancar asal Australia, bisa menjadi contoh tentang kisah pencarian jati diri. Bagaimana seorang yang tinggal di negara modern semacam Australia, akhirnya menemukan jati dirinya di tengah-tengah Suku Mentawai yang sangat tradisional, di Indonesia.
Rob Henry, pria asal Melbourne, Australia, dulunya bekerja sebagai peselancar. Namun, kini dia memilih tinggal di kepulauan Mentawai yang terletak di lepas pantai barat Sumatera bersama penduduk asli suku bangsa Mentawai. Tidak tanggung-tanggung, Henry sudah menetap di sana selama lebih dari delapan tahun.
Hal ini dilakukan Henry tak lama setelah krisis keuangan global mengguncang dunia pada tahun 2008. Buatnya, krisis ekonomi menjadi katalisator untuk memikirkan kembali caranya menjalani kehidupan.
"Saya perlu menjauh dari sana (Melbourne) dan melihat apa arti kehidupan. Saya merasakan ada sesuatu yang mungkin lebih bermakna, dan ada cara hidup yang lebih baik. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan Melbourne dan mencari hal itu," kata Henry seperti dikutip dari ABC, Kamis (14/12/2017).
Awalnya, Rob memang tidak langsung menuju ke Mentawai. Dia mengunjungi Indonesia untuk berselancar di sebuah resor, dan melakukan pekerjaan terkait proyek film. Sampai akhirnya, dia bertemu seseorang yang membuatnya kembali berpikir tentang kehadirannya di dunia.
"Dia seorang anak muda asli Mentawai bernama Andy, yang sudah bekerja di resor itu selama setahun. Dia memiliki hubungan luar biasa dengan tempat itu (Mentawai) yang kemudian membuat saya berpikir, jangan-jangan budaya dan kebebasan yang selama ini dipahami justru sebenarnya sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama ini," jelasnya.
Bertemu dengan Andy dirasa Henry sebagai sesuatu yang sangat menyegarkan. Membangkitkan rasa penasarannya untuk merasakan langsung. "Saya ingin tahu apa yang dialami dan diketahuinya, yang tidak kita ketahui," sambungnya.
Mengikuti rasa penasarannya, Henry benar-benar datang ke desa nelayan terpencil untuk tinggal bersama penduduk asli Mentawai yang telah hidup di sana selama ribuan tahun, dan sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris.
"Saya tertarik tinggal di desa yang jauh dari pariwisata. Saat saya menginjakkan kaki pertama kali, saya tidak tahu banyak tentang daerah itu. Apalagi saya tidak mengerti bahasa mereka. Datang ke sana (Mentawai) begitu luar biasa, menakutkan sekaligus menantang," ujarnya.
Kekayaan tradisional yang terpendam
Seiring berjalannya waktu dan segala proses yang dilakukannya untuk mendekatkan diri dengan penduduk lokal, akhirnya Henry dapat memahami bahasa daerah yang digunakan suku bangsa Mentawai.
Sangat diterima dalam masyarakat di sana, Henry juga menjalankan sejumlah ritual adat, agar tubuhnya bisa ditato seperti yang dimiliki orang Mentawai. Tato yang disebut Titi itu merupakan tato tertua di dunia, yang diperkirakan sudah dirajah ke tubuh orang Mentawai, saat mereka mendarat di pantai barat Sumatera pada Zaman Logam (1500 SM-500 SM).
Dia juga mempelajari lebih banyak tentang sistem kepercayaan suku bangsa Mentawai yang disebut Arat Sabulungan. "Mereka mempercayai bahwa semua hal di alam memiliki jiwa. Dan, jika manusia akan meninggal, jiwa mereka kembali ke alam dan menjadi bagian dari alam," jelasnya.
Sayangnya, saat ini tidak semua orang Mentawai meneruskan pesan luhur ini. Generasi baru mulai mengikis cara hidup tradisional orang Mentawai. "Semakin menghilang. Hal ini masih hidup di kalangan tetua, mereka ingin terus meneruskan kepada generasi berikutnya," ujarnya.
Menurut Henry, orang Mentawai saat ini sudah dapat hidup secara bebas, berbeda dengan para leluhur mereka. Selama Henry tinggal di sana, dia membuat film dokumenter, yang diberi judul As Worlds Divide. Dia berharap film perjalanan delapan tahunnya dapat menyoroti bagaimana kehidupan asli orang Mentawai.
"Saya belajar banyak. Saya belajar betapa hanya sedikit yang diperlukan untuk bahagia. Hal itu jelas bukan berasal dari materi. Benar-benar dari dalam diri sendiri dan hubungan kita dengan keluarga dan teman. Saya pikir, bagi semua kebudayaan asli, hal itulah yang menyebabkan mereka bisa bertahan selama puluhan ribu tahun," papar Rob Henry.
Baca juga: Konspirasi Perselingkuhan Paling Gila di Dunia