Apakah Homoseksualitas Tergolong Penyakit Jiwa?
https://www.naviri.org/2017/12/homoseksualitas.html?m=0
Naviri.Org - Homoseksualitas adalah istilah yang merujuk pada hubungan sesama jenis. Meski “sesama jenis” yang dimaksud di sini bisa pria atau wanita, namun istilah “homoseks” sering kali lebih ditujukan untuk pria, sementara wanita yang menjalin hubungan dengan sesama wanita disebut lesbian. Yang jelas, homoseks adalah hubungan yang dijalin oleh sesama jenis kelamin.
Apakah homoseks tergolong penyakit jiwa? Pertanyaan itu menjadi salah satu pertanyaan populer selama berpuluh-puluh tahun. Akar pertanyaan itu berawal dari pemahaman atau bahkan keyakinan bahwa pria seharusnya berpasangan dengan wanita, karena begitulah “kodrat” manusia. Jadi, kalau ada pria yang justru tertarik pada sesama pria, atau wanita yang tertarik pada sesama wanita, orang-orang pun bertanya-tanya, apakah mereka normal?
Tahun 1950-an dan 1960-an adalah masa yang tak menyenangkan bagi kaum homoseksual di Amerika Serikat, Eropa, atau Australia. Berbagai lembaga psikiater di negara-negara Barat masih mengkategorikan ketertarikan sesama jenis kelamin sebagai salah satu penyakit jiwa. Asosiasi Psikiatri Amerika (APA), misalnya, memasukkan homoseksualitas ke Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) pada tahun 1968.
Kaum homoseksual biasa dipersekusi, diintimidasi, dan didiskriminasi. Mereka dipandang kaum yang punya kelainan, yang perlu dijauhkan dari sanak saudara. Akibat dianggap sakit jiwa, mereka biasanya dibawa ke terapis untuk disembuhkan.
Sayangnya perlakuan terapis tak jauh beda dengan yang diterima karakter remaja nakal di film A Clockwork Orange, Alex DeLarge, yakni mencoba disembuhkan dengan metode yang brutal, demikian ilustrasi psikiater Inggris Neel Burton di laman Psychology Today. Seorang pasien homoseksual kerap dipaksa menjalani metode penyembuhan tersebut karena tekanan yang didapat di lingkungan domestik hingga publik.
Salah satu metode yang paling umum, contohnya untuk pasien gay, adalah dengan menunjukkan foto laki-laki telanjang sambil mendapat setruman atau obat-obatan yang membuat mereka muntah. Saat si pasien tak tahan lagi, mereka ditunjukkan foto-foto perempuan telanjang atau diajak kencan dengan perawat muda. Padahal, kata Burton, hasilnya rata-rata nihil.
Aktivis pejuang hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) tak tinggal diam. Frank Kameny adalah seorang gay pejuang kaumnya di organisasi Gay Liberation. Pada tahun 1970-an, ia dan kawan-kawan menyerbu konferensi APA, agar aspirasinya benar-benar dianggap serius. Kameny pernah merebut mikrofon penyelenggara acara, dan meneriakkan deklarasi perang terhadap psikiater karena mengobarkan perang tanpa henti kepada dirinya dan rekan-rekannya.
Aktivisme anti-psikiatri di AS sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Putusan yang ditetapkan organisasi psikiatri terhadap homoseksualitas bermasalah karena mereka tak menganggap kondisi tersebut selaras dengan definisi mendasar penyakit jiwa. Penyerangan-penyerangan setelah aksi Kameny berlanjut di konferensi-konferensi APA di tingkat lokal maupun nasional.
Momentum besar terjadi pada awal 1970-an. Pada tanggal 15 Oktober 1973, College of Psychiatry Federal Council Australia dan Selandia Baru menyatakan bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit. Kesimpulan ini adalah ujung dari riset yang telah dilakukan lama, serta sebuah terobosan penembus dinding konservatisme di kalangan para ilmuwan kejiwaan. Deklarasi ini dicatat sebagai yang pertama di dunia, lebih khususnya di antara lembaga psikiatri negara-negara lain.
Dua bulan setelahnya adalah masa-masa krusial di tubuh APA. Mereka juga kembali membongkar penelitian terkait homoseksualitas, dan merundingkannya dengan para anggota untuk menegaskan ulang: apakah homoseksualitas tergolong penyakit kejiwaan sehingga masuk ke DSM? Atau homoseksualitas gagal memenuhi syarat bagi karakteristik penyakit kejiwaan, sehingga perlu dicoret dari DSM? Rapat menemui jalan buntu, lalu diadakan pemungutan suara.
