Di Masa Depan, Membaca Berita Seasyik Menonton Film
https://www.naviri.org/2017/12/jurnalisme-virtual-reality.html?m=0
Naviri.Org - Saat ini, membaca berita artinya membaca serangkaian teks atau tulisan, dan kita harus membayangkan sendiri bagaimana kisah yang terjadi di dalam berita tersebut. Umumnya, berita memang dilengkapi gambar, tapi bagaimana pun gambar yang ada hanya sebagai ilustrasi atau pelengkap yang tidak bisa menggambarkan keseluruhan isi berita sepenuhnya.
Di masa depan, membaca berita mungkin akan lebih menyenangkan, dan seasyik seperti menonton film. Pasalnya, di masa depan, ada kemungkinan berita akan dirilis dalam bentuk virtual reality atau realitas maya, sehingga pembaca berita akan merasakan benar-benar “masuk” ke dalam berita yang dibaca.
Proses membaca berita semacam itu tentu akan sangat menarik, karena interaktif. Selain itu, menurut studi yang terbit dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking edisi November 2017, teknologi ini bisa mendekatkan emosi pembaca terhadap cerita yang ada.
"Konten VR seakan membawa Anda hadir ke tempat kejadian perkara, ketimbang gambar dan video 360 derajat yang ditampilkan di layar komputer," demikian penjelasan tim peneliti dari Pennsylvania State University dalam jurnal.
Tim membuat konten VR dari dua cerita di majalah The New York Times. Pertama berjudul "The Displaced", bercerita tentang kehidupan tiga pengungsi yang sangat emosional. Cerita kedua, yang dinilai kurang emosional, berjudul "The Click Effect". Cerita ini mengisahkan upaya riset para penelitian ahli biologi laut dalam membongkar sistem komunikasi lumba-lumba.
Sebanyak 129 responden diminta untuk menikmati konten yang telah dibuat dalam video tersebut dalam dua bentuk, yakni video 360 derajat yang diputar di komputer dan di alat VR. Secara umum, para pembaca merasakan pengalaman yang mendalam (immersive), meski ceritanya kurang emosional.
Virtual reality atau realitas maya adalah teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer (computer-simulated environment). Lingkungan ini sebetulnya tiruan atau benar-benar tempat yang hanya ada dalam imajinasi.
Beberapa produk juga menampilkan informasi indra pendengaran melalui headphone untuk meningkatkan realitas imajiner dalam game dan hiburan. Beberapa produk teknologi VR yang belakangan ini terkenal adalah Oculus Rift, Microsoft Hololens, dan Google Glass.
Teknologi ini berbeda dengan augmented reality atau realitas tertambah yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata tiga dimensi.
Realitas tertambah kerap dikembangkan menjadi aplikasi dan digunakan pada perangkat pintar. Pokemon Go adalah bentuk populer dari AR. Banyak perusahaan teknologi menggunakan teknologi ini untuk melakukan hal-hal menakjubkan, seperti memunculkan karakter hologram yang menyatu dengan dunia nyata.
Basis kerja realitas maya, seperti dikutip dari laman augment.com, adalah bahasa pengkodean yang dikenal sebagai VRML (virtual reality modeling language). Bahasa ini dapat membuat serangkaian gambar dan menentukan jenis interaksi apa yang ingin ditampilkan.
"VR membuat cerita lebih nyata, lebih realis, dan menciptakan kepercayaan," kata S. Shyam Sundar, pakar komunikasi dari Media Effect Research Laboratory di Pennsylvania State University yang juga pemimpin studi, seperti dikutip dari laman Science Daily, Senin, 11 Desember 2017.
Selain itu, tim menemukan para peserta lebih berempati terhadap karakter cerita di konten VR ketimbang bentuk teks. Saat ditanya apakah para peserta ingin membagikan cerita tersebut kepada orang lain, mereka kompak menjawab, "Tidak diragukan lagi." Mungkin, menurut Sundar, hal itulah yang membuat teknologi realitas maya kerap disebut sebagai mesin empati.
Jin Kang, anggota studi, mengatakan konten VR lebih banyak menarik perhatian. "Konten terpatri kuat dalam ingatan pembaca," kata dia, seperti dilansir laman Eureka Alert. "Ini merupakan bukti bahwa jurnalisme immersive meninggalkan bekas. Tapi, tentunya, butuh penelitian lebih dalam untuk memahami efeknya lebih luas."
Meski konten jurnalistik dalam bentuk virtual reality lebih disukai, Sundar dan tim mengingatkan jangan terlena untuk membuat karya yang bisa mempengaruhi kredibilitas media. "Membuat karakter seperti fantasi, misalnya. Orang akan sangsi dengan apa yang mereka lihat dan rasakan," kata Sundar. "Ini akan mengurangi kredibilitas karya jurnalistik itu sendiri."
Bagaimana dengan video 360 derajat? Sundar mengatakan media dengan anggaran yang cukup besar tentunya bisa mempertimbangkan untuk membuat konten video seperti itu. Video bentuk ini memungkinkan pengguna memutar pandangan mereka ke segala arah. Hal ini tentunya memiliki sensasi tersendiri ketimbang teks maupun infografis interaktif biasa. Namun video 360 derajat belum bisa "menghasilkan" emosi dan empati seperti virtual reality.
Memang, konten VR agak sedikit merepotkan dan memakan biaya. Kalau tidak punya gawai kacamata virtual reality, Anda harus membuatnya dari kardus dan beberapa lensa cembung yang mudah didapat. Langkah cepat justru sudah dilakukan para penyedia tontonan dewasa. BaDoink, misalnya, penyedia layanan pornografi berbasis VR ini memberikan ribuan pasang Google Cardboard untuk mempromosikan peluncuran situs mereka yang mulai beroperasi sejak 2015.
Layanan tontonan dewasa memang lebih dulu muncul. BaDoinkVR setidaknya kini telah memiliki empat pesaing, yaitu VirtualRealPorn, Naughty America, Czech VR, dan KinkVR. Mereka mengenakan biaya bulanan untuk pelanggannya. Persaingan mereka pun keras. PornHub baru saja meluncurkan video VR mereka dan memberikan sekitar 30 video secara cuma-cuma untuk dinikmati.
Jurnalisme VR memang ketinggalan. Namun optimisme tetap ada. "Tapi semua kerepotan itu dan mahalnya gadget VR akan terbayar dengan rasa penasaran dari para pembaca," ujar Sundar. Nah, semuanya bergantung pada konten yang akan ditampilkan. Bagaimana dengan media-media di Indonesia, siapkah memulainya?
Baca juga: Upaya Menyelamatkan Media Cetak dari Kepunahan