Data dan Fakta Penting Terkait HIV-AIDS di Indonesia
https://www.naviri.org/2017/12/hiv-aids-indonesia.html
Naviri.Org - Salah satu masalah kesehatan yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi para ilmuwan, peneliti, dan praktisi kesehatan, adalah HIV-AIDS. Pasalnya, sampai saat ini masih belum ditemukan obat yang benar-benar mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Seiring dengan itu, penyebaran HIV-AIDS bisa dibilang terus berjalan di berbagai tempat, termasuk di Indonesia.
Latar belakang itu pula yang menjadikan banyak pihak terus menyerukan bahaya HIV-AIDS, dan mengkampanyekan pentingnya menjaga diri dari kemungkinan penularan virus atau penyakit tersebut. Salah satu upaya itu adalah dengan memperingati Hari AIDS Sedunia, yang biasa diperingati setiap 1 Desember.
Awalnya, peringatan itu lahir dari gagasan dua orang pekerja. James W. Bunn dan Thomas Netter, pekerja Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar Agustus 1987 mencoba memberikan usul kepada bosnya. Usulannya adalah agar 1 Desember 1988 dijadikan peringatan Hari AIDS Sedunia.
Dr. Jonathan Mann, Kepala Program Global AIDS WHO, atau bos dari kedua orang pekerja tadi, lantas mendukung dan sepakat. Apalagi, Bunn yang mantan wartawan televisi sangat yakin liputan berita untuk peringatan itu akan maksimal. Sebab, ia bertepatan dengan usainya pemilu AS dan liburan Natal belum tiba. Media yang tak mau kehilangan momen tentu akan memanfaatkan dengan baik isu itu.
Sementara itu, 15 April 1987, atau beberapa bulan sebelum Bunn dan Netter usul kepada bosnya, kasus AIDS pertama di Indonesia tercatat ditemukan. Seorang bernama Edward Hop, turis dari Belanda, dinyatakan meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali, karena virus AIDS.
Setidaknya, ada enam orang yang positif didiagnosis HIV (Human Immunodeficiency Virus), dengan dua di antaranya positif AIDS. Tahun berganti, prevalensi HIV dan AIDS terus meningkat. Bahkan, di beberapa wilayah menjadi epidemi.
Berapa banyak kasusnya?
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tercatat total 232.323 orang dengan HIV, dan 86.780 orang dengan AIDS di Indonesia. Data tersebut adalah angka kumulatif antara 1 April 1987 hingga 31 Desember 2016. Diketahui juga bahwa ada 14.608 orang yang meninggal akibat kasus HIV-AIDS itu.
Untuk kasus AIDS sendiri, jumlah penderita laki-laki kurang lebih dua kali lipat dari penderita perempuan. Data kumulatif (1987-2016) menunjukkan bahwa kasus AIDS pada laki-laki berjumlah 48.977 orang, sementara 27.458 lainnya adalah kasus pada perempuan.
Selain itu, ada dua golongan umur yang tercatat menjadi kelompok utama kasus AIDS. Sejak 1987 hingga 2016, tercatat ada 27.277 kasus dari golongan umur 20-29 tahun. Pada golongan umur 30-39 tahun, ada 26.544 kasus. Artinya, dua kelompok usia itulah yang paling berisiko mengalami AIDS di Indonesia.
Data yang ada juga memberi informasi bahwa kelompok heteroseksual menjadi kelompok paling rentan atas kasus AIDS di Indonesia. Selama periode 1987-2016, tercatat ada 58.846 kasus dari kelompok heteroseksual. Kelompok kedua yang berisiko tinggi adalah IDU (injecting drug user) yang mencapai 9.080 kasus. Sayangnya, ada lebih dari 11 ribu kasus yang belum diketahui risiko penyebab kasusnya.
Daerah utama HIV-AIDS
Jawa Timur dan Papua diketahui menjadi wilayah utama kasus AIDS. Sejak 1987 hingga 2016 menunjukkan ada 16.911 kasus AIDS di Jawa Timur. Sementara itu, di Papua ada 13.398 kasus AIDS yang terekam.
