Catatan Suram Kekerasan Terhadap Perempuan
https://www.naviri.org/2017/12/kekerasan-terhadap-perempuan.html?m=0
Naviri.Org - Kesetaraan gender masih menjadi isu yang terus digulirkan, dalam upaya menghormati hak-hak perempuan, sekaligus mengatasi tingginya angka kekarasan terhadap perempuan. Topik atau isu ini memang perlu terus disuarakan, untuk mengedukasi semua pihak—laki-laki maupun perempuan—untuk mulai belajar menghormati hak masing-masing, sekaligus tidak merasa lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain.
Tahun 2017, sejumlah lembaga advokasi dan konseling mencatat ribuan kasus pelanggaran dan pengabaian hak perempuan. Mereka juga menyoroti kekerasan seksual dan penghilangan nyawa.
Sehari sebelum Hari Perempuan Internasional, Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan 2017 dengan menghimpun data dari sejumlah instansi. Mereka mencatat ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun lalu. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), secara spesifik kekerasan terhadap istri, menempati urutan pertama dengan jumlah 5.784 kasus.
Kasus berikutnya kekerasan dalam pacaran (2.171 kasus) dan kekerasan terhadap anak perempuan (1.799 kasus). Kasus-kasus lain seperti kekerasan mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Dalam aksi Women’s March Jakarta di Monas, Sabtu pekan lalu (4/3), isu kekerasan dan pelanggaran hak-hak seksual juga disuarakan oleh para peserta aksi. Pelbagai organisasi masyarakat maupun individu, yang mewakili komunitas perempuan, LGBT, perwakilan daerah, segelintir pesohor, dengan beragam latar belakang usia dan gender, berpartisipasi mengartikulasikan kepentingan perempuan. Delapan tuntutan dibacakan di pengujung aksi, melingkupi aspek kesehatan, lingkungan, politik, seksualitas, dan disabilitas.
Dari segunung kasus terhadap perempuan, di sisi sebaliknya, implementasi atas UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan pengentasan kekerasan seksual terhadap perempuan masih menghadapi tembok tinggi.
Dede Kurnia menulis dalam Jurnal Konstitusi pada 2015, bahwa perempuan sering menerima KDRT atas dasar beberapa asumsi. Misalnya persepsi tertentu dalam benak pelaku dan ditopang hukum-hukum yang masih bias gender. Belum lagi persoalan korban yang sulit mengakses hak dalam proses pengaduan maupun pelaporan, kriminalisasi korban, dan aparat hukum yang tidak sensitif korban lantaran pandangan yang patriarkis.
LBH Apik, dalam satu siaran pers, menyatakan perempuan sebagai korban kekerasan harus menanggung secara mandiri segala biaya proses hukum, termasuk visum dan mencari saksi ahli, tempat yang aman baginya, serta mendanai kesehatannya sendiri, fisik maupun psikologis.
Minimnya perempuan mendapatkan perlindungan dari kekerasan mendorong siklus yang rentan. Dan dalam banyak kasus, penerapan atas sejumlah hak bagi perempuan, yang diatur dalam hukum di Indonesia, justru diabaikan.
Inisiatif untuk menghormati hak perempuan di Indonesia akan terus jadi isu penting ke depan. Ia juga menjadi pokok pembicaraan di arena publik justru ketika kelompok masyarakat lain menggugat pemajuan hak-hak perempuan, dan mendorong diskriminasi lebih ketat terhadap perempuan. Pertarungan ini merepresentasikan pula gambaran gerakan politik perempuan di Indonesia sesudah era Orde Baru antara kalangan liberal dan konservatif.
Baca juga: Catcalling, Public Shaming, dan Warisan Masa Silam