Hasilnya, dari total 9.664 anggota APA, 5.854 setuju mencoret homoseksualitas dari DSM, dan 3.810 ingin mempertahankannya. Artinya, APA sudah mencapai kesepakatan tidak lagi mengkategorikan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan. Namun, akibat suara anggota belum bulat sepenuhnya, APA berkompromi dengan mengganti istilah “homoseksualitas” di dalam DSM menjadi “gangguan orientasi seksual”.
Dalam arsip New York Times, APA menyatakan “tak akan lagi memaksakan sebuah label kepada individu-individu yang menyatakan dengan tegas bahwa dirinya baik-baik saja, dan tidak menunjukkan suatu kerusakan apapun dalam bersosialisasi di lingkungannya.”
Lebih jauh lagi, APA mengadopsi sebuah resolusi yang menyayangkan tindak diskriminasi terhadap kaum homoseksual di berbagai ranah kehidupan, antara lain perumahan, pekerjaan, dan perizinan. APA “mendukung dan mendorong penerapan hak-hak sipil berdasarkan revisi undang-undang tingkat lokal, negara bagian, dan federal, yang akan menjamin warga homoseksual mendapat perlindungan yang sama dengan warga lainnya.”
Aktivis homoseksual di New York yang tergabung dalam National Gay Task Force mengapresiasinya dengan menyebut keputusan APA sebagai “kemenangan terbesar kaum homoseksual”, sebab “mendiagnosa homoseksualitas sebagai penyakit yang telah menjadi landasan penindasan kaum kami.”
Keputusan APA belumlah sempurna. Mereka baru benar-benar mencoret homoseksualitas dari DMS pada tahun 1987 tanpa embel-embel, keterangan khusus, atau istilah pengganti. Namun keputusan dan sikap lembaga APA dipuji oleh para pegiat hak asasi manusia seantero AS dan dunia, karena melahirkan perjuangan menuntut kesetaraan bagi kaum homoseksualitas dalam skala yang lebih masif lagi.
Dua tahun kemudian, lebih tepatnya pada bulan Januari 1975, Asosiasi Psikolog Amerika secara resmi menyatakan dukungannya pada kebijakan APA. Mereka bersepakat bahwa homoseksualitas tidak menyiratkan adanya penurunan kemampuan penilaian seseorang, juga dalam menjaga stabilitas emosi maupun kemampuan sosial dan vokasi secara umum.
Terkait masih adanya diskriminasi di ruang publik dan banyak bidang, Asosiasi Psikologis Amerika turut menyesalkannya. Mereka mendukung dan mendesak diberlakukannya undang-undang terkait hak-hak sipil di segala tingkat, agar kaum homoseksual mendapat jaminan perlindungan yang sama yang orang lain dapat, tanpa memandang ras, kepercayaan, wana kulit, dan lain-lainnya.
Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalis yang amat legendaris di bidang ilmu psikologi, sesungguhnya telah menyatakan di tahun 1935 bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit, dan tak mendukung usaha-usaha penyembuhan terhadapnya. Salah satu pertimbangan APA dan lembaga pengkaji psikologi AS juga mendasarkan kebijakannya pada pendapat Freud.
Usai lembaga psikiatri dan psikologi terkemuka AS menyatakan sikapnya, undang-undang yang mengkriminalisasi homoseksual direvisi di sejumlah kota di AS dan negara lain. Pemerintah Australia Selatan mengadopsinya pada tahun 1975. Wilayah Ibu Kota Australia meniru di tahun 1976. Pada tahun 1977, Provinsi Quebec, Kanada, menjadi yurisdiksi pertama yang lebih besar dari kota atau kabupaten di dunia yang melarang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual di sektor publik dan swasta.
Untuk pertama kalinya juga sejumlah orang gay bisa duduk di pemerintahan di Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Harvey Milk, seorang pria gay yang aktif secara politik, terpilih menjadi anggota Dewan Pengawas di San Francisco. Milk dan walikota San Francisco, George Moscone dibunuh setahun setelahnya.
Komunitas LGBT, terutama di San Fransisco, otomatis menumpahkan amarah di jalanan. Kejadian itu justru memperkuat solidaritas LGBT seantero AS. Sepanjang dekade-dekade berikutnya, akvitis LGBT di berbagai negara juga kian menancapkan daya tawar dan memetik hasil dari perjuangan atas hak-hak sipil, terutama setelah institusi psikiatri dan psikologi terkemuka di negara yang bersangkutan tak lagi mengkategorikan homoseksualitas sebagai sebuah penyakit.
Baca juga: Memahami Pelecehan Seksual yang Dialami Kaum Pria