Untuk kasus HIV, DKI Jakarta dan Jawa Timur adalah wilayah utamanya. Di provinsi pertama terdapat 45.355 kasus, sementara di provinsi kedua ada 31.429. Dari gambaran tersebut, Jawa Timur dapat dinyatakan sebagai daerah utama kasus HIV-AIDS di Indonesia.
Tren kasus baru
Bila dilihat berdasarkan kasus baru, tren HIV cenderung masih naik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sementara kasus AIDS untuk periode yang sama memperlihatkan tren menurun, terutama 3 tahun terakhir.
Angka kasus baru HIV pada 2006 tercatat ada 7.195 dan terus mengalami kenaikan tiga sampai empat kali lipat dalam beberapa tahun sesudahnya. Pada 2013, angka kasus baru HIV tercatat berjumlah 29.037 dan mencapai 41.250 pada 2016. Sedangkan untuk kasus AIDS, pada 2006 angka kasus baru sejumlah 3.680, sempat mengalami titik tertinggi pada tahun 2012 dan 2013. Tercatat ada 10.826 kasus baru di 2012 dan 11.741 di 2013.
Sejak 2013 hingga 2016, kasus AIDS memperlihatkan tren yang menurun. Begitu pula untuk kasus kematiannya. Pada 2016, kasus kematian berjumlah 806, menurun dari 996 di 2014. Artinya, paparan risiko AIDS yang cenderung mengecil merupakan dampak dari intervensi kesehatan yang telah ada.
Sementara itu, kasus HIV yang terus tinggi dapat berarti bahwa penyebaran risiko itu malah terus meluas. Dengan demikian, penanggulangan HIV-AIDS pun masih sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Belum mencakup secara lebih kuat pada level pencegahan penyebaran.
Kelompok heteroseks masih menjadi kelompok utama sebagai kelompok yang paling riskan dari kasus AIDS. Sekalipun telah menunjukkan tren yang menurun setelah 2013, angkanya masih cukup tinggi. Pada 2010, tercatat jumlah kasus AIDS yang dilaporkan karena hubungan heteroseksual sebanyak 4.715. Jumlah ini meningkat menjadi 5.545 pada 2016.
Sementara itu, dari kelompok risiko LSL (lelaki suka lelaki) terlihat adanya peningkatan dua kali lipat pada periode 2015-2016. Pada 2014, tercatat ada 391 kasus baru. Jumlah ini meningkat menjadi 510 kasus pada 2015. Bahkan, di 2016, jumlah kasus baru AIDS yang disebabkan oleh LSL mencapai 1.180 kasus.
Senada dengan AIDS, pada kasus HIV, kelompok heteroseks juga menjadi kelompok utama yang paling riskan. Angkanya masih besar, pada 2016 tercatat ada 17.754 kasus. Angka belasan ribu tersebut tercatat mulai terjadi pada 2011 dengan jumlah 10.668 kasus. Peningkatan yang mencolok terjadi pada kelompok LSL pada periode 2015-2016. Pada 2015 angkanya masih di 4.241 kasus, dan meningkat hingga lebih dari dua kali lipat pada 2016 yang mencapai 13.063 kasus.
Artinya apa? Masih tingginya faktor risiko pada kelompok heteroseks dan peningkatan yang mencolok pada kelompok LSL untuk periode tertentu, dapat mengingatkan kembali apa yang harus digarisbawahi dari penyebaran HIV-AIDS.
Perilaku seksual sebagai faktor risiko terbesar dalam paparan HIV-AIDS menegaskan kembali soal problema promiskuitas, atau hubungan seksual antara sejumlah pria dan wanita tanpa ada aturan yang mengikat. Seks dengan lebih dari satu pasangan, tanpa pelindung, meningkatkan risiko HIV-AIDS.
Terlepas dari persoalan moralitas, data di Indonesia di atas setidaknya memperlihatkan bahwa problem ini masih terkait dengan hal itu.
Baca juga: Asal Usul 1 Desember Menjadi Hari AIDS Sedunia