Hollaback, Gerakan untuk Perempuan Berani Bicara
https://www.naviri.org/2017/12/hollaback.html
Naviri.Org - Di jalanan mana pun, kita pasti sering menyaksikan fenomena semacam ini; seorang perempuan lewat di depan sekelompok laki-laki, kemudian laki-laki di sana menggoda si perempuan, entah dengan siulan, candaan, sapaan yang terkesan kurang ajar, dan lain-lain. Bisa dibilang pemandangan semacam itu sudah lumrah, karena terjadi di mana-mana.
Karena dianggap lumrah pula, banyak orang yang tidak/kurang menyadari bahwa perilaku laki-laki semacam itu membuat si perempuan merasa terganggu, tidak nyaman, sampai merasa terancam. Lebih dari itu, sikap laki-laki yang tampak melecehkan si perempuan sering kali bukan karena si perempuan berpenampilan menggoda atau semacamnya, karena bahkan ketika si perempuan berbusana sopan pun masih tak terlepas dari godaan atau siulan semacam itu.
Untung, saat ini mulai timbul kesadaran beberapa pihak untuk mulai menyadari bahwa perilaku seperti di atas bukan hal baik, dan sudah saatnya untuk dihentikan. Di sisi lain, perempuan yang selama ini menjadi korban sikap kurang ajar di jalanan bisa membicarakan sikapnya.
Di Jakarta, misalnya, mulai muncul kesadaran untuk melawan fenomena semacam itu. Gerakan bernama Hollaback! ini bertujuan mendorong perempuan berani bicara tentang apa yang dialaminya. Harapannya, dengan berani bicara dan membahas pelecehan yang dialami, perempuan lain bisa belajar dan tahu cara mengantisipasi pelecehan verbal tadi. Selain itu, upaya memetakan daerah rawan street harrasment diharapkan bisa membantu untuk mengatasi masalah ini.
Gerakan Hollaback sendiri awalnya muncul di New York, AS. Di sana Hollaback menjadi wadah bagi perempuan menceritakan pengalamannya, dan belakangan hal itu dijadikan bahan untuk membuat kebijakan melindungi perempuan dari pelecehan. Saat ini, Hollaback telah ada di 70 kota dan 25 negara di seluruh dunia.
Hari Anti Kekerasan
Salah satu usaha penting untuk mengatasi segala bentuk kekerasan fisik, seksual, dan verbal adalah melakukan edukasi menyeluruh. Salah satunya melalui kampanye "16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan". Kampanye ini mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Awalnya, aktivitas ini digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada 1991, yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Setiap tahun kegiatan ini berlangsung dari 25 November, Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, hingga 10 Desember, Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Pemilihan rentang waktu ini dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Di Indonesia, Komnas Perempuan adalah inisiator yang berusaha mempopulerkan gerakan ini. Acaranya beragam, dari menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM, mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para penyintas, sampai mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sudah dalam tahap mengerikan. Sebelum kasus terhadap bocah bernama Yuyun yang diperkosa beramai-ramai, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melakukan survei bagaimana laki-laki memandang perempuan.
Laporan "Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent it?" (terbit pada 2013) menunjukkan setidaknya 40 persen responden menganggap perempuan mesti rela mengalami kekerasan agar keluarga tetap bisa bertahan. Rata-rata 97 persen responden meyakini perempuan mesti tunduk pada suami dalam keluarga.
Survei itu, selain memotret sampel pelecehan di perkotaan dan pedesaan, juga menyorot Papua secara khusus. Papua dipilih karena "secara budaya berbeda dengan daerah lain di Indonesia, dan Papua adalah salah satu tempat untuk program bersama PBB dalam eliminasi kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang dilaksanakan UN Women, UNFPA, dan UNICEF."
Laporan itu menyebut ada 21,1 persen pria Papua setuju wanita ada kalanya pantas dipukul. Di kota yang diwakili Jakarta, ada 4,9 persen pria beranggapan demikian. Adapun di pedesaan (Purworejo), ada 8,5 persen laki-laki beranggapan wanita boleh dipukul.
Baca juga: Catatan Suram Kekerasan Terhadap Perempuan